Filosofi

Filosofi Pemain Cadangan

Senin, 24 Agustus 2020, 22:54 WIB
Dibaca 1.020
Filosofi Pemain Cadangan
Dari Manuted.com

Dodi Mawardi

Penulis senior

“Ayah! Aku terpilih masuk tim futsal sekolah…” anak pertamaku yang baru berumur 6 tahun, berteriak gembira dengan wajah ceria. Aku membalasnya juga dengan suka cita.

“Oh ya. Masuk tim apa?” tanyaku.

“Aku masuk kelompok futsal 1. 17-an ini, mau tanding sama kelompok lain,” tuturnya penuh antusias, khas anak kecil dengan susunan kata yang lumayan tertata baik.

 

Lalu dia bercerita, satu tim terdiri dari 9 orang yang diambil dari kelas 1 sampai kelas 5. Untuk keperluan pertandingan memperingati 17-an, SD tempat anak saya sekolah membentuk 8 tim campuran tersebut. Nah, anak saya masuk kelompok futsal 1. 

 

Singkat cerita, mulailah pertandingan pertama antara tim anak saya, kelompok 1 melawan kelompok 8. Kebetulan saya ikut menonton, karena setiap hari memang saya dan istri mengantar dia ke sekolah secara rutin. Jadwal pertandingan sengaja dibuat pagi, agar para siswa tidak kepanasan.

 

Lapangannya sendiri terbuat dari lantai biasa, seperti lapangan bulutangkis di kelurahan. Ukurannya pun tidak jauh berbeda dengan luas lapangan bulutangkis. Bedanya, tidak ada jaring pemisah di tengah lapangan melainkan dua gawang ukuran kecil yang terletak di kedua ujung lapangan. Cukup luaslah untuk ukuran anak-anak.

 

Pertandingan pun berjalan ramai. Tidak kalah seru dibanding pertandingan Piala Asia atau Piala Afrika. Satu tim terdiri dari 7 anak yang bermain dan 2 cadangan. Anak-anak yang berjumlah 14 orang di dalam lapangan, selalu berlari bersama-sama sesuai ke mana arah bola menggelinding. Bola ke kanan semuanya ikut ke kanan, bola ke kiri mereka pun berlari ke sebelah kiri. Kecuali tentu saja penjaga gawang yang dengan setia, berdiri di tempatnya. Seru bukan?

 

Kadang mereka bertabrakan, salah menendang bukan bola tapi kaki, tidak jarang pula salah arah; seharusnya ke gawang lawan, dia malah menendang ke arah gawang sendiri. Itulah anak-anak. Mereka tetap bergembira dan tidak ada satu pun yang marah atau meluapkan emosi tak terkendali seperti di Liga Indonesia. Bahkan ketika gawang mereka kebobolan. Yang mencetak gol sih bersuka cita, tapi yang kebobolan hanya melongo bukan marah atau kecewa. Begitu pula ketika kakinya terkena tendangan lawan sampai terjungkal. Mereka hanya meringis lalu bangkit dan mengejar bola kembali.

 

Suasananya makin meriah, karena sekolah mewajibkan seluruh siswa untuk menonton pertandingan futsal tersebut. Bukan hanya futsal, untuk pertandingan yang lain pun, mereka menontonnya bersama-sama. Maka, teriakan, tepukan juga ejekan dan cemoohan kerap kali keluar dari mulut penonton. Yang bermain di lapangan, tampak cuek saja dengan sorakan penonton. Mereka malah lebih bersemangat.

 

Tapi ada yang ganjil dari pertandingan ini. “Anakku mana? Kok dia tidak bermain…” tanya saya dalam hati. Oh benar saja, ternyata dia berdiri di samping gawang tapi di luar lapangan. Dia mengamati teman-temannya bermain, memberi tepukan, kadang berteriak dan lalu melonjak gembira ketika timnya mencetak gol. Sampai akhir pertandingan, dia tidak juga bermain.

 

“Selamat ya, tim kamu menang!” ucapku sambil menyalami tangannya.

“Iya yah, tim ku menang 1-0,” sahutnya penuh semangat. “Besok tim ku main lagi, kalau menang masuk final, Yah.”

“Hmm, tapi kok kamu tadi tidak ikut main,” saya bertanya pelan, takut menyinggung perasaannya. Saya tahu persis bagaimana rasanya menjadi pemain cadangan, karena waktu kuliah masuk tim sepakbola kampus. Wah, kecewa sekali sebagai pemain cadangan kalau tidak diberi kesempatan bermain oleh pelatih. Wajar, karena setiap pemain maunya menjadi pemain inti. 

“Aku pemain cadangan, Ayah…” katanya seolah mau meyakinkan saya.

“Ooh,” jawab saya sambil mengangguk.

“Kalau ada yang sakit dari timku, maka aku yang gantiin dia. Itu pemain cadangan,” sambungnya memberi penjelasan tanpa menampakkan kekecewaan sedikit pun. Malah sebaliknya, dia tampak bangga sebagai pemain cadangan.

“Kok bisa ya…” pikir saya dalam hati.

“Kamu nggak apa-apa jadi pemain cadangan dan nggak main?”

“Nggak apa-apa dong, Yah. Nanti juga aku pasti main,” yakin sekali anakku ini.

“Kamu cadangan apa sih? Main di depan atau belakang?”

“Aku cadangan kiper…”

“Waaaah, makin kecil aja kemungkinan kamu main Nak,” kataku dalam hati.

 

***

 

Setelah perbincangan itu, saya jadi berpikir hebat tentang fungsi pemain cadangan. Ternyata kalau dikaji secara lebih bijak, pemain cadangan punya fungsi yang luar biasa. Merekalah yang bisa menggantikan pemain lain yang kelelahan atau cedera atau sedang tidak dalam kondisi terbaik. Hanya pemain cadangan yang bisa berfungsi seperti itu, bukan pemain inti. Seperti kata anak saya tadi, “Kalau ada yang sakit, maka aku yang gantiin dia.” 

 

Dalam berbagai kejadian, pemain cadangan seringkali berfungsi lebih dari sekadar pemain pengganti. Mereka malah menjadi penyelamat timnya bahkan menjadi pahlawan. Ingat pertandingan final Piala Champion Eropa 1999, ketika Manchester United membekuk Bayern Munchen 2-1. Dua gol MU dicetak oleh dua pemain cadangan pada menit terakhir. Di kompetisi Eropa, kualitas pemain cadangan tidak kalah bagus dibanding pemian inti. Bahkan tidak jarang malah mampu menunjukkan kualitas lebih hebat, ketika berfungsi sebagai pemain cadangan.

 

Dari fakta itu, muncullah istilah Super Sub untuk menjuluki pemain cadangan yang hebat. Ole Gunnar Solkjaer, bolehlah dianggap sebagai salah satu super sub di MU. Selama berkarier di Manchester, Solkjaer lebih banyak duduk di bangku cadangan ketimbang sebagai pemain inti. Tapi dia mampu bertahan di sana sampai 10 tahun!

 

***

 

Kalau begitu, pemain cadangan ini bukan posisi terpinggirkan. Tergantung dari pola pikir pemain tersebut dalam memaknai fungsinya sebagai pemain cadangan. Solkjaer atau anak saya (duh semoga anak saya bisa jadi sehebat Solkjaer), bangga sebagai pemain cadangan. Buat mereka, tidak masalah menjadi pemain cadangan, yang penting bisa berfungsi sesuai keinginan tim ketika dibutuhkan. Buat pemain cadangan dengan filosofi ini, menjadi pemain inti bukan satu-satunya ukuran dalam meraih kesuksesan.

 

Tapi mengapa kebanyakan pemain cadangan selalu kecewa terhadap predikat itu? Sampai-sampai ada pemain yang mengancam hengkang, jika terus menjadi pemain cadangan. Ada juga pemain yang mangkir latihan, karena jarang dimainkan sebagai tim inti. Seharusnya mereka bisa berkaca pada Solkjaer atau anak saya itu (lagi-lagi anakku sejajar dengan Solkjaer), bahwa fungsi pemain cadangan teramat penting buat sebuah tim.

 

 

Nb.

Akhirnya tim futsal anak saya menjadi juara. Di final, anak saya tetap menjadi cadangan dan tidak bermain. Tapi dia gembira bukan kepalang, menjadi juara futsal di sekolahnya.

 

15 Agustus 2007

 

 

 

 

 

 

 

Nama: Dodi Mawardi

Alamat: Desa Banjarwaru Rt 02/01 Ciawi Bogor  (Alamat ktp – Komplek Marinir Blok E1 no 14 Rangkapan Jaya Baru Depok)

Pendidikan: S1 Ilmu Komunikasi FISIP UI

Pekerjaan: Penulis dan mantan broadcaster radio/tv serta pengajar komunikasi di D3 FISIP UI.

Buku:

Belajar Goblok Dari Bob Sadino (Kintamani Publishing, 2007)
Orang Bodoh Lebih Cepat Sukses (Elex Media, 2007)
Lulus Kuliah Cari Kerja? Kuno! (Elex Media, 2007)
Percuma Berbisnis Kalau Keluarga Berantakan (Elex Media, 2007)
Fenomena Masjid Kubah Emas (Pena Kreativa, 2007)
Bermitra dengan Radio Perbesar Bisnis Anda (Iqragraf 2006)
Virus Anti Gagal Inspirasi Bisnis Ala Londen (Elex Media, 2006)
1001 Cerita Seru di KRL (Pena Kreativa, 2006)
 

Pengalaman sepakbola:

Pengasuh rubrik olahraga Radio Utan Kayu 89,3 FM 1999-2001
Penulis lepas sisipan sepakbola Rekor di Republika 1996-1998
Pemain inti tim sepakbola FISIP UI 1993-1998
Mantan pemain Menteng Junior FC 1996.
 

Rekening: Dodi Mawardi  BCA KCP Utan Kayu  58000 28011