Politik

Pemimpin Gragasan vs Bergagasan

Rabu, 20 Juli 2022, 11:04 WIB
Dibaca 492
Pemimpin Gragasan vs Bergagasan
Bergagasan

Dodi Mawardi

Penulis senior

  

--------

Wahai calon pemimpin, tawarkanlah gagasan kepada kami.

Memang ideal punya gagasan besar.

Tapi cukuplah gagasan saja.

Anda tak punya gagasan? Tak apa

Yang penting Anda tidak gragasan.

--------

 

Gragas, dalam bahasa Jawa bermakna kemaruk, serakah, rakus. Dalam konteks makanan, gragas bermakna omnivora. Segala dimakan. Kata ini juga dikenal di beberapa daerah lainnya seperti Betawi. “Congor lu gragas banget ya Tong…” artinya mulutnya ngomong tiada henti dan asal bunyi. Bikin berisik.

 

Gragas punya makna sangat negatif. Yang sayang sekali justru melekat pada sebagian pemimpin di negeri ini. Serakah dalam kewenangan. Kemaruk mencari proyek. Rakus dalam urusan fulus (baca: uang). Pemimpin yang sama sekali tidak ideal. Pemimpin yang seharusnya dihindari.

 

Yang dilakukan pemimpin gragas:

-          mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan selama dia memimpin.

-          Balikin modal kampanye.

-          Bayar utang budi pendukung.

-          Tumpukan harta untuk masa tua.

-          Menyiapkan kekayaan untuk anak cucu, mungkin sampai tujuh turunan. 

 

Pemimpin gragasan rakus dan kemaruk. Tidak pernah merasa cukup. Proyek ini diambil, proyek itu disikat. Semiliar diembat, puluhan miliar apalagi.

 

Tapi… sistem politik kita saat ini, malah mencetak semakin banyak pemimpin gragasan, baik di eksekutif, yudikatif, maupun di legislatif. Bahkan, di dunia pers pun yang seharusnya menjadi salah satu pilar demokrasi, juga diisi oleh banyak sekali wartawan gragasan.

 

Pemimpin ideal seharusnya punya gagasan. Syukur-syukur bersifat terobosan. Gagasan besar untuk memajukan bangsanya. Punya jiwa patriotisme dan nasionalisme tingga. Lebih mementingkan orang banyak dibanding diri, keluarga, dan kelompoknya. Dengan gagasannya lah dia mendapatkan kepercayaan dari yang dipimpin. Bukan dengan iming-iming uang dan kekuasaan. Bukan dengan serangan fajar, sajadah, mukena, sarung, atau paket sembako. Bukan pula dengan modal spanduk atau baliho.

 

Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Abraham Lincoln, dan Bung Karno adalah pemimpin-pemimpin besar dengan gagasan jumbo. Nama mereka abadi dan dikenang positif oleh zaman. Berkebalikan dengan pemimpin gragasan, yang dijadikan contoh buruk dengan sikap korup nan rakus.

 

Jean Claude Duvalier mantan Presiden Haiti melakukan korupsi lebih dari Rp 10 triliun sejak tahun 1971 – 1986. Presiden Serbia Slobodan Milosevic periode 1989 – 2000 korupsi lebih dari Rp 14 triliun. Sani Abacha Presiden Nigeria yang hanya menjabat selama lima tahun (993 – 1998) tapi nilai korupsinya mencapai Rp 66 triliun. Nilai yang sama juga digragas oleh Mobutu Sese Sejo Presiden Zaire periode 1965-1997. Dan beberapa pemimpin lainnya.

 

Mereka tercatat abadi sebagai pemimpin-pemimpin paling gragas dalam sejarah. Bukan tinta emas yang mereka torehkan melainkan noda hitam di negaranya. Cukup sudah. Indonesia tidak boleh lagi punya pemimpin gragasan seperti era Orde Baru. Indonesia harus terus berjuang mencetak pemimpin bergagasan.

 

Pada 2020 lalu, seorang anak muda Fahd Pahdepei menulis buku berjudul, “Tangsel: Dari Politik Gragasan Ke Politik Gagasan.” Dia menawarkan gagasan untuk mengubah Tangerang Selatan, tempatnya tinggal. Ya, dia mencalonkan diri menjadi bakal Walikota Tangerang pada Pilkada 2020 itu. Meski gagal, Fahd sudah berhasil menorehkan gagasan yang dituangkannya dalam bentuk buku. Karena pemenang kekuasaan di negeri ini, sebagian besar memang bukan pemilik gagasan. Lebih banyak yang gragasan.

 

Di Kalimantan Utara, Wakil Gubernur Yansen Tipa Padan selalu menyampaikan gagasan melalui buku. Gagasan atau konsepnya itu diulas secara lengkap, sehingga masyarakat bisa membaca dan mempelajari gagasannya tersebut. Ketika menjabat sebagai Bupati Malinau dua gagasannya terabadikan dalam buku “Revolusi Desa” dan “Revolusi dari RT”. Saat maju sebagai calon Wakil Gubernur Kaltara, Yansen menyuguhkan gagasan pembangunannya dalam buku berjudul “Kaltara Rumah Kita”.

 

Presiden Barack Obama di Amerika Serikat hadir dan menang berkat gagasan perubahannya. Bukan karena kegragasanya. Pun demikian Donald Trump yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai presiden terburuk Amerika, tapi dia tampil dengan gagasan “Make America Great Again (MAGA)”. Keduanya pun dikenal sebagai penulis buku.

 

Uniknya, sebagian besar pemimpin yang punya gagasan dan berani mengabadikan gagasannya tersebut dalam bentuk buku, bukanlah pemimpin yang gragasan. Sebaliknya, tidak ada pemimpin gragasan yang berani menulis buku. Kalau pun ada ditulis oleh orang lain berisi puja dan puji. Bukan tulisannya sendiri. Dugaan saya, pasti malu-lah seorang pemimpin merekam gagasan bohongnya dalam sebuah buku atau bentuk keabadian lainnya. Hanya pemimpin yang berintegritas dan punya komitmen yang mau melakukannya. Pemimpin gragas tidak mungkin.

 

Petikan lirik puisi karya Jose Rizal Manua di bawah ini, terasa terlalu ideal. Seperti di awang-awang. Padahal, seperti inilah normalnya seorang pemimpin. Ideal seperti para pendiri bangsa. Mereka berlimpah gagasan, minus gragasan.

 

“Wahai, Pemimpin bangsaku,

Marilah kita segarkan kembali

Pada ingatan akan sifat-sifat patriotisme

Pada ingatan akan sifat-sifat gotong royong

Pada ingatan akan sifat-sifat nasionalisme…”