Literasi

Malaysia Dorong Budaya Menulis Indonesia

Kamis, 27 Agustus 2020, 09:02 WIB
Dibaca 431
Malaysia Dorong Budaya Menulis Indonesia
Dok pribadi

Dodi Mawardi

Penulis senior

Dalam beberapa tahun terakhir, sudah berapa sikap negatif Malaysia terhadap Indonesia? Berapa banyak sikap tersebut yang terkesan sangat provokatif? Misal pelanggaran perbatasan di Ambalat, lalu klaim atas Reog Ponorogo, kemudian pengakuan atas lagu Rasa Sayange, dan terakhir munculnya tari Pendet yang asli Bali dalam iklan pariwisata negeri jiran tersebut. Memang terkesan sangat provokatif. Mereka berlagak ala kakak tertua (bukan Kakak Tua) yang bisa berlaku seenaknya terhadap sang adik. Toh adik, pasti tidak akan berani melawan kakak. Maka akibat provokasi itu, lahirlah reaksi sangat beragam yang kebanyakan negatif dari seantero negeri, yang paling sadis ajakan untuk menyerbu Malaysia. Istilah Bung Karno jaman 1960-an lahir lagi, “Ganyang Malaysia.”

 

Namun sore tadi, saya mendapatkan sebuah pencerahan dalam acara Syukuran Sekolah Menulis Kre@tif Indonesia di Plasa Tendean lt 3. Seorang tamu undangan, Dini Priadi (Procon) mengajak kita untuk menyikapi tindak tanduk Malaysia dengan positif. Lho kok positif? Bagaimana caranya? Menurut Dini, kita sebaiknya segera sadar akan budaya buruk yang sudah lama menyergap segenap bangsa ini, mulai level paling bawah sampai kaum intelektual. Budaya buruk tersebut adalah budaya ‘ogah’ menulis. Kebanyakan kita lebih suka mengandalkan lisan dan hafalan ketimbang mencatatkan dan menuliskan.

 

Misal untuk sebuah lagu. Memang benar ada lirik yang tertulis, tapi syair itu tidak tercatat dalam arsip yang bisa menjadi pegangan secara hukum. Atau sebuah tarian. Adakah kita sudah mencatatkan tari-tarian itu sebagai hak milik kita? Atau kita sudah puas hanya mengaku tarian itu sebagai hak milik dari mulut ke mulut saja? Ternyata, para nabi zaman dahulu kala yang diberikan kitab suci, jauh lebih modern pemikirannya dibanding kita. Mereka menuliskan dan mencatatkan wahyu-wahyu Tuhan dalam kitab suci. Sehingga sampai sekarang tidak ada yang mampu membantah bahwa Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad. Tak ada pula catatan yang mengaku-ngaku sebagai penerima Injil selain Isa Al Masih, Zabur dari Daud atau Taurat dari Nabi Musa. Mereka sudah mencatatkan hak intelektualnya, beberapa abad silam.

 

Rasanya memang aneh jika kita yang sudah hidup di zaman modern, masih mengandalkan hafalan, lisan dan sejenisnya untuk suatu hal penting. Sebuah pepatah China sangat pas menunjukkan betapa pentingnya catatan/tulisan. Begini bunyinya, “Pena yang paling lemah sekalipun tetap lebih kuat dibanding ingatan yang paling hebat.”

 

Mungkin inilah saatnya buat kita, khususnya kaum intelektual, pejabat negara, dan tokoh masyarakat untuk menyikapi tindakan Malaysia dengan bijak, yaitu segera mencatatkan hak intelektual kita. Mari berbondong-bondong menulis dan mencatat segala hal penting yang terjadi di sekitar kita. Saya ngeri membayangkan sejarah G 30 S PKI, sejarah Reformasi 1998, Pemilu 2004, 2009, 2014 dan berbagai peristiwa penting negeri ini, hanya tercatat di perpustakaan Eropa. Sedangkan kita sendiri tidak punya catatannya. Hal ini yang terjadi pada kita ratusan tahun silam. Banyak kisah sejarah negeri ini yang tidak kita ketahui, kecuali setelah menelisiknya di sebuah perpustakaan di negeri Belanda atau Eropa. Ironis bukan?

 

Jadi ucapkan terima kasih kepada Malaysia, karena berkat sikap negatif mereka, kita bisa memetik manfaat dengan mencatatkan segala hak intelektual agar tidak pindah ke negara lain. Coba kalau tidak ada yang seperti Malaysia, mungkin kita akan terhanyut oleh budaya buruk, yang hanya puas dengan ucapan dan lisan. Malas menulis…

 

Trims mbak Dini, terima kasih Malaysia!

--------

Plasa Tendean, September 2010