Budaya

Nobakgh, Mengenal Sistem Peladangan Dayak Kancikgh (5)

Rabu, 17 Februari 2021, 11:26 WIB
Dibaca 938
Nobakgh, Mengenal Sistem Peladangan Dayak Kancikgh (5)
Penebang pohon yang siap jadi lahan ladang.

Ci poroginci,
Botakng Tokalokh Tokala’kalao.
Banyak pokara bosi,
Boliokh mae bomalao

Bait sastra lisan di atas merupakan salah satu lafalan yang sering diucapkan oleh peladang Dayak Kancikgh pada saat ritual “nobakgh lalau.” Nobakgh itu sendiri merupakan tahap pekerjaan berladang setelah selesainya tahap pekerjaan “minu”. Pepohonan besar yang tersisa dari pekerjaan minu dan mampat harus ditebang sehingga menjadi ladang yang pada saat pepohonan dan semak belukar tersebut kering siap untuk dibakar.

Perkakas yang digunakan untuk menebang adalah parang dan beliung. Parang digunakan untuk memotong kayu atau pohon yang ukurannya relatif kecil, sedangkan beliung digunakan untuk menebang pohon yang lebih besar. Beliung adalah sebilah besi baja yang dibuat sedemikian rupa membentuk segitiga. Beliung dipasang pada sebuah media yang disebut perodah (Kancikgh; “pida”), yaitu sebatang dahan yang dirancang sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai tangkai ayunan.

Sebelum kayu-kayu ditebang, pemilik ladang harus membuat gelanggang (Kancikgh; “tompaya”) mengelilingi pohon yang akan ditebang. Gelanggang dibuat dari beberapa batang kayu berukuran sebesar lengan dan diikat dengan rotan atau akar yang kuat.

Pada ujung perodah, dibuat anyaman rotan sega sebagai tempat untuk memasang beliung tersebut. Sedangkan pada pangkalnya dipasang kayu gabus sebagai gagangnya. Orang Kancikgh menyebut anyaman perodah itu sebagai “talot.” Saat ini dikenal dua macam pola “talot” yang umum dipakai Orang Kancikgh yaitu “talot Mongko" dan “talot Sekujapm.” Talot Sekujapm berasal dari Suku Sekujam (rumpun Ibanik) sedangkan talot Mongko adalah aslinya talot buatan Orang Kancikgh.

Menebang pohon besar tentu lebih efektif menggunakan beliung daripada parang karena beliung menggunakan prinsip momentum dan terfokus. Karakteristik perodah yang relatif panjang menghasilkan momentum ayunan yang kuat sehingga menghasilkan daya rusak (melukai) yang hebat. Hal tersebut diperkuat lagi oleh ukuran mata beliung yang relatif kecil sehingga daya impulsnya terhadap batang kayu menjadi semakin tinggi yang tentu menambah efektifitas melukai pada batang kayu.

Dari seluruh tahapan pekerjaan bouma botanam, pekerjaan nobakgh merupakan pekerjaan yang berisiko tinggi. Oleh karenanya, perlu kehati-hatian dan kewaspadaan ekstra. Ancaman yang mengintai keselamatan fisik dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, tertimpa pohon tumbang, dahan jatuh, beliung terlepas, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pula pekerjaan nobakgh umumnya hanya dilakukan oleh kaum laki-laki terutama untuk lahan yang berkategori rimba (berisi pohon-pohon besar).

Baca juga: Bouma dan Botanam - Mengenal Sistem Peladangan Dayak Kancikgh (1)

Untuk menebang pohon yang ekstra besar, biasanya harus dibuat gelanggang untuk menghindari titik penebangan pada pangkal pohon yang biasanya berceruk-ceruk, keras, liat, dan berukuran relatif besar dibanding batangnya. Itupun pekerjaan yang sangat beresiko sehingga harus dilakukan dengan cermat, hati-hati dan waspada, sehingga pekerjaan nobakgh memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Biasanya memakan waktu 1 atau bahkan 2 bulan tergantung luasan lahan, ukuran diameter pohon dan jenis kayu yang berada di lahan ladang tersebut.

Pohon-pohon atau vegetasi yang tumbang setelah dilakukan penebangan, dahannya harus dipotong-potong dengan tujuan supaya vegetasi tersebut cepat kering dan tidak menunggu lama untuk secepatnya dibakar. Pekerjaan memotong dahan atau ranting vegetasi yang tumbang dalam istilah Kancikgh disebut “Nyija”. Nyija bisa dilakukan berbarengan dengan pekerjaan nobakgh atau dilakukan secara khusus setelah pekerjaan nobakgh selesai. Selain bertujuan agar vegetasi ladang cepat kering, nyija juga bertujuan untuk merapikan dahan serta ranting yang menumpuk setelah proses penebangan.

Tumpukan vegetasi yang telah dirapikan akan mempercepat dan mempermudah proses pembakaran ladang. Jika pun ladang tidak tuntas dimakan api, maka pekerjaan pembersihan ladangpun akan menjadi mudah jika vegetasi penebangan tersebut di-jija. Apabila di lahan tersebut terdapat beberapa batang pohon yang ukurannya sangat besar, maka perlu diadakan ritual “nobakgh lalau” yaitu ritual gotong royong menebang pohon. Sebelum ditebang, pemilik ladang harus membuat gelanggang (Kancikgh; “tompaya”) mengelilingi pohon yang akan ditebang. Gelanggang dibuat dari beberapa batang kayu berukuran sebesar lengan dan diikat dengan rotan atau akar yang kuat.

Pada saat yang ditentukan harinya, beberapa orang laki-laki masing-masing membawa perkakas beliung ikut bersama pemilik ladang untuk bergotong-royong menumbangkan pohon tersebut dengan beliung. Pada ritual “nobakgh lalau,” pemilik ladang biasanya membawa 1 (satu) tempayan kecil berisi tuak yang harus diminum di atas gelanggang tersebut. Ketika pohon sudah tumbang, mereka duduk mengelilingi tunggul pohon untuk melakukan ritual “pomaing nobakgh lalau.” Sambil menikmati tuak yang telah disediakan, mereka secara bergiliran melafalkan bait pertama pantun kilat sebagaimana tertulis di bagian paling awal, misalnya: “ci poroginci, botakng tapakh tokala’ kalao.”

Kata “tapakh” merupakan kata sampiran yang dipilih oleh masing-masing peserta untuk menyampaikan isi dari dari pantun yang masih dirahasiakan. Ketika semuanya telah melafalkan bait pertama, maka pemilik ladang kembali mempersilahkan semua peserta untuk minum “pulang putn” atau kembali minum di tempayan yang telah terpasang alat sedotannya.

Setelah semuanya minum sesuai takaran, permainan pantun kilat pun dilanjutkan. Kali ini adalah mengucapkan lafalan secara lengkap dengan isinya. Contoh lafalan yang lengkap dari bait di atas adalah sebagai berikut: “ci poroginci, botakng tapakh tokala’kalao (sampiran)”, “banyak pokara bosi, kapakh mae bomalao (isi).”

Makna dari permainan pantun adalah untuk menguji pengetahuan atau ingatan dari para laki-laki peladang tentang perkakas yang perangkatnya menggunakan “malao,” yaitu sejenis perekat yang dibuat dari getah atau damar pohon tertentu. Beberapa perkakas yang menggunakan malao adalah parang, pisau raut, tombak, bayoet, perodah, dan lain-lain.

Sementara perkakas seperti kapak, beliung, palu dan gergaji tidak menggunakan malao. Mereka yang salah memilih kata, baik sampiran berupa nama kayu atau isi berupa nama perkakas yang tidak menggunakan malao. Atau kedua kata tersebut tidak sebunyi (berakhiran sama) biasanya dikenakan sanksi “tambah minum”, yaitu disuruh minum tuak dengan takaran tertentu. Sangat beruntung, tapi bisa mabuk.

***