Dualisme Kepemimpinan dan Dinamika Politik Desa
Oleh: Frans B. Tokan
Penyeragaman pemerintahan desa di seluruh wilayah Indonesia dengan menjadikan kepala desa sebagai penguasa tunggal di desa sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, telah memposisikan kepala desa sebagai kepanjangan tangan Negara dan alat mobilisasi yang sangat efektif bagi kepentingan penguasa orde baru. Akibatnya desa-desa yang bersifat genealogis menjadi sangat dualistik dengan struktur baru pemerintahan desa, namun masih tetap dibawah pengaruh tradisi lama yang tercermin dalam diri elit tradisional.
Dengan demikian kepala desa yang bukan dari kalangan elit tradisional tidak pernah efektif memimpin masyarakat desa, sehingga secara formal hanya menjalankan tugas-tugas administratif dan pembangunan yang diturunkan dari atas. Karena itu desa menjadi sangat tidak otonom, tidak mandiri dan sangat bergantung pada belas kasihan Negara melalui kucuran dana subsidi dalam jumlah yang amat terbatas. Itu sebabnya desa di masa lalu tetap terpinggirkan dan miskin dalam rentang sejarah panjang selama rezim orde baru berkuasa.
Kedudukan kepala desa menurut undang-undang desa setelah reformasi telah mengubah dinamika politik desa terkait sirkulasi elit desa. Kedudukan dan fungsi elit tradisional atas desa yang sebelumnya sangat dominan mengalami pergeseran. Pergeseran utama berupa penyerahan jabatan struktural desa sekaligus mengakhiri dominasi politiknya di desa yang diterima dan dilegitimasi oleh masyarakat desa berdasarkan kelahiran, kekayaan, status sosial dan kebijaksanaan lokal.
Sirkulasi elit desa yang makin demokratis dan inklusif bagi siapapun sebagai warga Negara Indonesia, sesungguhnya bertujuan memberi penguatan bagi rezim birokrasi desa agar lebih mampu merespon kompleksitas persoalan dan perubahan yang berkembang di desa.
Selepas rezim orde baru berkuasa, lahirlah Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa dengan perubahan cukup mendasar, yakni melakukan rekognisi dan merestorasi pengaturan urusan otonomi rumah tangga desa sesuai kewenangan berdasarkan hak asal usul (pasal 19 UU No. 6 Tahun 2014) dan menciptakan desa baru yang lebih mandiri dan makmur.
Pengaturan kewenangan desa berdasarkan asal usul inilah kemudian menjadi entry point bagi elit tradisional kembali memainkan peran tradisionalnya di ruang-ruang kekuasaan desa. Sementara pada aspek lain secara legal formal Kepala desa merupakan pemimpin di desa yang diberi mandat khusus oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai pemegang kendali roda pemerintahan dan pembangunan desa dan hak pengguna sumber daya keuangan desa. Transformasi pembangunan desa melalui regulasi Negara yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat desa dengan segala perubahan cenderung menghadirkan kembali dualisme kepemimpinan di desa.
Dualisme kepemimpinan antara Kepala desa dan pemimpin tradisional cenderung membawa implikasi bagi polarisasi politik dan konflik kepentingan elit dalam proses penyusunan program pembangunan desa dan pilkades. Elit tradisional cenderung memanfaatkan pengaruh untuk kepentingan kelompoknya lewat pemberian dukungan kepada calon kepala desa tertentu dengan harapan ketika terpilih diberikan ruang dan akses atas sumber daya desa. Akibatnya kinerja kepala desa dan perangkatnya sering lepas dari kontrol BPD karena terkooptasi rezim oligarki desa di tengah belum terlembaganya partisipasi politik warga.
Kepala desa tentu tak bisa mengabaikan begitu saja peran yang dimainkan oleh elit tradisional yang terkadang sulit dikendalikan oleh pemerintah desa, tetapi kepala desa dalam hal ini tak bisa berbuat banyak untuk mengatasinya. Karena untuk menjaga status quo dan melanggengkan kekuasaan, kepala desa membutuhkan dukungan politik dari elit tradisional yang dalam kenyataan masih memiliki pengaruh signifikan.
Pilihan politik paling rasional yang bisa diambil oleh kepala desa adalah melakukan bargaining position dengan para elit tradisional agar kekuasaan dan roda pemerintahannya bisa terus berlanjut tanpa ada kritik serta kontrol dari BPD dan warga desa.
Praktek politik desa seperti ini cenderung mendelegitimasi pelembagaan demokrasi dan merugikan kepentingan masyarakat desa terutama bagi mereka yang tidak memiliki kuasa di desa. Jika kekuasaan politik desa hanya berpusat pada segelintir elit desa, maka manfaatnya pasti hanya bisa dirasakan oleh sekelompok orang saja.
Pilkades yang diharapkan menjadi medan tempur politik warga desa bagi berlangsungnya proses pergantian pemimpin secara demokratis, justru berubah menjadi sebuah proses negosiasi kepentingan dan persekongkolan para elit desa guna mendapat akses lebih luas atas sumber daya desa yang makin berlimpah dari Negara melalui skema Dana Desa dan ADD.
Melalui kemitraan BPD dan Kepala Desa mestinya dapat terselenggara forum musyawarah desa dan musrenbangdes sebagai ruang kekuasaan publik desa yang lebih demokratis dan efektif bagi warga mendialogkan gagasan, ide-ide kritis dan kreatif antara warga desa, BPD dan pemerintah desa.
Namun sayangnya ruang-ruang kekuasaan yang diperkenankan itu telah terkooptasi oleh kekuatan elit tradisional dan kepala desa dengan menempatkan orang-orang kepercayaan di tingkat BPD, Perangkat desa, Dusun dan RT sehingga ruang kekuasaan kemudian berubah menjadi sarana melegitimasi keputusan para elit desa.
BPD kemudian secara perlahan berubah menjadi lembaga politik desa yang impoten tanpa makna karena tak berfungsi sebagai forum representasi perjuangan politik warga yang seharusnya menghadirkan check and balances dalam tata pemerintahan desa. Sebab itu tak mengherankan apabila dihampir semua desa, BPD seperti macan ompong karena tidak pernah menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal namun tetap menerima tunjangan penuh tanpa merasa bersalah.
Sejumlah temuan penelitian yang dilakukan penulis mengkonfirmasi bahwa elit tradisional selalu hadir di ruang-ruang kekuasaan desa karena rapuhnya institusi BPD, Pemerintah Desa dan absennya forum warga sebagai wadah pelembagaan demokrasi desa.
Oleh sebab itu penguatan kapasitas BPD dan forum warga menjadi salah satu pilihan terbaik, seraya memberi tempat dan peran proporsional bagi para elit tradisional di dalam struktur pemerintahan desa baru. Tugas dan fungsi BPD mesti terus diperkuat dan dioptimalkan melalui berbagai kegiatan sosialisasi tentang regulasi Desa, Bimtek secara terprogram dan berkelanjutan dari pemerintah supra desa maupun organisasi masyarakat sipil.
Selain itu sudah saatnya mengorganisir kekuatan masyarakat kedalam berbagai forum warga berdasarkan bidang tugas dan profesi yang ada di desa. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ketidakadilan dan penindasan terhadap warga lewat dominasi pengambilan keputusan desa di berbagai ruang kekuasaan desa.