Politik

Masa Depan Demokrat setelah Kudeta Moeldoko

Selasa, 9 Maret 2021, 07:35 WIB
Dibaca 570
Masa Depan Demokrat setelah Kudeta Moeldoko
Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: Kumparan.com)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Bagi Partai Demokrat yang kini dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan jajaran loyalis, mempertahankan partai berlambang ikon "Mercy" adalah keharusan. Bagi Moeldoko yang mengkudeta Demokrat dengan dukungan pemberontak dari dalam Demokrat atas nama KLB, berdirinya "partai sempalan" ini juga harus diperjuangkan. Ke depan. kata sakti "perjuangan" akan menjadi rebutan antara dua kubu.

Pada tahun 1996 saat Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati Soekarnoputri dikudeta Soerjadi (dari dalam partai) yang didukung Presiden Soeharto -bahkan terungkap kemudian Soeharto-lah yang menghendaki Megawati jatuh- Megawati kemudian menggunakan kata "Perjuangan" yang disematkan di belakang nama PDI sehingga menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Dalam kemelut Demokrat kali ini, mana yang akan memperebutkan "perjuangan" apakah kubu AHY atau Moeldoko, masih harus ditunggu.

Kata "Perjuangan" ini akan menjadi kunci, sebab menunjukkan siapa yang sesungguhnya terzolimi sehingga kata sakti akan lebih mudah menarik simpatik publik. Apakah dalam kasus "kudeta" ini kubu AHY yang terzolimi atau para pendukung Moeldoko (sebagian pecatan pengurus Demokrat) yang justru terzolimi. Catatan, kata-kata "perjuangan" ini beredar di alam pemikiran publik, bukan letterlijk diterakan pada nama partai misalnya PD Perjuangan.

Tetapi manakala pertarungan legalitas berlanjut di kementrian hukum dan hak asasi manusia dan salah satu kubu terpaksa harus berganti nama, niscaya kata "Perjuangan" atau mungkin "Ppembaruan" akan menjadi pilihan. Misalnya menjadi PD Perjuangan atau PD Pembaruan.

Simulasi ini terasa jauh dan mengada-ada, tetapi itulah yang akan terjadi di masa yang tidak akan lama lagi, sebab bagi Moeldoko dan kawan-kawan, tahun 2024 sudah di depan mata dan ia perlu kendaraan untuk memuluskan jalannya bertarung sebagai capres. AHY, tentu saja tidak akan tinggal diam, sebab sangat tidak mungkin Demokrat dan AHY hanya akan menjadi penonton saja.

Lalu, bagaimana publik menyikapi turbulensi yang tidak ringan di tubuh Demokrat yang baru saja dipimpin AHY hasil aklamasi? Publik atau masyarakat umum yang concern terhadap literasi politik memang sebaiknya menonton saja pertarungan dua kubu sambil menggelar tikar yang masing-masing sedang menguatkan konsep filosofis Martin Huizinga sebagai "Homo Ludens", manusia bermain di arena politik. Para gladiator kata-kata, semantik dan verbatim, sedang memamerkan pedang lidah serta pikirannya di arena publik, media massa maupun media sosial.

Pernah Menimpa Gus Dur

Sesungguhnya kemelut yang menimpa Demokrat selain menimpa PDI Megawati, juga pernah menimpa PKB Gus Dur yang dikudeta oleh PKB Matori maupun PKB Muhaimin. PKB Matori kalah di pertarungan legalitas dan kemudian mendirikan PKD (Partai Kebangsaan Demokrasi). Saat itu yang menjadi Presiden adalah Megawati Soekarnoputri. Megawati membiarkan pertarungan itu terjadi di kementrian hukum sampai Gus Dur berjaya dan tak tergoyahkan.

Berbeda dengan kudeta PKB Muhaimin yang justru berjaya, menggulingkan PKB Gus Dur di arena legalitas. Ironis, Gus Dur yang mendirikan partai itu harus mengubah nama partainya, sebab PKB dimenangkan oleh Muhaimin Iskandar. Sekadar mengingatkan, saat pertarungan dan perebutan "nomenklatur" PKB terjadi, yang menjadi Presiden saat itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bagaimana keberpihakan SBY saat itu? Sebagai Presiden, sejatinya ia membiarkan saja pertarungan itu sampai berakhir salah satu pemenang. Namun realitas politik membuktikan, SBY lebih mendukung PKB hasil kudeta Muhaimin Iskandar ini karena memerlukan arsenal untuk Pilpres 2009. Gus Dur masih dianggap lawan potensial. Sejarah mencatat, akhirnya Muhaimin diangkat sebagai salah satu menteri oleh SBY saat terpilih untuk yang kedua kalinya.

Pertanyaan yang sering dilontarkan publik, bagaimana Presiden Jokowi bersikap dalam kemelut Demokrat ini, mengingat pelakunya adalah Moeldoko yang menjabat sebagai KSP atau Kepala Staf Presiden?

Wajar jika ada asumsi yang langsung mengatakan, "Jokowi pasti terlibat dalam kudeta Demokrat ini karena Moeldoko adalah orang Istana." Sehingga ada yang menganggap, Jokowi harus segera menjelaskan posisi dan sikapnya.

Boleh jadi kalau Jokowi tidak bersikap, ia sejatinya tengah meniru pola SBY yang dulu juga tidak bersikap saat terjadi kudeta Muhaimin. SBY baru menunjukan keberpihakannya saat kementrian hukum memenangkan Muhaimin. Saat itu santer terdengar, Gus Dur terzolimi dan ia lebih memilih mati alias berhenti memperjuangkan PKB sekaligus menghormati putusan pemerintah yang memenangkan Muhaimin.

Jika pada peristiwa tahun 2008 itu SBY sangat membutuhkan dukungan agar Pilpres 2009 memiliki lebih banyak dukungan, pertanyaan sekarang; untuk apa Jokowi harus bersikap wong pada Pilpres 2024 mendatang ia sudah tidak punya kepentingan apa-apa lagi karena tidak bisa mencalonkan diri lagi.

Kalau tidak Jokowi, siapa yang berkepentingan untuk Pilpres 2024? Jelas PDI Perjuangan (PDIP) sebagai the rulling party alias partai pemegang kekuasaan yang harus berjuang melanggengkan kekuasaannya. Siapa kader moncer untuk 2024? Boleh jadi di mata PDIP, AHY cukup kinclong dan potensial sehingga harus "diuji" dengan kudeta lewat Moeldoko ini, sedangkan nama yang beredar di PDIP berkisar pada Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Belum cukup kuat.

Sekadar mengingatkan, rivalitas antara Megawati dengan SBY rupanya belum berakhir sampai saat ini. Megawati jelas masih dongkol dipermalukan SBY di dua kali Pilpres (2004 dan 2009), ia mungkin masih sebal karena SBY di matanya telah berbohong dan tidak jujur saat di tahun 2004 ia bertanya kepada para menterinya siapa yang akan mencalonkan diri sebagai presiden. Saat bertanya kepada Yusril Ihza Mahendra, Yusril menjawab akan mencalonkan diri sebagai Presiden (meski kenyataannya tidak jadi mencalonkan). Tetapi saat bertanya kepada SBY, jawabannya adalah tidak akan mencalonkan diri (tetapi kenyataannya mencalonkan).

Baca Juga: Kebenaran Bisa Disalahkan tapi Tak Bisa Dikalahkan

Dari sini Megawati merasa dikhianati (tepatnya dibohong) oleh menterinya sendiri. Lalu dipecundangi di dua kali Pilpres. Baru di tahun 2014 Megawati dapat "membalas dendam" masa lalu. Rupanya ia belum cukup puas kendati bisa mengalahkan Demokrat yang tanpa SBY bertarung di Pilpres. Memang, Demokrat tanpa SBY saat itu mempengaruhi perolehan suara (kursi) secara drastis. Tetapi, dendam sesungguhnya belum terbalaskan secara langsung, sebab SBY tidak lagi bisa bertarung.

Dengan dua periode berkuasa sebagai "the rulling party", PDIP dengan Megawati-nya tentu berkepentingan melanggengkan kekuasaannya dan berusaha mengeliminir segala "duri" yang menghalangi jalan menuju kursi Istana untuk periode yang ketiga kalinya. 

Apakah kemungkinan ini sudah diantisipasi oleh kubu Demokrat AHY dan SBY sebagai pendiri Demokrat? Tentu sudah, hanya Demokrat masih ingin memainkan narasi "Jokowi terlibat" atau "Jokowi yang berada di belakang kudeta Moeldoko".

Membidik Jokowi hanya akan membangunkan para pendukung fanatiknya (yang bukan sekadar simpatisan PDIP), sehingga Demokrat harus berhati-hati dalam membuat narasi. Sebab, salah-salah malah bisa hancur di narasi publik. Senapan yang seharusnya diarahkan pada PDIP dengan Megawati-nya, malah difokuskan pada Jokowi. Ini blunder besar!

Untuk itulah pada tulisan sebelumnya ditekankan, AHY yang harus tampil dalam kemelut ini; berhasil atau tidak mengatasi kemelut ini, itu poin besar buat AHY. Jangan malah SBY yang tampil, sebab rival abadinya, yaitu Megawati, tidak pernah tampil meladeni SBY secara khusus, kecuali mlipir atau menyindir saja dalam beberapa kesempatan. Tampilnya SBY malah membonsai potensi AHY yang seharusnya diberi kesempatan dan jalan untuk berperang.

Maka hadirnya AHY dengan 34 ketua DPD di kementrian hukum adalah gerakan yang baik dan patut diapresiasi. Selain menunjukkan soliditas partai -bahwa Partai Demokrat di bawah kepemimpinannya tetap utuh- usaha ini menunjukkan bahwa AHY sudah (berani) tampil di depan publik dan memang seharusnya demikian.

Sementara untuk SBY, kalau masih ingin ikut berperang di palagan ini, berjuanglah di belakang layar, sebagaimana Megawati yang mencermati kemelut di luar partainya di belakang layar sambil menyeruput teh hangat kesukaannya. 

Sementara publik, masih tetap menggelar tikar untuk menonton pertarungan politik ini dengan memesan kopi baru. Kopi lama sudah tandas rupanya.

***