Tulisan Saya Belum Pernah Dimuat Kompas, Tapi...
Sudah berulangkali mencoba menembus halaman opini Kompas. Selalu gagal. Terakhir mencoba sekitar 13 tahun lalu. Setelah itu tidak lagi. Kapok.
Konon ada pemeo lama, belum afdhol atau belum sah sebagai penulis jika karyanya belum tayang di harian Kompas. Senior saya Masri Sareb Putra mengulang lagi pemeo itu lewat artikelnya 7 Juli 2021 di pepnews.com (berjudul: Belum Dimuat Kompas Belum Sah Jadi Penulis. Tulisan penuh gizi yang menampar. Tersindir. Pameo yang sudah saya ketahui sejak lama itu sempat menghantui.Betapa pandirnya saya yang tidak juga mampu menembus halaman opini Kompas. Ah…
Beruntung, saya punya ilmu kodok tuli. Kegagalan menembus harian Kompas justru menjadi pelecut untuk mematahkan pemeo itu.
“Tulisan saya memang belum pernah dimuat Kompas, tapi saya tetap penulis dan menulis. Penulis profesional.” Bukan penulis afdhol. Tak perlu juga disahkan. Saya bertekad menjadikan menulis sebagai profesi utama dan mampu menghidupi keluarga sekaligus menyebarkan kebaikan bagi umat manusia.
Berhasil! Sudah 16 tahun menjalani profesi ini.
Ternyata banyak stigma dan pameo lain yang dapat menjadikan seseorang sebagai penulis sungguhan. Atau penulis afdhol atau afdhol sebagai penulis. Atau sah sebagai penulis dan tetap menulis. Tergantung mau mempercayai atau mengakui yang mana.
Ada yang mengatakan, kalau belum diterbitkan oleh Grup Gramedia belum afdhol sebagai penulis buku. Banyak penulis yang mati-matian berupaya memasukkan naskahnya ke penerbit Gramedia.
Ada pula yang menyebut buku laris sebagai ukuran. Kalau bukunya belum bestseller, jangan ngaku sebagai penulis. “Baru laku 1.000-2.000 eksemplar kok sudah bangga,” kata salah seorang senior penulis. Begitu menohok.
Zaman dulu muncul pula stigma majalah Horison sebagai indikator kualitas penulis sastra. Belum masuk Horison tak layak mengaku sebagai pujangga. Berderet-deret sastrawan atau calon sastrawan yang mutung karena tak juga mampu menembus media tersebut. Dulu.
Dan stigma lain yang berkembang terkait cap penulis afdhol, sah, atau penulis sejati. Seperti kalau baru menulis satu atau dua buku, belum layak mengaku sebagai penulis. Kalau sudah belasan atau puluhan atau ratusan, baru deh Anda benar-benar penulis. Penulis sejati.
Di kalangan akademisi, lahir cap baru yang hadir satu dekade terakhir: Anda penulis kalau sudah terindeks di Scopus! Padahal, jurnal dengan indeks lain yang tidak kalah kualitas, jumlahnya tidak sedikit. Tetap saja, belum scopus belum diakui. Kejam.
Bahkan belakangan muncul lagi ukuran baru. Penulis yang benar-benar penulis, yang profesional, yang sah, yang afdhol, yang sejati: mereka yang sudah tersertifikasi standar BNSP. Certified writer dengan stempel logo emas Garuda di selembar kertas dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Ah, terserah Anda mau pakai, percaya, dan mengakui yang mana.
Banyak kok penulis yang artikelnya tidak pernah dimuat di harian Kompas, tapi sukses sebagai penulis baik dengan karya artikel maupun buku. Malah, banyak wartawan harian Kompas (dan mungkin redaktur kolom opininya) atau wartawan media terkemuka lainnya yang seumur hidupnya tidak pernah menulis artikel di media lain. Tidak pernah juga menulis buku.
Tidak sedikit penulis buku sukses besar tanpa harus melalui penerbit Gramedia. Bahkan banyak sekali. Sebagian dari mereka tidak juga lewat penerbit mayor atau penerbit besar. Mereka sukses sebagai penulis dengan cara menerbitkan sendiri. Indie. Self-publishing. Sudah zamannya.
Banyak juga penulis yang berhasil sebagai penulis meski tak satu pun bukunya bestseller. Dia tetap berkarya dan produktif; sebagai penulis. Sebanyak mungkin karya. Artikel, cerpen, puisi, novel, atau buku. Tetap dipercaya klien dan pembaca.
Malah ada penulis yang menghasilkan hanya satu buku saja: buku bestseller-nya itu. Atau buku yang dijadikan sebagai referensi di kalangan dan atau komunitasnya. Ukuran jumlah tidak lagi relevan.
Tidak sedikit pula penulis cerpen dan novel sukses tanpa pernah menulis di media bergengsi sekelas Horison. Dan lebih banyak lagi penulis hebat masih belum bersertifikat BNSP.
Silakan Anda menilai sendiri baik secara objektif maupun subjektif. Siapa penulis afdhol, sah atau sejati. Yang lebih penting: tetaplah menulis, teruslah berkarya, dalam bentuk apapun untuk mewarnai bangsa ini dengan kebaikan. Semangat berkarya.
Jangan hanya karena belum pernah dimuat di Kompas, tidak masuk Gramedia, tidak laris, baru satu buku, belum punya sertifikat, lalu berhenti menulis.
Bangsa ini masih butuh karya-karya tulis yang bernilai positif di berbagai media dalam beragam bentuk. Tidak peduli penulisnya afdhol atau tidak afdhol. Sah atau tidak sah. Sejati atau tidak sejati. Itu hanya pemeo saja kok.
Meski sebaiknya, dijadikan sebagai cambuk.
Cemeti yang melecut-lecut…