Indonesia dan Masa Lalunya
Judul: Indonesia dan Masa Lalunya
Editor: Anthony Reid dan David Marr
Tahun Terbit:2022
Penerbit:Mata Bangsa
Tebal: xxvi + 292
ISBN:978-979-9471-34-5
Terbit kembalinya buku Indonesia dan Masa Lalunya saat ini sungguh sangat tepat. Sebab makna masa lalu sangat penting bagi tindakan masa kini untuk menentukan masa depan.
Penulisan tentang sejarah masa lalu sering dibuat sedemikian rupa untuk konstruksi wajah masa depan yang diinginkan. Misalnya, sejarah Majapahit yang digambarkan gilang-gemilangdan penuh upaya persatuan oleh Muhammad Yamin di awal kemerdekaan Indonesia. Penggambaran Majapahit yang penuh kemegahan itu, tentu sangat berhubungan dengan “masa kini” Indonesia di masa awal kemerdekaan yang masih membutuhkan upaya penyatuan semua komponen bangsa.
Terbit-ulangnya buku yang diedit oleh Anthony Reid dan David Marr ini menemukan momentumnya ketika Indonesia memutuskan untuk pidah Ibukota dari Jakarta ke Nusantara, di Penajam Paser Utara – Kalimantan Timur.
Dengan pemindahan ibukota negara ini maka Indonesia yang Jawa sentris harus ditata ulang. Selain pemindahan Ibukota, Indonesia juga sedang bersemangat untuk melakukan desuhartonisasi sejarah masa lalunya. Mau tidak mau, masa lalu Indonesia harus ditulis ulang untuk mendukung masa depan Indonesia yang ingin dicapai.
Kita bisa belajar bagaimana merekonstruksi masa lalu dari tulisan-tulisan di buku ini.
Buku “Indonesia dan Masa Lalunya,” adalah bagian yang relevan tentang Indonesia dari buku “Perception of the Past in Southeast Asia.” Ada delapan artikel yang diambil dari buku aslinya. Sesungguhnya buku ini sudah pernah diterbitkan oleh Grafiti Pers di tahun 1993 dengan judul “Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka – Indonesia dan Masa Lalunya.”
Delapan tulisan dalam buku ini menggambarkan dinamika para penulis sejarah untuk merekonstruksi masa lalu demi cita-cita Indonesia di masa depan. Ada empat tema utama yang saya tangkap. Keempat tema yang mengemuka dalam delapan tulisan tersebut adalah tentang (1) upaya untuk memutus Negara Indonesia sebagai kelanjutan dari Hindia Belanda, (2) pentingnya Jawa, (3) peran Islam dan pemikiran barat, serta (4) upaya untuk mewadahi kebanggaan masa lampau yang terpisah-pisah yang harus dirangkul dalam satu tema yaitu kesatuan baru yang batas-batasnya adalah bekas wilayah kolonial.
Anthony Reid dalam tulisannya “Jejak Nasionalis Indonesia Mencari Masa Lampaunya” (hal. 81-114) menggambarkan secara jernih pergumulan para nasionalis dalam menulis sejarah masa lalu. Meski semua berfokus kepada nasionalisme negara yang baru saja lahir, namun akar masa lalu yang digunakan untuk menggambarkan nasionalisme itu berbeda-beda. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo dan Sutan Takdir Alisyahbana tak terlalu mempermasalahkan bahwa nasion Indonesia adalah keberlanjutan dari sejarah kolonial Belanda. Sementara itu tokoh seperti Radjiman, Soetomo dan Muhammad Yamin lebih cenderung untuk membangkitkan kembali keagungan Jawa. Mereka mencari akar kejayaan wilayah ini dari masa lalu dari kerajaan besar di Jawa, yaitu Majapahit.
Pentingnya Jawa disarikan oleh Ben Anderson dan S. Supomo. Dalam artikel berjudul “Masa Kegelapan dan Masa Terang Benderang – Perubahan Pemikiran Para Nasionalis Indonesia di Masa Awal” (hal. 1-53). Dalam tulisan ini Ben Anderson hanya fokus kepada orang-orang Jawa yang berevolusi pemikirannya tentang nasionalisme. Sedangkan S. Supomo menyoroti rekonstruksi Majapahit melalui tulisannya “Citra Majapahit Dalam Tulisan Jawa dan Indonesia Kemudian” (hal. 185-210).
Deliar Noer menyoroti dua jalan (Jawa dan Islam) menuju identitas Indonesia. Dalam artikelnya berjudul “Yamin dan Hamka Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia,” (hal. 55-80) Deliar Noer menunjukkan gagasan berbeda dari dua tokoh ini tentang identitas Indonesia. Deliar Noer menyampaikan bahwa meski Yamin adalah orang Sumatra (Minang), tetapi gagasannya tentang identitas Indonesia sangat berakar kepada kagungan Majapahit (Jawa). Sedangkan Hamka menggali identitas Indonesia dari akar Islam. Peran Islam dalam identitas Indonesia juga dipaparkan oleh Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson melalui tradisi Melayu (hal. 149-184). Barbara dan Virginia mengupas tradisi Melayu melalui karya-karya Raja Ali Haji.
Tulisan Barbara Watson dan Virginia Matheson ini sekaligus memberi warna masa lalu Indonesia dari perspektif non Jawa. Perspektif masa lalu non Jawa dilengkapi oleh Leonard Y. Andaya melalui tulisannya yang berjudul “Pandangan Arung Palakka Tentang Desa dan Perang Makassar 1666-1669” (hal. 211-246).
Tulisan ke delapan dalam buku ini adalah tentang pikiran Barat dalam sejarah masa lalu Indonesia. “Pesona Revolusi: Sejarah dan Aksi dalam Sebuah Naskah Komunis Indonesia” karya Ruth T. MCvey menggambarkan bagaimana paham Komunis (bagian dari pikiran Barat) telah mewarnai sejarah masa lalu Indonesia sejak negeri ini masih bernama Hindia Belanda.
Dari delapan tulisan di buku ini, bisa disimpulkan bahwa masa lalu Indonesia masih sangat Jawa. Sangat sedikit penggambaran kontribusi luar Jawa dalam tulisan-tulisan yang membahas sejarah Indonesia. Dengan berpindahnya ibukota negara ke luar Jawa, maka mau tidak mau, peran luar Jawa dalam sejarah masa lalu menjadi penting untuk ditampilkan. Khususnya sejarah masa lalu Kalimantan yang sekarang ini masih sangat kurang terlihat di sejarah masa lalu Indonesia.
Desuhartonisasi sejarah Indonesia juga memberi peluang kepada semua pihak yang telah ikut berjuang demi kemerdekaan Indonesia – yang sekarang ini dipinggirkan, menjadi terbuka untuk dituliskan kembali.
Semoga buku “Indonesia dan Masa Lalunya” menginspirasi para penulis sejarah bangsa untuk menuliskan ulang sejarah Indonesia demi masa depan Indonesia yang lebih seimbang. *