Tak Ada KB di Malinau
(Dikutip dari buku Gebrakan dari Perbatasan)
Menurut Anda berapa jumlah penduduk ideal untuk sebuah kabupaten? Sebuah kecamatan? Atau suatu desa? Silakan Anda cari tahu berapa jumlah penduduk di desa Anda, kecamatan Anda atau kota Anda. Berapa banyak? Hmmm… mungkin satu desa berkisar antara 1.000 – 4.000 warga. Kalau di Jakarta, satu kelurahan mungkin berpenduduk 10.000 orang. Lalu kecamatan, berapa banyak? Di atas 10.000 orang, atau mungkin sampai 100.000 orang. Kabupaten? Sebagian besar kabupaten di Jawa berpenduduk lebih dari 200.000 orang. Beberapa diantaranya bahkan mencapai lebih dari 1 juta jiwa.
Dengan luas 39.000 km2, jumlah penduduk Malinau hanya 80-an ribu jiwa. Atau 2 orang per km2. Jumlah penduduk sebanyak itu sangat sedikit dibanding luas wilayahnya, yang sebagian besar adalah hutan belantara. Pemerintah Kabupaten Malinau mengaku mendapatkan sejumlah kesulitan dalam mengelola wilayah luasnya dengan sumber daya manusia yang terbatas. Mereka menyadari dan tahu persis bahwa kualitas penduduk menjadi patokan utama, namun kuantitas pun tidak boleh diabaikan. Butuh jumlah yang lebih banyak daripada 80.000 orang untuk mengelola wilayah yang luasnya 56 kali Jakarta!
Ternyata, problem yang sama juga dialami sejumlah kabupaten pinggiran, istilah untuk kota-kota pedalaman, perbatasan, hasil pemekaran, dan wilayah sejenisnya. Mereka memiliki sumber daya alam melimpah dengan luas wilayah yang besar, tapi minim jumlah penduduk. Sebagian kabupaten di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat, adalah mereka yang mengalami problem tersebut.
Desa Hilang “Lost Generation”
Dalam banyak kesempatan, Bupati Malinau Dr. Yansen TP menguraikan fenomena yang mengkhawatirkan yaitu tentang hilangnya beberapa desa dan ancaman kehilangan generasi (lost generation). Hal ini bukan hanya menyangkut fisik dan jumlah semata, melainkan nilai-nilai lokal dan budaya yang harus dipertahankan serta dilestarikan.
“Ada kecenderungan warga di sejumlah desa, para ibu-ibunya tidak hamil lagi. Kami tidak tahu apakah karena obat atau karena apa, tapi mereka tidak bisa hamil lagi,” kata Bupati.
Angka pertumbuhan penduduk di sejumlah desa di Malinau sangat rendah, bahkan ada yang sampai angka nol persen. Apalagi sebagian warga desa mulai menua tanpa ada regenerasi. Fakta ini akan membuat desa-desa itu akan hilang, cepat atau lambat. Dampak paling nyata adalah tak adanya pewaris budaya dan penerus leluhur.
“Kalau generasi penerus tidak ada, budaya akan hilang. Budaya itu kalau tidak punya anak, siapa yang akan meneruskan. Logika sederhana bahwa anak itu adalah generasi penerus masa depan bangsa. Kalau generasi hilang, siapa yang mewarisi?”
(Bupati Malinau Dr. Yansen TP., MSi.)
Selama bertugas puluhan tahun sebagai aparatur pemerintahan, mulai dari camat sampai bupati, Yansen sudah sering menemukan fenomena tersebut. Bupati Malinau ini memang rajin blusukan ke seluruh wilayahnya, meski transportasi cukup sulit. Sebagian besar harus melalui transportasi udara, atau lewat jalan darat (jalan tanah bukan aspal) dan sebagian lainnya mengggunakan jalur sungai. Dia pernah juga mendapati fakta sekolah-sekolah yang dibangun tidak ada murid, karena warga setempat tidak punya anak usia sekolah.
“Ada kecamatan di Malinau ini (kec. Kayan Hilir) yang selama 20 tahun penduduknya tidak bertambah. Sebelum jadi bupati, saya kan dulu jadi camat. Waktu itu penduduknya 1.700, sekarang (setelah saya jadi bupati) tetap 1.700. Tak ada pertumbuhan sama sekali.”
(Bupati Malinau Dr. Yansen TP, MSi.)
Fakta yang lebih menyedihkan adalah sudah ada beberapa desa yang benar-benar hilang. Karena penduduknya minim, dan tidak layak lagi disebut sebagai desa, maka desa-desa tersebut digabung menjadi satu desa. Salah satunya adalah desa Mentarang Baru, gabungan dari 13 desa, yang kekurangan jumlah penduduk. Padahal, wilayahnya sangat luas. Mungkin sama dengan luas satu kabupaten di pulau Jawa!
Ada juga desa yang ditinggalkan oleh penghuninya. Mungkin mereka masih menerapkan pola hidup berpindah seperti nenek moyangnya dulu. Padahal, desa tersebut berisi warga dengan penampilan yang menarik. Tubuhnya besar dan tinggi seperti orang Eropa, berwajah tampan dan cantik. Namun, mereka cenderung beraktivitas di luar desanya, bahkan menikah dengan warga luar desa dan tinggal di desa lain. Kalau kita datang ke desa tersebut sekarang, maka tidak ada lagi warga yang tinggal di sana. Dulu, sekolah di desa itu punya banyak siswa. Tapi sekarang, gedung sekolahnya saja sudah menjadi sarang walet.
Lalu apa solusi mengatasi problem tersebut? Sebenarnya sejak lama pemerintah pusat sudah menyadari tentang timpangnya persebaran penduduk Indonesia. Pulau Jawa terlalu sesak penduduk, sedangkan sejumlah pulau masih kekurangan warga. Pada masa pemerintahan Orde Baru, presiden Soeharto menggenjot program transmigrasi sebagai solusi pemerataan penduduk. Akan tetapi pada saat yang sama, Soeharto juga gencar melaksanakan program Keluarga Berencana (KB). Kedua program itu adalah program nasional yang wajib dijalankan seluruh provinsi.
Transmigrasi Bukan Pilihan
Lambat laun program transmigrasi yang sempat menjadi “trending topic” pada masanya itu, memudar. Meskipun sampai masa pemerintahan SBY dan Jokowi masih ada kementerian yang mengurusi program transmigrasi, tapi pamornya turun drastis. Transmigrasi makin tidak diminati. Begitu banyak masalah yang terjadi. Pemerintahan pasca Soeharto dan era Reformasi pun sepertinya setengah hati dalam menjalankan program transmigrasi, meski kementriannya masih ada. Silakan cek di media massa, berapa banyak informasi tentang transmigrasi yang diberitakan…
Para pemangku kepentingan di daerah pun tidak begitu bersemangat dengan program transmigrasi. Selama ini lebih banyak masalah yang dihadapi ketimbang manfaatnya. Pemangku kepentingan di daerah mulai dari tingkat desa sampai kabupaten lebih sibuk mengatasi masalah akibat transmigrasi. Pemerintah pusat kadang seperti lepas tangan setelah para transmigran menetap di tempat domisili baru. Padahal, transmigran butuh pendampingan dalam waktu cukup, sebelum bisa menjalankan kegiatan kehidupan sehari-hari dengan normal di tempat baru. Bupati Yansen sendiri secara tegas menolak program transmigrasi.
Menolak KB
Untuk mengantisipasi kekurangan jumlah penduduk, Bupati Malinau meminta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang bertanggung jawab atas program KB, agar mengecualikan Malinau. Program KB yang sekarang lebih dikenal dengan nama program Keluarga Sejahtera dengan dua anak, tidak cocok diterapkan di Malinau. Jumlah penduduk sedikit, pertambahan minim bahkan sebagian wilayah minus. Jika program Keluarga Sejahtera digencarkan di Malinau, maka kabupaten perbatasan itu akan mengalami kesulitan besar.
Fakta itu bersambut, BKKBN merestui gebrakan kependudukan Bupati Malinau untuk meningkatkan angka kelahiran di kotanya. Jika di daerah lain di Indonesia konsep Keluarga Sejahtera itu berisi dua anak, maka di Malinau justru diberlakukan kebijakan optimalisasi kelahiran. Mereka yang punya kemampuan ekonomi baik, bahkan dianjurkan punya lima anak. Sebagai wujud nyata dukungan program itu, Pemkab Malinau memberikan subsidi untuk setiap kelahiran anak yang lebih dari dua ini.
“Malinau butuh lebih banyak sumber daya manusia, untuk mengelola sumber daya alam yang melimpah. Kami juga butuh generasi baru untuk melestarikan budaya dan nilai-nilai lokal.”
Bupati Malinau, Dr. Yansen TP., MSi.
BKKBN menyetujui program Pemkab Malinau dengan syarat, pemkab mengutamakan kesehatan ibu dan bayi. Dengan angka kelahiran yang tinggi, pasti akan muncul masalah kesehatan ibu dan bayi. Tantangan besar yang wajib dikelola oleh Pemkab Malinau. Bupati Yansen mencanangkan program banyak anak di Malinau selama 10 tahun. Ia berharap jumlah penduduk di beberapa kecamatan dan desa akan kembali normal, sehingga regenerasi berjalan baik. Warisan budaya dan peradaban suku-suku asli di Malinau pun dapat kembali lestari.
Dorong Warga Punya Lima Anak
Pemerintah Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara), mendorong penduduknya untuk memiliki lima anak. Hal itu tidak sesuai dengan program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan Pemerintah Indonesia, yang mengimbau satu keluarga memiliki dua orang anak.
"Memang tidak sesuai dengan Program KB, tetapi beberapa daerah di Malinau dengan angka kelahiran hingga nol persen. Ini realita, pertumbuhan angka penduduk ini akan stagnan apabila tidak segera direncanakan perubahan. Jika hal ini terus berlanjut, maka pada masa mendatang akan semakin berkurang jumlah penduduknya. "Pemetaan angka kelahiran harus terus diperbarui sesering mungkin. Harus ada beberapa program untuk memperbanyak angka kelahiran akan segera dijalankan."
Masyarakat Malinau pun tak sadar akan fenomena penurunan angka kelahiran ini. Padahal, kondisi ini bukan hal yang sepele. Menurut dia, penurunan angka kelahiran juga bisa menyebabkan penurunan kebudayaan.
"Jika masyarakat tersebut memiliki budaya, namun tak ada pewarisnya, sama saja tak ada penerus," katanya. “Sekarang saya dorong rakyat Malinau untuk segera menikah jika cukup umur dan mempunyai anak empat sampai dengan lima orang. Berangkat dari sini, pemerintah akan bisa mengontrol jumlah kelahiran yang akan meningkat. Jika tak dikontrol pelaksanaanya, maka akan menyebabkan ledakan jumlah penduduk di suatu daerah."