Kaltara Rumah Kita (3) Cerita tentang Kelahiran Sebuah Buku
Izinkan dalam perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara, ini saya bercerita tentang sebuah buku. Judul buku itu Kaltara Rumah Kita. Penulisnya Yansen TP, Doktor administrasi negara lulusan Universitas Brawijaya, Malang.
Keberadaan saya dan Masri Sareb Putra di Tarakan "sekadar" memberi testimoni atas lahirnya buku ini, selebihnya menemaninya bincang-bincang usai menyampaikan materi kampanye di hadapan publik Tarakan dari berbagai lapisan.
Mengapa kami diminta memberi testimoni, karena dalam buku terbaru karya wakil gubernur Kaltara yang sedang berkontestasi menjadi gubernur, kami bertiga; saya, Pak Masri dan Kang Dodi Mawardi diminta menulis kesan sekaligus pesan terhadap sosok Yansen TP. Tidak main-main, saya menulis 10 halaman tanpa spasi tentang sosok penggerak literasi asal Malinau ini.
Apa isi Kaltara Rumah Kita setebal 439 halaman dan bagaimana kami bertiga sebagai sahabat literasinya mengungkap sosoknya, mungkin pembaca bisa memintanya langsung buku tersebut ke Yansen TP jika ada kesempatan, sebab buku tersebut dibagikan secara percuma pada acara "Zpeak Up" tersebut.
Saat diberi kesempatan dua menit saja untuk menyampaikan testimoni buku terbaru Kaltara Rumah Kita yang menjadi gagasan penting yang ingin diwujudkannya itu, saya menyampaikan "surprise" saya. Mengapa? Karena buku ini tidak melibatkan kami sebagai editornya, sebagaimana buku-buku Yansen sebelumnya.
Tahu-tahu buku ini telah jadi sebagai hasil permenungan yang dalam selama kami terpisahkan jarak dan waktu.
Rupanya ada tugas penting bagi kami dari "sekadar" menjadi editor buku, tetapi meminta kami bertiga masing-masing menulis 10 halaman mengenai sosok pribadi Yansen yang kami kenal. Yansen tidak ingin mencampuradukkan tugas editor dengan tantangan menulis sosoknya yang karenanya menjadi konten bukunya. Masuk akal, masak iya penulis testimonial yang menjadi konten buku bertindak selaku editor juga!
Dari atas panggung saya melempar tanya kepada GenZ dan milenial: mengapa Yansen tidak menyebar dan membagikan buku biografinya agar membujuk atau mempengaruhi pembaca untuk memilihnya? Saya menjawabnya sendiri, itulah sikap "keren" yang ditunjukkan Yansen karena ia hanya ingin berbagi pemikiran, pandangan dan gagasannya mengenai konsep besar "Kaltara Rumah Kita" dalam buku yang ditulisnya.
Di panggung, Masri Sareb Putra mengumpamakam Yansen sebagai pemimpin yang makan paling akhir dalam sebuah jamuan, pemimpin yang mendengar dan menjawab segenap tanya dengan cinta. Saya sendiri di tempat yang sama memandang Yansen sebagai pemimpin yang bekerja tulus, santun, berjiwa besar dan tidak pernah memendam dendam.
Tentu saya bicara dengan fakta, semisal ketika pada Pilkada Jakarta 2017 di mana Agus Harimurti Yudhoyono menjadi salah satu kandidat selain Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan, Yansen yang berasal dari partai yang sama dengan AHY, menelpon saya dan meminta tanggapan saya. Telepon saya terima setelah sekian tahun lamanya tidak berinteraksi.
Secara kebetulan, saya sudah mendapat bocoran dari lembaga penelitian psikologi universitas ternama sebelum putaran pertama terjadi, bahwa pemenang Pilkada bukan AHY, melainkan Anies. Bahkan saya sampaikan, seturut penelitian itu, AHY akan terlempar di putaran pertama. Yansen yang yakin AHY sebagai juaranya kala itu hanya berkomentar, "Oh, begitu, ya?"
Kenyataan memang membuktikan bahwa Anieslah pemenangnya dan AHY benar tersingkir di putaran pertama. Marahkah Yansen terhadap saya karena mungkin telah mengecewakannya? O, ternyata tidak. Tidak lama berselang Yansen menelpon kembali seusai pesta berakhir (post festum).
"Pak Pipih benar," katanya memanggil nama kesayangannya "Pipih", bukan "Pepih". Bahkan sejak tahun 2018 intensitas pertemuan semakin meningkat sampai pendirian web literasi ytprayeh.com di 2020 dan berpuncak pada pesta literasi nasional Batu Ruyud Writing Camp di pedalaman Kalimantan (Krayan) di 2022.
Ketika pada kampanyenya Pilkada Kaltara 2024 yang diikutinya sebagai calon gubernur, Yansen bertekad untuk tidak melakukan "money politics" pada setiap pilkada yang sudah dibuktikannya di Pilkada Malinau dua kali dan Pilkada Kaltara saat maju sebagai calon wakil gubernur. Pada halaman 27 buku Kaltara Rumah Kita saya menulis tekad Yansen tersebut.
Yansen sangat menghindari praktik politik uang atau "money politics" yang seolah-olah telah menjadi "conditio sine qua non" (syarat mutlak) dalam berpolitik di tanah air termasuk dalam kontestasi perebutan kursi bupati maupun wakil gubernur yang baru lalu, demikian saya tulis. Kini saat maju sebagai bakal calon gubernur, Yansen mendeklarasikan dirinya untuk tidak melakukan politik uang, sebagaimana yang telah Ia buktikan pada pilkada-pilkada sebelumnya.
Satu keyakinannya bahwa masyarakat Kaltara sudah sangat cerdas dalam mengindus praktik-praktik politik uang yang kerap menerpa mereka. Kontestasi dalam dunia politik kerap menjebloskan para politikus ke dalam rimba "Machiavellian" menempuh berbagai cara demi kemenangan. "Salah satu cara yang banyak ditempuh untuk mencapai kemenangan namun sesungguhnya sangat tidak sehat dalam berdemokrasi adalah politik uang," tegas saya dalam buku itu.
Saat memberi testimoni itu juga saya sampaikan bahwa cara yang ditempuh Yansen (Yansen's way) dengan tidak mau melakukan politik uang dalam kontestasi Pilkada sebagai "ngeri-ngeri sedap'". Kiranya Yansen paham atas "peringatan" atau "clue" dari saya bahwa kontestan lain menggunakan cara tabur "gizi" tatkala minim "visi dan misi". Hati-hati!
Tetapi kenyataannya, Yansen berjalan dengan langkah yang ditempuhnya sendiri. Ia bergeming dan ingin meraih kemenangan atas dorongan murni nurani masyarakat Kaltara tanpa embel-embel "gizi" atau "materi" di belakangnya. Sebuah cita-cita mulia yang kiranya mendapat dukungan semua pihak.
Tetapi itu tadi, ngeri-ngeri sedap memang.
(Bersambung)