Geopolitik Lokal: Hutan, Tanah, dan Air (Titipan Renungan untuk Calon Presiden MADN)
Geopolitik pertama kali dipopulerkan oleh Karl Haushofer (seorang Jendral perang Jerman zaman rezim Hitler sekaligus guru besar di Universitas Muenchen) sebagai bagian dari penerapan geografi politik Ratzel dan J.R Kjellen.
Saat Jerman mengalami kekalahan pada perang dunia pertama melawan Negara-negara serikat, maka para bangsawan, sarjana dan pemimpin militernya menyelidiki bersama mengapa Jerman bisa mengalami kekalahan. Dalam suasana seperti itu, geografi politik sebagimana diajarkan oleh Ratzel dan Kjellen ditekuni dan ditelaah. Karl Haushofer yang kala itu ditunjuk sebagai pimpinan Institute fur geopolitik melakukan penelitian.
Segala hasil penelitian diserahkan kepada Hitler untuk diterapkan dalam politik dalam dan luar negeri. Buah dari hasil penelitian tersebut: Negara adalah suatu organisme (ada anggota-anggota tubuhnya). Negara dapat berkembang biak dengan meluaskan wilayahnya dengan membuka koloni-koloni dan bisa juga negara itu mati. Menurut Haushofer, kekalahan Jerman pada perang dunia I disebabkan oleh karena rakyat Jerman tidak menyadari adanya lebensraum (ruang kehidupan) yang historis milik mereka.
Karena itu, rakyat harus di didik memiliki raumvorstellung (membayangkan ruang di permukaan bumi sebagaimana mestinya). Konsep lebensraum ini kemudian menjadi motivasi Hitler dalam upaya ekspansi ruang bagi penduduknya dan terwujudnya Jerman raya.
Konsep Geopolitik yang ditawarkan Haushofer kepada Hitler pasca kekalahan Jerman pada Perang dunia I merupakan inspirasi menarik dan tepat menurut saya kalau ditarik dalam konteks geopolitik lokal.
Utamanya dalam konteks manusia Dayak sebagai penduduk asli pulau Kalimantan (terkhusus Dayak di Indonesia). Pertanyaan besarnya adalah mengapa orang dayak masih belum maju dan belum menjadi tuan di tanahnya sendiri?
Dalam konsep geopolitik bisa saja dikatakan bahwa orang dayak belum mampu memahami sepenuhnya ruang kehidupan dan pola pikir yang belum terbentuk dalam mengelola ruang kehidupan tersebut. Dengan adanya pemahaman tentang geopolitik maka diharapkan manusia dayak bisa memanfaatkan lebensraumnya dipermukaan bumi. Seterusnya muncul suatu pandangan atau perjuangan dalam menjaga kelangsungan hidup dengan ciri khas orang dayak itu sendiri.
Secara historis, nenek moyang orang dayak tidak terbantahkan hidup berdampingan secara harmonis dengan hutan. Hutan adalah market yang senantiasa menyiapakan segala kebutuhan. Kemudian komponen lain yang melekat pada diri orang dayak adalah tanah dan air. Tanah dan kekayaan alam lainnya adalah pilar kehidupan masyarakat dayak. Nilai ekonomis dari tanah dan hutan adalah satu kesatuan yang integral dengan aspek sosial budaya dan politik dan keagamaan. Hilangnya hak atas tanah berarti lenyapnya sebuah tatanan kehidupan (Djuweng dan Krenak (2005:5).
Oleh karenanya lebensraumnya orang Dayak adalah Hutan, air dan tanah! Ketiga komponen itu adalah hal yang paling pokok dan paling berpeluang untuk dikembangkan dalam menunjang perikehidupan manusia Dayak.
Tanah yang luas nan subur, Hutan belantara nan eksotik, air yang mengalir jernih lengkap dengan kekayaaan yang dikandungnya adalah komponen penting dalam ruang hidup orang dayak. Ruang aktivitas masih di dominasi pada tiga komponen tersebut. Tanah yang utamanya diolah dengan pola ladang berpindah (shifting cultivation) adalah identitas. Patut dilestarikan. Tentunya di sesuaikan dengan perubahan zaman (tambah dengan sentuhan teknologi) maka ia akan menghasilkan tuaian berlipat ganda.
Mengelola tanah dengan pola ladang berpindah jangan membuat rendah diri. Pola ladang berpindah tidak menyalahi aturan dan sama sekali tidak merusak hutan. Pada sisi lain, tentunya harus ada keberpihakan orang-orang dayak yang punya “power” dalam membina dan menguatkan orang dayak dalam pengelolaan ladang berpindah. Misalnya memberikan edukasi tentang teknologi terbaru dalam pengelolaan pertanian.
Sekali lagi orang Dayak harus memiliki pola pikir yang kokoh dan mantap guna menjadi tuan dalam mengelola lebensraumnya. Lumbung-lumbung padi (langko) harus selalu penuh setiap tahunnya. Orang dayak jangan minta-minta beras kepada pemerintah apalagi minta beras bulog kualitas rendah. Sayur mayur khas ladang berpindah sejatinya tumbuh hijau raya rama. Targetnya jelas yakni swasembada pangan dengan label Dayak.
Akhirnya adakan Gawai atau naik dango dengan kepala tegak dan rasa bangga karena hasil panen yang melimpah. Sekali lagi ini wajib menjadi mindset bagi orang Dayak. Masalah pangan adalah yang paling fundamental, kalau pangan sudah tercukupi maka yang lain akan menyusul dengan sendirinya.
Lahan ladang berpindah pasca panen padi tidak boleh dibiarkan begitu saja. Tetapi harus tetap diolah kembali untuk menanam sayuran khas atau tanaman produktif lainnya. Tanam ubi, durian, jengkol, tengkawang, karet, sawit, dan lain sebagainya. Pelihara ternak babi, ayam, ikan dan lain sebagainya secara profesional. Dan yang tidak kalah penting adalah jangan menjual tanah kepada tangan-tangan serakah.
Lebensraum selanjutnya adalah Hutan. Hutan nan hijau merupakan komponen penting dalam kehidupan makhluk hidup termasuk manusia. Ia penghasil oksigen, dan ia hadir sebagai penyeimbang akibat perubahan iklim global. Dalam konteks kehidupan orang dayak, hutan adalah market. Oleh sebab itu, pandangan hidup bahwa hutan adalah market harus dijaga dan dipertahankan oleh orang dayak. Hutan sebagai ruang kehidupan harus dikelola dengan ciri khas kita misalnya membuat klaster-klaster hutan primer (timawakng atau tembawang). Kelola timawakng atau tembawang tersebut menjadi usaha ekonomis misalnya agrowisata dengan koleksi tanaman buah yang khas. Atau kelola Timawakng tersebut menjadi agroforestry dan lain sebagainya. Hal ini tentu bisa menjadi nilai tambah sebagai bagian untuk kesejahteraan hidup. Saat musim buah orang akan berbondong mencari buah durian, buah langsat, buah cempedak, buah tampoi, buah redan, buah langir dan lain sebagainya.
Selain itu, Klaster hutan primer sebagai wilayah formal bisa diubah menjadi wilayah fungsional. Klaster hutan disulap menjadi objek wisata, tempat perkemahan dan sejenisnya. Disana akan tumbuh ekonomi. Warung makan, tempat bersantai, penginapan bahkan hotel sekalipun. Sekali lagi Orang dayak harus kreatif, inovatif dalam melihat peluang-peluang usaha seperti itu.
Berikutnya adalah air. Air yang mengalir jutaan kubik tentunya sangat berpotensi menopang kehidupan. Namun saat ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Kita sudah jarang melihat kualitas air sungai yang jernih. Oleh karenanya keteguhan hati Orang dayak sangat diperlukan dalam menjaga sumber kehidupan yang satu ini. Sungai adalah bagian dari kehidupan orang Dayak. Oleh karenanya patut dijaga dan dilestarikan. Orang dayak jangan ikut-ikutan menambang emas karena akan membuat sistem kehidupan menjadi rusak. Ada banyak cara mencari perikehidupan yang lebih selaras dengan alam. Nostalgia tentang kemudahan mencari ikan pada masa lampau bisa diulang kembali. Intinya adalah kemauan untuk mengubah pola pikir dan bekerja keras.
Terakhir dari tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa orang dayak harus mampu mengelola ruang kehidupannya dengan caranya sendiri. Tanah, hutan dan air adalah bagian dari hidup yang kelak akan menjadi modal dasar untuk menjadi tuan di tanah sendiri. Menjadi pedagang kita belum bisa sehebat orang Tionghoa. Menjadi pengusaha rumah makan tidak sehebat orang padang. Kita adalah dayak. Maka jadilah sebagai orang dayak yang memiliki pandangan hidup yang kokoh sesuai ruang kehidupan kita. Semoga....