Ekonomi

Jangan Sepelekan Petani, Dari Sisi Ketahanan Pangan Dia yang Paling Kuat

Jumat, 13 Mei 2022, 05:43 WIB
Dibaca 382
Jangan Sepelekan Petani, Dari Sisi Ketahanan Pangan Dia yang Paling Kuat
Singkong dan kopi Kapten menemani saat menulis (Foto: dok. pribadi)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Bercermin pada krisis moneter '98 dan pagebluk yang baru lalu, ketika harga kebutuhan pokok khususnya pangan meroket atau melambung tinggi, kelompok masyarakat yang relatif bisa bertahan adalah mereka yang hidup di pedesaan. Petani. Atau mereka yang hidup di kampung-kampung dimana pekerjaan sehari-hari mengelola tanah untuk pertanian.

Ketika uang lenyap dan susah didapat tetapi kebutuhan untuk makan tidak terelakan, maka warga masyarakat yang hidup di kampung-kampung inilah yang relatif aman dari sisi ketahanan pangan. Mereka bisa hidup mandiri tanpa bergantung uang. Unsur utama dalam dalam bertahan hidup sudah terpenuhi dengan sendirinya.

Beruntung saya berasal dari keluarga petani, kakek adalah petani murni sementara orangtua adalah guru yang juga bertani sehingga prinsip-prinsip dasar pertanian dan prinsip-prinsip dasar bertahan hidup sudah mereka ajarkan secara otomatis tanpa harus menghambur-hamburkan teori, mereka langsung mencontohkannya dengan praktik.

Sebagai contoh pada masa kanak-kanak, ayah saya -kini telah almarhum- sudah terbiasa membawa jaring untuk menangkap udang sungai yang yang saat itu airnya masih jernih. Ba'da Ashar berangkat dan tidak sampai 3 jam, sebelum maghrib udang sungai sudah didapat dengan jumlah yang cukup untuk makan sekeluarga, bahkan sering tersisa.

Demikian pula untuk bahan bakar, saya terbiasa mencari kayu-kayu atau ranting-ranting di pinggiran hutan di daerah Cibangkong, Ciawi, Tasikmalaya, sebagai bahan bakar "hawu" (tungku). Meski saat itu BBM melimpah dan relatif murah, tetapi orang-orang desa seperti kami berupaya sesedikit mungkin mengeluarkan uang untuk kebutuhan sehari-hari.

Jangan tanya soal telor, ayam dan ikan, kami memenuhinya dari hasil memelihara sendiri, baik ikan yang dipelihara di kolam atau bahkan mencari belut gratis di sawah pada malam-malam bulan gelap yang disebut ngobor dan siang hari disebut "ngurek".

Jadi kalau saat ini selama berada di kampung halaman kembali ke masa silam dengan mencabut ketela pohon dari bumi, mengupasnya, menggorengnya lalu menikmatinya sendiri, keterampilan sederhana itu sudah diajarkan pada masa lalu, sekarang tidak harus canggung lagi.

Saya percaya bahwa inisiatif seseorang dalam bergerak atau melakukan sesuatu itu karena memiliki latar belakang dan pengalaman pada masa lalunya. Sebagai contoh, mungkin anak-anak sekarang ketika melihat pohon ketela atau pohon singkong hanya sebatas melihat dan ketika pohon singkong itu sudah dicabut dan singkong muncul dari bawah permukaan tanah, mereka hanya sekedar melihat, tidak tahu bagaimana cara mengolahnya. Sederhananya cara menggoreng atau merebusnya.

Jika tidak memiliki pengalaman pada masa lalu, singkong hanya sebatas singkong yang mungkin akan terus membusuk tanpa bisa diolah. Tetapi suatu situasi tertentu seringkali memaksa orang untuk bertahan lebih keras. Ketika ketahanan perut sudah ambrol, maka apapun bisa dilakukan, bahkan mungkin memakan singkong mentah-mentah.

Apakah anak-anak harus mengalami masa dimana ketahanan pangan mereka harus ambrol terlebih dahulu sebelum mereka melakukan surival untuk sekedar mengolah singkong menjadi singkong goreng atau rebus?

Entahlah, yang jelas saya melakukannya sendiri sampai singkong goreng bertemankan kopi-susu ini siap dinikmati. Semua itu berkat pengalaman masa lalu.

***