Kenapa IPM Kabupaten Terpencil ini Lebih Tinggi Daripada Rata-rata Indonesia?
Kabupaten ini satu dekade lalu masih mendapatkan cap sebagai daerah 3T (Terpencil, Terpinggir, Terisolasi) atau 3T lainnya (Tertinggal, Terluar, Terdepan). Kedua status 3T itu sama-sama negatif. Menunjukkan suatu wilayah yang kondisinya jauh dari sejahtera, miskin, dan minim fasilitas atau terpelosok berada di tapal batas wilayah Indonesia dengan negara tetangga.
Akan tetapi sejak 2017 lalu, statistik menggambarkan kondisi yang berbeda. Kabupaten ini berubah 180 derajat. Jumlah orang miskin berkurang drastis dari sekitar 15% menjadi kurang dari 8%. Harapan hidup warganya meningkat, menunjukkan naiknya level kesehatan. Dan semakin banyak warga yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Daya beli warganya juga naik signifikan. Seluruh data itu terangkum dalam suatu parameter yang disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
IPM adalah standar yang diterapkan oleh organisasi dunia UNDP (United Nation Development Programme). Sudah berlaku sejak tahun 1990, yang diadopsi dari sistem pengukuran pembangunan hasil karya seorang ahli asal Pakistan. Indonesia lumayan berhasil dalam hal IPM, karena setiap tahun selalu meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Indonesia terus naik selama rentang waktu 2010-2019. Pada 2010, IPM Indonesia 66,53, sedangkan pada 2017 naik menjadi 70,81. Pada 2018, IPM Indonesia naik lagi menjadi 71.39 dan 2019 menjadi 71,92.
Nah, kabupaten terpinggir yang satu ini, dalam tiga tahun terakhir berhasil melewati angka IPM Indonesia. Artinya, IPM mereka berada di atas rata-rata. Padahal, sebelumnya mereka selalu berada di urutan terbawah dan di bawah rata-rata. Lonjakannya boleh dikatakan luar biasa. Sejak 2017 itu, IPM kabupaten terisolasi itu sudah bisa melewati seluruh rata-rata IPM provinsi kecuali DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Riau, dan Sulawesi Utara. Salah satu provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Timur, juga terlewati. Luar biasa bukan?
Kabupaten itu adalah Malinau di Kalimantan Utara, suatu wilayah tingkat dua hasil pemekaran dari Kabupaten Bulungan pada 1999 lalu. IPM Malinau sejak 3 tahun lalu (2017 – 71,23, 2018 – 71,74, dan 2019 – 72,06), sudah lebih tinggi dibanding rata-rata IPM Indonesia, rata-rata IPM Kalimantan Utara, dan juga IPM kabupaten induknya yaitu Bulungan. Di Kalimantan Utara, hanya Kota Tarakan yang ber-IPM lebih tinggi dibanding Malinau. Wajar, karena Tarakan sudah jauh lebih maju dan terkenal kaya sejak lama. Meski tak menutup kemungkinan, dalam satu dekade ke depan, Malinau pun akan melewati Tarakan.
Ada Apa Dengan Malinau?
Kita pantas bertanya apa gerangan yang terjadi di kabupaten tersebut, sehingga mampu meningkatkan IPM dengan drastis? Tidak mungkin hanya melakukan pembangunan biasa, seperti yang dilakukan pemerintah daerah lain. Masih banyak daerah lain yang IPM-nya mandek, atau naik serba sangat sedikit dan lambat. Bahkan, masih banyak kabupaten/kota lain yang sebelumnya setara dengan Malinau, kini tertinggal jauh. Pasti ada sesuatu di sana!
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), terdapat sejumlah cara untuk meningkatkan IPM. Dalam hal ini, meningkatkan IPM sama dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bappenas selalu menyampai cara ini kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Pertama, meningkatkan angka harapan hidup warga. Artinya, tingkat kesehatan masyarakat harus naik. Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana kesehatan sesuai standar. Rasio kesehatan harus diperbaiki mulai dari rasio fasilitas rumah sakit/puskesmas, rasio jumlah kamar dan tempat tidur pasien, sampai rasio jumlah dokter.
Kedua, meningkatkan level pendidikan warga. Program melek huruf, literasi, sampai wajib belajar untuk rakyat harus terus meningkat. Semakin lama warga bersekolah berarti semakin naik levelnya, mulai dari PAUD, TK, SD, sampai perguruan tinggi. Antara angka harapan sekolah dan kenyataan, harus semakin dekat.
Ketiga, pemerintah harus memastikan standar hidup yang layak bagi warganya. Standar hidup itu antara lain dilihat dari daya beli masyarakat. Makin tinggi daya beli (pengeluaran), makin baik standar hidupnya.
Semua pemerintah baik di pusat maupun di daerah, pasti sudah mengetahui langkah-langkah tersebut. Sudah khatam membaca beragam teori pembangunan dalam banyak buku. Sudah sering mengikuti pelatihan, seminar, loka karya, bimbingan teknis, dan sejenisnya lengkap dengan sertifikatnya.
Lalu kenapa banyak daerah yang masih gagal menyejahterakan rakyatnya?
Masih rendah IPM-nya?
Kenapa Kabupaten Malinau bisa?
Faktor Pemimpinnya
Pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya terjawab oleh penjelasan Dr. Mulyono D. Prawiro, seorang akademisi yang aktif dalam kajian pemberadayaan masyarakat dari Universitas Satyagama Jakarta. Menurutnya, ada satu faktor sangat penting dalam mensukseskan program pembangunan yang tepat. Tanpa faktor ini, tidak mungkin pembangunan bisa berjalan dengan baik sampai ke tingkat paling bawah di pedesaan. Faktor itu adalah kepemimpinan. Sosok pemimpin menjadi sangat sentral dan vital.
Kabupaten Malinau punya pemimpin yang unik. Seorang birokrat yang berkarya dari bawah, berkarier mulai dari camat di wilayah terpelosok. Sekaligus seorang pemikir yang sudah mencapai level tertinggi sebagai akademisi, bergelar doktor. Uniknya lagi, dia juga seorang eksekutor yang mumpuni. Tidak mudah mendapatkan seorang pemimpin yang memiliki kemampuan sebagai pemikir (konseptor), sekaligus eksekutor, yang dibekali pengalaman panjang di bidangnya.
Dr. Yansen Tipa Padan, demikian nama sang bupati ini. Dia mencanangkan konsep pembangunan yang berbeda dibanding daerah lain atau bahkan dengan pemerintah pusat. Konsep yang berasal dari bawah (bottom up) dan melibatkan secara maksimal warga desa dalam pembangunan. Konsep pembangunan itu menjadi materi disertasinya ketika meraih gelar doktor di Universitas Brawijaya Malang. Dia berhasil mempertahankan konsepnya itu di hadapan para profesor ekonomi dan ekonomi pembangunan. Plus menerima tantangan dari para pengujinya, untuk mengimplementasikan disertasinya itu.
Inilah jawaban kenapa IPM Malinau bisa naik signifikan sejak 2011 sampai 2019 lalu. Persis sesuai dengan masa jabatan Yansen TP, sebagai bupati, yang akan berakhir pada 2021. Sang Bupati menjalankan konsep pembangunan Gerakan Desa Membangun (Gerdema), mulai 2011 sampai 2016, pada masa jabatan pertamanya. Dia terpilih kembali sehingga bisa melanjutkan Gerdema pada periode 2016 – 2021. Pada periode kedua ini, Gerdema dipertajam lagi bukan hanya desa membangun, tapi menjadi RT membangun. Partisipasi masyarakat diperluas lagi dengan sumbu utama di level RT.
Sang pemimpin ini, tidak semudah membalikkan tangan ketika menjalankan konsep Gerdema. Begitu banyak aral melintang. Penolakan terjadi mulai dari warganya sendiri sampai ke tingkat nasional. DPRD Malinau pernah menolak konsep ini dan menganggapnya sebagai hal tak mungkin. Para kolega dan pesaing pilkadanya juga berpandangan sama. Konsep yang mengada-ada, begitu komentar sebagian dari mereka. Pakar otonomi daerah Prof. Dr. Ryaas Rasyid, juga ikut berkomentar negatif tentang konsep Gerdema ini. Menurutnya, Yansen TP., terlalu maju dalam berpikir karena tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu.
Beberapa ahli ekonomi pembangunan, ekonomi kerakyatan, dan ahli ekonomi lagi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) serta dari birokrat pusat, meragukan konsep ini. Intinya, konsep Gerdema hanya pemikiran ideal di awang-awang, yang sulit atau bahkan tak mungkin dilaksanakan. Kondisi desa di Indonesia, apalagi kabupaten terpinggir, tertinggal, dan terisolasi seperti Malinau, sama sekali belum siap menjalankan konsep tersebut.
Namun seperti pendapat Mulyono D. Prawiro, seorang pemimpin punya peran vital dalam pembangunan wilayahnya. Ketika dia sangat yakin dengan apa yang dilakukannya, punya konsep yang jelas, visi dan misi yang tepat, serta strategi yang benar, maka pembangunan dapat berjalan dengan baik.
Program Gerdema memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat desa, untuk membangun desanya. Mereka dimampukan lewat pelatihan dan bimbingan teknis, lalu diberdayakan dengan dana yang besar. Warga desa lebih tahu apa yang harus dibangun di wilayahnya. Ekonomi meningkat karena uang bergulir bertambah di desa. Daya beli pun pasti naik. Warga mampu menjangkau fasilitas kesehatan dan pendidikan. Semua itu kini tidak hanya sampai desa, tapi sampai ke level RT.
Seperti kata pepatah, kalau di pantai sudah banyak ikan, buat apa berlayar ke samudera. Kalau di desa bahkan di RT sudah banyak uang beredar dan ekonomi berjalan dengan baik, buat apa pergi ke kota? Itulah yang terjadi di Malinau, sehingga wajar IPM mereka melampaui kabupaten/kota lain yang lebih tua, dan lebih mapan.
Penulis yakin, program Gerdema yang dipertajam sampai level RT pada periode kedua kepemimpinan Yansen TP di Malinau, akan melonjakkan angka IPM kabupaten itu.
Semoga!