Kaltara Rumah Kita (1) Zpeak Up! Dialektika Politik Antargenerasi
Perjalanan ini saya awali dari video call grup literasi kami di mana Pak Yansen TP, sebagai pemanggil, mengundang saya dan Pak Masri Sareb Putra untuk hadir di bedah buku di acara Zpeak Up Millennial dan Gen Z Tarakan, Kalimantan Utara. Tentu saya senang apalagi waktunya tidak bentrok dengan kegiatan jurnalistik lainnya, yakni mengurusi penerbitan Majalah Lintas dan penerbitan buku di sayap Kementerian Pekerjaan Umum.
Maka tatkala tiket sudah dipersiapkan para ajudan Pak Yansen, dengan ringan kaki saya berpesawat udara menuju Tarakan, Ahad 17 November 2024. Hanya Kang Dodi Mawardi, anggota tim literasi YTP yang tidak bisa hadir karena kesibukannya. Dipikir-pikir, nikmat mana lagi yang kau dustakan tatkala sekian lama menjadi pensiunan tiket pesawat masih disediakan sahabat sekaligus pejabat.
Meski penerbangan Jakarta-Tarakan harus transit 5 jam di Bandara Juanda, Surabaya, plus bonus "delay" satu jam, hal itu tidak membuat saya "bete". Banyak hal yang bisa saya lakukan, dari menulis catatan ringan, membuat presentasi hasil menangkap ide sekejap (blink) dan menamatkan bacaan buku tebal "Kita dan Mereka" yang sungguh mengasyikkan. Saya tenggelam dalam kekaguman membaca buku itu.
Saya memandang bulan purnama di atas laut sebelum pesawat mendarat di Bandara Juwata, Tarakan. Jam di ponsel menunjuk angka 21.00 WITA saat mendarat dan Alif, orang kepercayaan keluarga Yansen TP menyambut saya menggunakan Fortuner. Sampai di hotel langsung mandi pancuran hangat dan upaya itu tidak mampu membujuk kantuk saya untuk sekadar melek. Saya menonton televisi tetapi tidak lama kemudian malah saya yang ditonton televisi. Saya terlelap tidak lama kemudian.
Keesokan harinya pukul 07.00 saya tidak berhasrat sarapan di hotel melihat menu yang tersedia. Saya pesan gojek agar bisa berada di Pasar Batu membeli ikan asin tipis yang terkenal di Tarakan. Banyak produk Malaysia yang dijual di sana, yang nanti akan saya ceritakan di lain kesempatan. Setelah ikan asin di tangan sebagai pesanan orang rumah, saya melihat ada warung coto. Ah, kebetulan, pikir saya. Kerinduan akan kota Anging Mammiri bisa terobati.
Pak Haji Ali, pemilik warung coto adalah tipikal orang Bugis-Makassar yang terbuka berbicara politik. Ia berasal dari Bone. Dia berbicara tentang Pilkada Kaltara yang diikuti tiga pasangan. Sebagai orang Bugis, preferensi politik Pilkadanya sebenarnya sudah bisa ditebak, mengingat salah satu kontestan berdarah Bugis-Makassar. Akan tetapi ia menyoroti program salah satu kandidat yang akan membagikan ekskavator atau alat berat untuk setiap kecamatan di Kaltara sebagai "sulit diwujudkan".
"Itu hanya akan menjadikan ekskavator besi tua kalau tidak ada orang yang mahir mengoperasikannya," kata Haji Ali, "Lalu apakah setiap kecamatan memang membutuhkan ekskavator?"
Salah seorang pelanggan yang kebetulan sama-sama menikmati coto menimpali, "Itu ide yang bagus, tetapi memang harus disertai pelatihan kepada warga setempat bagaimana cara mengoperasikan mesin berat itu."
Saya merekam percakapan mereka dalam ingatan sambil menikmati coto. Betapa Pilkada sesungguhnya telah membuat mereka melek politik.
"Kalau pilihan saya harus orang Kaltara yang tahu permasalahan wilayahnya," kata Haji Ali kemudian seraya mencontohkan mantan walikota Tarakan Jusuf Iskak yang menurutnya pemimpin yang tahu persis persoalan daerahnya sehingga banyak hal yang bisa diwujudkannya.
Petang hari saya baru bertemu Pak Yansen yang bersama rombongan baru merapat dari Malinau bersama rombongan besarnya. Saya harus mempersiapkan diri di acara "Zpeak Up" di mana Yansen TP akan beraudiensi terbuka di sebuah taman cafe tempat nongkrongnya anak-anak milenial.
Di acara itu, saya bersama Pak Masri didapuk untuk memberikan testimoni atas hadirnya buku "Kaltara Rumah Kita" karya Yansen TP sendiri.
Tidak seperti di buku "Kaltara Rumah Kita" sebelumnya di mana kami bertindak sebagai editornya, di buku barunya ini kami bertiga diberi kesempatan menulis pengalaman tentang sosok Yansen TP.
Panggung terbuka yang dikelilingi kaum milenial dan Gen Z ini tiba-tiba disulap menjadi ruang publik di mana dialektika antarinsan terjadi. Saya teringat Jurgen Habermas dengan "public sphere" serupa pada zaman Sekolah Frankfurt dulu yang melahirkan téori kritis. Saya menyaksikan penuh mintat dialektika politik antar-generasi ini yang dalam pandangan saya sungguh keren.
Yansen TP dengan baju kampanye yang dikenakannya berdialog seru dengan para milenial yang antusias bertanya.
Uniknya, moderator tidak memberi kesempatan mantan wakil gubernur Kaltara yang maju sebagai calon gubernur berpasangan dengan Suratno ini memaparkan visi-misinya, melainkan langsung kepada tanya-jawab.
(Bersambung)