Kian Berbudaya, Makin Gemar Menulis
Lihatlah di dinding-dinding candi Borobudur. Terdapat banyak gambar yang bercerita. Lihat pula dinding sebuah gua di Mesir, yang bercerita melalui huruf-huruf heroglif. Pada batu-batu prasasti di Jawa dan Kalimantan pun terdapat peninggalan masa lalu lewat tulisan kuno. Semua peninggalan itu memberikan informasi kepada kita, tentang kondisi nenek moyang, sehingga kita mengetahui sedikit banyak tentang mereka. Tanpa peninggalan itu, sulit bagi generasi mendatang memahami kehidupan generasi sekarang atau generasi sebelumnya.
Peninggalan terbaik yang paling mudah dipahami oleh generasi mendatang adalah dalam bentuk tulisan. Bahkan banyak pihak meyakini bahwa tulisanlah yang menjadi pertanda sebuah bangsa memiliki sejarah. Tanpa tulisan tidak ada sejarah. Sejarah bisa dipelajari ketika terdapat peninggalan dan peninggalan tersebut dapat dibaca. Peninggalan bisa berupa karya dengan beragam bentuk, mulai dari alat memasak, berburu atau peninggalan-peninggalan karya bernilai budaya tinggi seperti bangunan megah, prasasti atau tulisan.
Manusia Prasejarah Tidak Menulis
Jika kita tengok ke masa lalu, maka kita akan menemukan fakta menarik, bahwa manusia pra sejarah tidak pernah menulis. Percaya? Lihat tulisan di atas, bahwa sejarah ditemukan sejak adanya karya yang bisa dibaca. Sejarah Mesir dapat ditelusuri sejak ditemukannya huruf Heroglif; Sejarah Indonesia dimulai sejak ditemukannya batu prasasti di Kutai; Sejarah China diketahui berkat peninggalan-peninggalan tertulis. Sejak ditemukannya karya yang dapat dibaca itu, sejarah dimulai. Artinya, sebelum karya tulis itu ditemukan, maka masa-masa itu disebut sebagai masa prasejarah.
Kesimpulannya jelas, manusia prasejarah tidak pernah menulis, apalagi menulis buku atau menulis di koran dan majalah. Manusia prasejarah tidak meninggalkan jejak apapun, yang dapat dibaca oleh manusia zaman sekarang. Saya tidak segan-segan menyebut manusia zaman sekarang yang tidak punya kegemaran menulis, atau tidak pernah menulis karya (baik buku maupun karya tulis lainnya) sebagai manusia prasejarah.
Oleh sebab itu, jika Anda tidak mau disebut sebagai manusia prasejarah, maka mulai sekarang segeralah menulis. Terserah menulis karya dalam bentuk apapun. Mencoret-coret dinding rumah Anda dengan tulisan pun silakan. Yang penting rumah Anda sendiri ya, jangan rumah orang lain. Siapa tahu 200 tahun atau 1000 tahun kemudian, dinding rumah Anda masih bertahan dan menjadi bahan pelajaran pada masa itu.
Budaya Menulis Budaya Maju
Sekarang mari kita telaah kondisi tulis-menulis di berbagai bangsa. Negara-negara maju di Eropa dan Amerika memiliki budaya menulis yang sudah sangat maju pula. Tingkat melek menulis sudah sangat tinggi, ditandai oleh jumlah penerbitan buku, koran, majalah dan ditambah dengan internet. Jumlah penerbitan buku di negara maju, bisa 10 kali lipat lebih banyak dibanding negara berkembang. Jumlah koran dan majalah di sana, bisa 20 kali lipat lebih banyak dan akses internet serta jumlah websitenya mungkin bisa 50 sampai 100 kali lipat lebih banyak.
Jangan tanya budaya membacanya. Jika budaya menulisnya sudah tinggi, maka otomatis budaya membacanya pun sudah sangat tinggi. Budaya membaca levelnya masih di bawah budaya menulis. Bangsa-bangsa maju itu sudah melewati tahap budaya membaca. Membaca sudah menjadi kebutuhan primer selain makan 3 kali sehari. Di Amerika Serikat misalnya, isunya bukan lagi bagaimana meningkatkan budaya membaca, melainkan bagaimana terus meningkatkan budaya menulis. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kalangan di sana membuat gerakan khusus yaitu revolusi menulis, untuk meningkatkan budaya menulis. Padahal, budaya menulis di sana sudah sangat maju dibandingkan negara berkembang seperti Indonesia.
Kalau Mau Maju Harus Menulis
Bagaimana dengan Indonesia? Ya kalau mau maju, mau tidak mau Indonesia harus meningkatkan budaya menulis masyarakatnya. Dengan menulis, maka seseorang harus membaca. Satu kegiatan menghasilkan dua aksi positif sekaligus. Sulit menemukan penulis yang tidak membaca. Tapi banyak sekali pembaca yang tidak menulis. Betul begitu bukan?
Bangsa kita tertinggal jauh dalam hal budaya membaca. Untuk mengejar ketertinggalan itu, butuh waktu beberapa dekade dan butuh gerakan yang massif. Gerakan itu akan lebih cepat jika dibarengi dengan kampanye menulis. Kita harus mengejar dua ketinggalan sekaligus yaitu budaya membaca dan budaya menulis. Sesungguhnya membaca dan menulis adalah kegiatan yang tidak terpisahkan.
Bangsa maju memiliki budaya menulis yang tinggi, karena menyadari betapa dahsyatnya dampak dan manfaat tulisan. Pertama, tulisan akan tersimpan dengan daya tahan sangat lama. Suatu hal yang tertulis akan terus diingat sepanjang masa. Kedua, sebuah tulisan dapat tersebar kepada sebanyak mungkin orang sehingga manfaat yang terkandung di dalamnya semakin besar. Ketiga, ilmu pengetahuan akan terus menerus terjaga kelangsungannya dan berpeluang makin berkembang karena setiap ilmu selalu diikat dalam bentuk tulisan.
Bagaimana Memulainya
Bagaimana memulai kampanye budaya menulis? Banyak cara yang dilakukan, mulai dari keluarga, sekolah atau pihak yang lebih tinggi lagi termasuk pemerintah. Semua pihak dapat melakukan kampanye menulis dengan berbagai bentuk. Keluarga bisa memacu anaknya untuk lebih rajin menulis. Sekolah bisa mengajarkan dan melatih siswanya untuk lebih banyak menulis. Pihak swasta bisa mengadakan berbagai lomba penulisan. Pemerintah pun dapat membuat gerakan khusus untuk lebih memasyarakatkan budaya menulis.
Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, saya belum pernah menemukan gerakan menulis atau kampanye menulis yang dilakukan oleh sebuah lembaga atau institusi resmi. Yang sudah ada adalah kampanye membaca yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional. Yang sudah ada adalah gerakan menulis yang dilakukan oleh individu-individu penulis. Rasanya sudah saatnya Indonesia pun melakukan gerakan menulis yang lebih luas. Menulis menjadi salah satu indikator maju tidaknya sebuah bangsa. Makin maju, kian gemar masyarakatnya menulis.