Politik

Thjai Chui Mie, Politisi Tionghoa Perempuan dari Kalimantan Barat

Senin, 25 Januari 2021, 08:49 WIB
Dibaca 885
Thjai Chui Mie, Politisi Tionghoa Perempuan dari Kalimantan Barat
Thjai Cui Mie

Judul: Pesan Ibu Thjai Chui Mie Wanita Walikota Etnis Tionghoa

Penulis: Masri Sarep Putra dan Cory Soesana

Tahun Terbit: 2020

Penerbit: An1Mage                                                                                                 

Tebal: xx + 182

ISBN: 978-623-7069-65-2

Sejak Reformasi bergulir di Indonesia, telah terjadi perbaikan dalam hak-hak sipil dan hak-hak kewarganegaraan bagi golongan Tionghoa. Lidya Christin Sinaga dan kawan-kawan (2020), dalam bukunya yang berjudul Potret “Pemenuhan Hak Sipil & Politik Etnik Tionghoa di Singkawang & Tangerang” menyebutkan bahwa telah terjadi perbaikan hak-hak sipil masyarakat Tionghoa. Kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil warga Tionghoa tersebut dimulai dari era Presiden Habibie, yaitu dengan dikeluarkannya Inpres No. 26 Tahun 1998 yang menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, dan Inpres No 4 Tahun 1999 tentang penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) sebagai syarat pembuatan dokumen kependudukan.

Kebijakan yang memulihkan hak-hal sipil warga Tionghoa dilanjutkan di era Presiden Abdurrahman Wahid melalui penerbitan Keppres No. 6 Tahun 2000 mengenai Pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Di era Presdien Abdurrahman Wahid inilah masyarakat Tionghoa mulai berani menunjukkan budaya leluhurnya di muka umum.

Pemenuhan hak-hak sipil warga Tionghoa terus berlanjut. Di era Presiden Megawati, Imlek atau hari raya masyarakat Tionghoa ditetapkan sebagai hari libur nasional. Puncaknya, di era Presiden SBY, terbit Undang-Undang No 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegararan lain atas kehendak sendiri.

Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh kepada peran orang Tionghoa dalam berbagai bidang di luar sektor ekonomi. Tak terkecuali sektor politik dan kepemimpinan publik. Sebelum era Reformasi, sangat sulit bagi seorang keturunan Tionghoa untuk mendapatkan jabatan sebagai Kepala Daerah. Namun sejak reformasi digulirkan, banyak orang Tionghoa yang menjadi anggota partai politik secara aktif dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun sebagai pimpinan daerah. Hal ini sangat kontras dengan situasi pasca 1965, dimana banyak orang Tionghoa yang alergi terhadap politik.

Kemunculan tokoh Tionghoa seperti Ahok alias Basuki Cahaya Purnama sebagai Wakil Gubernur dan kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta adalah sebuah fenomena menarik di era reformasi. Bukan hanya Ahok, tokoh-tokoh Tionghoa mulai memasuki dunia politik. Aji “Chen” Bromokusumo menjadi Anggota Dewan di Kota Tangerang Selatan dan William Aditya Sarana menjadi Anggota Dewan di DKI adalah sebuah contoh dimana anak-anak muda Tionghoa yang berhasil membangun karir politik di daerahnya. Peran mereka sangat signifikan dalam memperbaiki tatanan kepemerintahan. Mereka berani bersuara terhadap praktik korupsi dan penyelewengan dalam penyelenggaraan urusan publik.

Tak hanya di sekitar Jakarta, berbagai daerah juga terjadi fenomena masuknya orang Tionghoa dalam wilayah kepemimpinan bangsa. Termasuk dalam hal ini adalah Provinsi Kalimantan Barat, khususnya Kota Singkawang. Populasi etnis Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat memang cukup besar. Terlebih lagi di Kota Singkawang. Polulasi Tionghoa yang cukup besar menjadi modal bagi kalangan Tionghoa untuk ikut serta dalam mengelola daerahnya.

Dari sejarahnya, Kota Singkawang memang sangat berhubungan erat dengan etnis Tionghoa. Singkawang berasal dari kata San Khew Jong yang artinya sebuah kawasan dengan mata air mengalir dari gunung sampai laut. San Khew Jong kemudian hari diucapkan sebagai Singkawang (hal. 2). Bukan hanya Singkawang yang memiliki sejarah yang berhubungan erat dengan etnis Tionghoa. Sambas pun demikian. Sambas berasal dari kata Sam Bas yang artinya tiga suku. Kabupaten ini memang dihuni oleh tiga suku utama yaitu Melayu, Dayak dan Tionghoa. Tiga suku ini mengikrarkan perjanjian untuk saling membantu saat mereka diserang oleh Inggris di tahun 1812. Mereka bersepakat untuk saling membantu jika salah satu suku diserang.

Kota Singkawang dikenal dengan berbagai julukan. Hampir semua julukan Kota Singkawang juga sangat berhubungan dengan etnis Tionghoa. Julukan Kota Amoi dan Kota Seribu Kelenteng misalnya sangat jelas menunjukkan hubungan erat kota ini dengan etnis Tionghoa. Sejarah dan budaya Kota Singkawang yang sangat erat hubungannya dengan etnis Tionghoa ini latar belakang munculnya kepemimpinan Tionghoa di kota ini.

Sejak pemilihan Walikota pertama dilaksanakan di Kota Singkawang, yaitu pada tahun 2007, etnis Tionghoa sudah langsung memenangkan kontestasi Kepala Daerah. Hasan Karman alias Bong Sau Fan terpilih menjadi Walikota. Pada periode berikutnya Awang Iskak yang istrinya adalah etnis Tionghoa memenangkan kontestasi Kepala Daerah. Sebelumnya Awang Iskak telah menjabat sebagai Walikota yang ditunjuk saat Kota Singkawang memisahkan diri dari Kabupaten Sambas pada tahun 2001. Ia kalah bersaing dengan Hasan Karman pada pemilihan Walikota pada tahun 2007, namun kemudian memenangkannya pada tahun 2012.

Pada tahun 2017, dua kontestan perempuan Tionghoa bersaing memperebutkan jabatan Walikota Singkawang, bersama dengan dua pasangan lainnya. Thjai Chui Mie bersaing dengan Thjai Nyit Kin (Istri Awang Iskak), Abdul Mutalib dan Andi Syarif. Thjai Chui Mie memenangkan kontestasi dengan perolehan angka 42,7%. Kehadiran Hasan Karman dan bersaingnya dua perempuan etnis Tionghoa di pemilihan Walikota Singkawang ini membuktikan bahwa partisipasi etnis Tionghoa dalam kepemimpinan daerah di Singkawang sangat besar (hal. 25).

Mengapa Thjai Chui Mie bisa berhasil menjadi Walikota Singkawang? Buku ini tidak secara khusus membahas penyebab perempuan yang lahir pada tanggal 27 Februari 1972 berhasil menjadi Walikota. Buku ini hanya serba sedikit menyingkap modal politik, modal sosial dan modal ekonomi yang menjadi faktor pendukung keberhasilan Thjai. Cory dan Masri memang lebih memotret Thjai Chui Mie sebagai perempuan Tionghoa yang berhasil menjadi Walikota. Sosok kemanusiaan Thjai lebih diungkap dalam buku ini daripada sosoknya sebagai politikus.

Namun supaya lebih lengkap, saya ingin menambahkan beberapa analisis tentang mengapa ia berhasil menjadi Walikota. Ika Kartika dan kawan-kawan (2018) dari UNPAD melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mendukung Thjai Chui Mie menjadi Walikota. Menurut Ika Kartika, Thjai Chui Mie memiliki modal politik, modal sosial dan modal ekonomi yang kuat.

Thjai Chui Mie adalah seorang politisi yang matang. Ia mempunyai pendukung yang kuat di kalangan rakyat. Dua kali ikut pemilihan anggota dewan, Thjai selalu menjadi pendulang jumlah pemilih tertinggi. Baik saat ia masih bernaung di Partai Indonesia Baru (PIB), maupun saat kemudian dia bergaung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). (Thjai berpindah partai karena PIB tidak lolos secara nasional pada kontestasi tahun 2014.) Karena mendulang suara terbanyak, Thjai terpilih menjadi Ketua DPRD. Posisi sebagai Ketua DPRD ini memuluskan pencalonannya menjadi Walikota. Karena keberhasilannya tersebut, maka PDIP mendukung Thjai dari sejak awal untuk maju sebagai Walikota. Dukungan dari partai besar seperti PDIP adalah sebuah modal politik yang penting.

Tetapi modal politik saja tidaklah cukup. Pengagum Megawati ini juga mempunyai modal sosial yang kuat. Ia sudah berkiprah di bidang social sejak sebelum masuk dunia politik. Anak perempuan Cong Kim Chong ini adalah Ketua Perkumpulan Hakka Singkawang (hal. 27). Sebagai seorang Ketua, maka  istri Lim Hok Nen ini tentu saja mendapatkan dukungan yang luas. Orang Hakka adalah orang yang menjunjung tinggi persatuan dan sangat memegang kepercayaan. Hakka jit tiau sim - Hakka satu hati. Jika seseorang bisa dipercaya, maka ia akan terus diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin.

Baca Juga: Tjhai Chui Mie, Walikota Singkawang yang Pulih dari Covid-19

Tidak hanya di kalangan Hakka, Thjai juga sangat akrab dengan kalangan Hao Kiao, masyarakat Melayu dan masyarakat Dayak. Thjai adalah sosok yang selalu hadir secara fisik saat masyarakat Singkawang mengalami musibah. Dia adalah sosok yang luwes dan bisa diterima di semua kalangan di Singkawang. Saat menjabat sebagai Anggota Dewan, Thjai selalu berupaya membantu masyarakat yang kesulitan dalam berurusan dengan Pemerintah. Contohnya adalah dalam hal urusan dokumen kependudukan. Thjai sendiri sebenarnya adalah korban dari sulitnya mengurus dokumen kependudukan. Ia terpaksa menggunakan marga ibunya – Thjai, daripada menggunakan marga ayahnya Cong. Sebab orangtua mereka gagal mengurus Surat Nikah.

Itulah sebabnya saat menjadi Anggota Dewan dia selalu berupaya membantu masyarakat dalam mengurus dokumen kependudukan. Alih-alih menjadi broker, Thjai menyarankan supaya masyarakat mengurus dengan prosedur yang benar. Dia akan mendatangi kantor yang memperlambat proses tersebut. Pengalaman masyarakat yang dipermudah dalam mengurus dokumen kependudukan ini menjadi salah satu modal sosial bagi Thjai saat maju sebagai Walikota Singkawang. Masyarakat mempercayainya bahwa Thjai adalah seorang yang bisa memangkas birokrasi.

Partai pada umumnya mendukung calon yang memiliki modal sendiri. Dalam pencalonannya sebagai Walikota Singkawang, Thjai telah memiliki dana sendiri. Dengan dukungan jaringan yang mempercayainya bisa membawa kemajuan bagi Singkawang, Thjai memiliki dana yang memadai untuk membiayai pencalonannya. “Chui Mie memang pantas kita dukung,” kata salah satu taipan dalam sebuah pertemuan di sebuah Hotel di bilangan Cikini.

Thjai Chui Mie dibesarkan dalam tradisi Hakka dalam keluarga. Kerja keras, jujur dan hemat adalah nilai-nilai yang tertanam sejak ia kecil. Ibunya yang sangat dominan membentuk karakter Thjai, selalu mendorongnya untuk belajar dengan keras dan sekolah setinggi mungkin (hal. 15). Pendapat ibunya ini sangat berbeda dengan pandangan ayahnya yang mengatakan bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena nanti akan ikut suami, mengurus suami dan anak-anaknya. Thjai dibesarkan dengan kerja keras di rumah. Ia harus membantu pekerjaan rumah tangga, sebelum berangkat sekolah. Peran Ibu dalam kehidupan Thjai Chui Mie diulas dengan cukup dalam di buku ini. Demikian juga dengan peran suaminya yang selalu mendukung dan mencintainya.

Meski telah berhasil menduduki kursi tertinggi di Kota Singkawang, peran Thjai Chui Mie sebagai ibu dan istri tidak dilalaikannya. Ia selalu berupaya mencari waktu supaya bisa berkumpul dengan keluarganya. Ia tak segan meminta maaf kepada keluarganya jika waktu untuk keluarganya terpaksa terpotong karena pekerjaan belum selesai.

Thjai Chui Mie adalah sebuah contoh bahwa perempuan Tionghoa juga bisa berperan di dunia pemerintahan. Sifatnya yang merakyat dan mau bergaul dengan semua kalangan membuatnya didukung oleh masyarakat Singkawang. Visinya adalah mewujudkan Kota Singkawang sebagai kota wisata yang religius, sehat berpendidikan, berbudaya dan sejahtera (hal. 45). Untuk mewujudkan visinya tersebut, Thjai membenahi organisasi dan kelembagaan pemerintahan, meningkatkan Pendidikan dan Kesehatan dan mempercantik tampilan kota.

***