Juri Artikel Dekat-Jauh
Selamat pagi! menikmati kopi sembari membaca tulisan-tulisan di ytprayeh.com. Kali ini saya tertarik membaca tiga artikel dari para penulis senior.
Mencoba jadi juri dari para penulis senior yang saling adu artikel. Mana yang paling menyentuh, dalam, mengalir, filosofis, dan enak dibaca?
Saya beranikan diri untuk itu! Mereka adalah guru dalam menulis.
Tiga artikel yang membahas topik dekat-jauh. Ditulis oleh ketiga penulis senior yaitu Masri Sareb Putra, Pepih Nugraha dan Dodi Mawardi.
Masri menulis dengan judul dekat. Masri adalah yang paling senior diantara ketiganya. Telah menulis ribuan artikel dan lebih dari seratus buku.
Hanya dari satu kata dekat, terurai sebentuk kejernihan berpikir dan kebijaksanaan. Satu kata mampu mengungkapkan kebijkasanaan bila dipakai dalam konteks tertentu. Pembaca tergugah sebab memahami sesuatu.
Dekat tak sekadar dalam arti jarak atau hubungan tetapi satu kesamaan pemikiran. Ini jelas gaya filsuf. Pemikiran yang dimaksud adalah kerisauan dari sosok panutannya, Jakob Oetama pendiri Kompas Gramedia. “Salah satu penyakit bangsa kita. Yaitu bangsa yang tidak tulus. Bangsa yang selalu ada pamrihnya.”
Kalimat itu kemudian menjadi titik dekat Masri dan Pepih, lalu bernostalgia bagaimana mereka bertemu dan bersama merasakan didikan di UGM (Universitas GraMedia) begitu mereka menyebutnya. Kini mereka juga dekat “kembali” meski tak di UGM. Bagaimanapun Masri mengenal Pepih sebagai pakar jurnalistik.
Pepih Nugraha, seperti disebut Masri, jurnalistik dan media menjadi bidang utamanya. Mantan wartawan harian Kompas dan pendiri Kompasiana.com. Tak jauh dari itu, Pepih menulis dengan judul jauh. Membukanya dengan mengetengahkan bukan sekadar hubungan-jarak. Sebagai mantan jurnalis menulis berdasarkan fakta, wajib hukumnya meski untuk memperjelasnya terkadang perlu kalimat kiasan.
Fakta mengenai sopir angkut soal jarak dan “sejauh mata memandang” mengungkapkan jauhnya atau dekatnya. Gaya ini jelas gaya Pepih. Namun sederhana itu, ia menyambut dekatnya-Masri dengan istilah visi jauh ke depan dan dekat adalah cara meraihnya. Kerja keras, jujur, dan integritas.
Kehidupan yang dijalaninya ketika berada di universitas kehidupan (baca: Universitas GraMedia) dengan pendidik Jakob Oetama. Jelas, Pepih tidak sekadar menulis pada fakta tetapi juga memberi makna pada fakta itu dengan menekankan dekat-jauh dalam kata visi. Menakar tulisan ini, saya yakin pembaca lebih mudah menangkap apa isinya.
Penulis ketiga, junior dibanding kedua tokoh di atas. Judul: jauh-dekat. Dengan gaya yang sederhana cocok untuk generasi millenial/masa kini yang secara umum gak mau ribet.
Generasi juga menjadi kata kunci dari dua tulisan sebelumnya. Masri dan Pepih, senior dan junior, keduanya sama-sama digembleng oleh para pendiri Kompas Gramedia yang juga kita dapat maknai sebagai garis generasi.
Sementara Dodi junior, baik dari sisi usia maupun dari sisi literasi. Dodi mungkin lebih dekat dengan kekinian namun mampu tak jauh dari generasi sebelumnya. Era kekinian lebih mengedepankan konten-konten yang ditulis dan dipublish sederhana, ringan dan mungkin tidak terlalu filosofis.
Dodi, membuka dengan pepatah klasik namun tetap kekinian, “jauh di mata dekat di hati”. Lalu, menggugah pembaca dengan sebuah lagu dari RAN, grup musik tahun 2000-an dengan syair dalam lagu itu, “Dekat di Hati”.
Dodi dikenal sebagai penulis dan editor profesional bersertifikat BNSP.
Di sini nampak bahwa ketiganya memiliki ciri khas yang berbeda di dalam cara menulis yang satu filosofis yang satu jurnalism atau jurnalistik yang satu lagi pada kekinian atau era milenial.
Silakan pembaca menentukan pilahan sesuai dengan latar masing-masing. Bila mau menjawab sesuai kriteria yang disebutkan di atas. Tentu Anda tahu!
Ketiganya saling melengkapi, filsuf, jurnalis, dan gaya millenial. Akhirnya, ketiganya jadi dekat meski jauh-jarak oleh karena sosok Dr. Yansen TP yang memfalisitasi sekaligus motor penggerak literasi Nasional lewat ytprayeh.com ini.