Literasi

AR. Mecer dan Sumbangsih Gerakan Sosial Pancur Kasih

Kamis, 6 Mei 2021, 23:08 WIB
Dibaca 2.043
AR. Mecer dan Sumbangsih Gerakan Sosial Pancur Kasih
dokpri

Akhir April 2021 lalu, di media sosial Facebook banyak beredar ucapan selamat 40 tahun PANCUR KASIH. Di FB teman saya Antimus Lihan, ia memasang pesan: Pancur Kasih adalah Kita. Pancur Kasih 40 Tahun Mengabdi untuk Kehidupan dan Keselamatan. Demikian diantara beberapa slogan ultah lembaga ini.

Saya mencari beberapa buku di perpustakaan rumah yang bersangkut dengan lembaga ini. Saya menemukan The (Re) Construction of the ‘Pan Dayak’ Identity in Kalimantan and Sarawak. A Study on Minority’s Identity, Ethnicity and Nationality. Ada juga Tradisi Lisan Dayak yang Tergusur dan Terlupakan (Institut Dayakologi, 2003), Manifesto Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (2009), Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi (1994),  Biografi AR Mecer Berjuang untuk yang Terbuang, serta beberapa Majalah Kalimantan Review.

Saya menuliskan kenangan saya, atau catatan saya terhadap lembaga ini.

Tesisnya mungkin sederhana: Bahwa (bisa jadi) tidak ada suku bangsa di Indonesia yang se-beruntung Suku Dayak dalam memanfaatkan ruang globalisasi, kepedulian terhadap lingkungan dan kepedulian terhadap hak asasi di tahun 1990-an. Bagi masyarakat Dayak, di Kalimantan Barat khususnya, dalam era 1990-an tersebut berkembang sebuah gerakan sosial untuk merespon perkembangan global, untuk membangun kehidupan dan martabat suku Dayak yang baru. Dayak yang tidak lagi (seperti dianggap kebanyakan orang) sebagai: primitive, tidak berpendidikan, kanibal dll. Tetapi, Dayak baru yang maju, berpendidikan, mampu mengelola ekonomi, dan mampu menjadi pemimpin politik di daerahnya (provinsi, kabupaten).

Dan, (Yayasan Karya Sosial) Pancur Kasih Pontianak, di Kalimantan Barat, patutlah ditulis sebagai salah satu motor awal gerakan sosial Dayak Baru di bagian barat Kalimantan tersebut. Pancur Kasih, bisa jadi, setelah sebelumnya di tahun 1960-an muncul lembaga Persatuan Dayak, inilah lembaga yang bergerak secara sistematik dan progresive untuk kemajuan Dayak. Dengan modal awal Rp. 55.000, lembaga ini dibentuk untuk—seperti di catat dalam The (Re) Construction of The Pan Dayak Identity in Kalimantan and Sarawak (2004, 102): assisting the Dayak Community to move forward progressively.

Dalam buku Manifesto Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih, yang diterbitkan tahun 2009, disebutkan bahwa yayasan ini berdiri  tahun 1981, dan 7 orang pengurus pertama di catat dalam akta notaris. Mereka adalah: AR Mecer (Ketua), Thomas Lay (Wakil Ketua 1), A. Syaikun Riady (Wakil Ketua 2), Firmus Kaderi (Sekretaris 1), Maran Marcelinus Aseng (Sekretaris 2), P. Heliodorus, OFM Cap (Bendahara 1) dan Milon Somak (Bendahara 2). Pendirian lembaga ini didahului beberapa kali diskusi.

Bagaimana dengan dukungan dana? Dana awal yayasan ini berjumlah Rp.55.000, hasil urunan ke tujuh pendiri tersebut.

Sebanyak Rp. 25.000 digunakan untuk biaya notaris, Rp. 8000 biaya pendaftaran di pengadilan, Rp 15.000 untuk biaya notaris dan pendaftaran pendirian SMP Fransiskus Asisi sebesar Rp. 7.000.

Visi awal YKSPK sendiri dirumuskan: Masyarakat Dayak yang mampu menentukan dan mengelola kehidupan politik, ekonomi, budaya dan sosial mereka secara mandiri dengan kompak dalam kerangka pengakuan, penghargaan dan perlindungan yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945.

***

Saya menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta, 1990-1995. Terasa sekali, kebangkitan semangat untuk membangun Dayak baru yang digaungkan Yayasan Pancur Kasih tersebut tumbuh di dalam hati kami. Para mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Pelajar Mahasiswa Katolik Kalimantan Barat (KPMKKB) Yogya mengadakan beberapa pertemuan terkait isu ke-Dayak-an dan kemajuan ke depan. AR Mecer, salah satu tokoh utama di Yayasan Pancur Kasih, pernah datang ke Yogyakarta dan berdiskusi dengan mahasiswa. Salah satu isu yang disampaikannya, adalah pengembangan credit union untuk membebaskan ekonomi. (Saya, dan beberapa teman langsung menjadi anggota CU Pancur kasih saat itu).

Dari jauh, Yogyakarta, kami mendengar informasi bahwa setelah berdirinya CU Pancur Kasih tahun 1987 di Pontianak,  Credit Union atau CU didirikan di banyak kampung di Kalimantan Barat. Pendirian CU ini kemudian bergerak ke Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi dan bahkan sampai ke Papua. Saya ingat, abang saya memberitahu bahwa ia pindah mengajar dari kota kami Ketapang ke Pontianak. Ia bergabung untuk menjadi guru di SMP Santo Fransiskus Asisi yang didirikan Pancur Kasih.

Salah satu lembaga yang dibidani Pancur Kasih yang juga memompa semangat kemahasiswaan kami adalah keberadaan Institut Dayakology Research and Development atau IDRD. Saya ingat, sebuah tulisan tentang permasalahan poitik di Sabah dan Sarawak dan pengaruhnya bagi Indonesia (Kalimantan Barat), yang ditulis Stefanus Djuweng dengan embel-embel: Penulis adalah Peneliti di Institut Dayakology Research and Development, membangkitkan sikap kritis kami. Tiap bulan, kami juga menunggu datangnya majalah Kalimantan Review yang diterbitkan Institut Dayakologi. Sebuah majalah yang mengupas isu-isu kritis pembangunan Indonesia dan khususnya implementasinya di tengah masyarakat Dayak.

Tahun 1992, sebuah seminar dengan tema Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak dilaksanakan di Pontianak. Sebuah babakan dan penanda baru perjuangan kemajuan Dayak. Di seminar ini, berkumpul para tokoh dan menyampaikan banyak pandangan mereka untuk kemajuan Dayak. Salah satu hasil dari seminar ini adalah terbitnya sebuah buku: Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi. Saya ingat, dengan uang saku yang terbatas, saya memutuskan membeli buku terbitan IDRD dan Grasindotersebut sebagai sebuah bagian kebangkitan. (Sayang saya bukan pendokumentasi yang baik. Tetapi saya masih ingat, resensi terhadap buku Kebudayaan Dayak tersebut, di muat di Kompas dengan embel-embel saya sebagai penulisnya, Penulis, Mahasiswa PBI IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta).

Dalam konteks literasi, Pancur Kasih melalui IDRD banyak menerbitkan buku-buku yang berkaitan kebudayaan Dayak dan juga perubahan sosial.

Bahkan, selain majalah Kalimantan Review, Institut Dayakology juga menerbitkan jurnal ber-ISBN dalam bahasa Inggris DAYAKOLOGY (Journal for the Revitalization and Restitution of Dayak Culture). Salah satu jurnal tersebut, yang masih saya simpan, mengambil tema: Violence and Reconciliationin West Kalimantan: Dayak’s Perspecives.

***

Tahun 1996, saya pulang kampung ke Ketapang. Saya bekerja di Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Ketapang, dimana beberapa kegiatan kami adalah kerjasama dengan Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih. Beberapa kali saya juga mengikuti pertemuan tentang credit union yang difasilitasi Pak AR Mecer dan kawan-kawannya. Semangat gerakan sosial dan pemberdayaan masyarakat kemudian secara nyata saya terjuni, ketika menjadi Ketua Pengurus CU Pancur Solidaritas Ketapang sepanjang 2012-2017.

Gerakan sosial Pancur Kasih dalam perkembangannya juga melirik dunia politik sebagai jalan perjuangan. Alasannya sederhana, dengan memiliki kekuasaan politik tahapan-tahapan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat akan lebih mudah. Pak AR Mecer, memang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi dan anggota MPR RI Utusan Daerah (perwakilan etnik minoritas Dayak), tetapi tidak dapat berjuang maksimal.

Pilihan politiknya akan cepat berbuah, jika menjadi kepala daerah: Gubernur atau Bupati. Apalagi, di tahun 2000-an sistem pemilihan langsung (Pilkada) dilaksanakan. Maju sebagai calon wakil Gubernur dengan Akil Mochtar sebagai calon gubernurnya, Pasangan Akil Mochtar – AR Mecer gagal di Pilkada Kalbar 2007. Di tahun 2010, saat itu saya sebagai anggota KPU Kabupaten Ketapang, ikut menandatangani penetapan calon, dimana pasangan AR Mecer – Jamhuri Amir maju di Pilkada Bupati Kabupaten Ketapang. Namun, pasangan ini juga gagal di perhelatan tersebut. Jalan gerakan-gerakan politik tidak seberhasil jalan di gerakan sosial.

***

Berikutnya, saya tidak terlalu intens lagi mengamati kiprah dan perkembangan baik Pancur Kasih dan juga Institut Dayakologi. Memang, sayup-sayup saya mendengar ada perbedaan pendapat. Perbedaan visi antara generasi awal dan beberapa dari generasi berikutnya. Buku Manifesto Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih bisa di baca sebagai penanda hal tersebut. Begitu juga, mungkin, pendirian CU Filosopi Petani Pancur Kasih yang berbeda dengan CU Pancur Kasih adalah penanda lain.

Lepas dari hal tersebut, minggu akhir April ini, kita melihat pesan-pesan di Facebook tentang: Selamat Ulang Tahun Pancur Kasih yang ke 40. Beberapa foto AR Mecer tokoh utama lembaga ini kembali muncul. Di dinding FB-nya, teman saya menulis status berikut: Launching 2 buah buku dalam moment 40 tahun Pancur Kasih (3 hari lalu) adalah bagian penting dalam refleksi perjalanan panjang sebuah Gerakan Sosial Baru, Pancur Kasih. Pantang Tunduk, adalah (judul) salah satu buku yang hadir.

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, Pancur Kasih telah menuliskan sejarahnya sendiri dalam gerakan sosial di tengah masyarakat Dayak. Selamat terus berjuang Pancur Kasih.