Budaya

Memandang Pasukan Merah Dayak dalam Terang Iman Katolik (1)

Minggu, 23 April 2023, 21:20 WIB
Dibaca 710
Memandang Pasukan Merah Dayak dalam Terang Iman Katolik (1)
Sumber: instagram @tariuborneo

Pendahuluan

Kutipan 1: “Bahkan dengan tegas Panglima Jilah menyatakan bahwa dirinya 100% Katolik, 100% Dayak, dan 100% Indonesia”.

Kutipan 2: “Perjuangan TBBR dilandasi dasar kesadaran bahwa Dayak sangat sulit bersatu. Tetapi tidak lupa selalu berpedoman kepada Tuhan”.

Kutipan 1 terdapat dalam buku “Panglima Jilah, Pemimpin Besar Pasukan Merah Tariu Borneo Bangkule Rajakng”, yang ditulis oleh Masri Sareb Putra, Paran Sakiu dan Matius Mardani. Sedangkan kutipan 2 merupakan jawaban dari Petrus Sabang Merah, Ketua DPD/Mangku lewat aplikasi perpesanan atas pertanyaan saya soal apa roh/semengat yang menjiwai perjuangan Pasukan Merah TBBR.

100% Katolik dan berpedoman kepada Tuhan. Dua poin ini akan saya jadikan sebagai titik berangkat dalam menganggit artikel ini. Bahwa Panglima Jilah itu 100% Katolik (begitu juga dengan sebagian besar anggota pasukannya) dan juga perjuangan mereka berpedoman kepada Tuhan, dalam hemat saya mau mengatakan kalau hidup dan perjuangan kemanusiaan Panglima Jilah dan pasukannya berlandaskan pada nilai-nilai Injili.

Kehadiran mereka dalam menyuarakan pembebasan terhadap keenam orang peladang di Kabupaten Sintang; pembebasan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing; pembebasan Kepala Desa Kinipan, Willem Hengky; hadir dan memberikan bantuan saat ada bencana banjir, merupakan beberapa contoh konkret solidaritas dan bela rasa mereka terhadap mereka yang dalam hidupnya merefleksikan wajah Tuhan yang menderita. Tidak ada keraguan untuk mengatakan kalau perjuangan mereka sungguh dijiwai oleh semangat Injil.

Bagi saya pribadi, perjuangan kemanusiaan mereka sungguh merupakan cerminan dari penghayatan akan sabda Tuhan sendiri: “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat 25 35-36).

Jika memang perjuangan kemanusiaan mereka telah dijiwai semangat Injil, apa lagi perlunya memandang eksistensi dan aktivitas mereka dalam terang iman Katolik. Apakah sebuah upaya yang urgen dan relevan untuk dilakukan, toh juga keberadaan mereka sama sekali tidak mengancam eksistensi Gereja atau menghambat karya pastoralnya? Tidakkah lebih baik bila Gereja atau hirarki diam saja, tidak perlu memberikan kritik, komentar, penilaian dan sejenisnya?

Setakat ini Gereja atau hirarki memang terkesan diam, kecuali Mgr. Agustinus Agus yang pernah terang-terangan melarang Orang Muda Katolik (OMK) untuk tidak terlibat dalam praktik ilmu kebal. Pastor Lukas Ahon, CP juga pernah menyuarakan hal serupa, namun justru mau dihukum adat  karena dianggap menghina adat tradisi Dayak (https://www.majalahduta.com/2020/09/saya-prihatin-dengan-ilmu-kebal-mgr-agus.php)

Saya tidak ingin masuk lebih dalam pada praktik ilmu kebal itu. Namun satu hal yang pasti, sama seperti Mgr. Agus, saya sangat tidak setuju bila benda-benda rohani/suci (rosario, salib) dan doa-doa pokok Katolik (Aku Percaya, Bapa Kami, Salam Maria) dijadikan sarana untuk memperoleh kekebalan.

Benda-benda rohani itu disebut suci karena merupakan sarana suci yang menghantar umat kepada kekudusan. Mereka menjadi sarana suci yang membantu umat beriman untuk berdoa dan mendekatkan diri dengan Tuhan.

Oleh karena itu, umat beriman perlu memperlakukan benda-benda rohani itu secara hormat, benar dan pantas. Bukan justru mendewakannya sebagai benda sakti.

Kembali kepada Gereja atau hirarki yang sepertinya memilih untuk diam. Terkait dengan hal itu, Masri Sareb Putra dkk berpendapat kalau diamnya Gereja atau hirarki sebagai tanda setuju. Setuju karena perjuangan kemanusiaan Pasukan Merah TBBR selaras dengan apa yang Gereja imani (hlm. 49).

Dalam batas tertentu saya sependapat kalau ada keselarasan, karena memang Gereja sendiri menaruh perhatian dan keprihatinan terhadap segala bentuk penindasan, alienasi, rasisme, diskriminasi yang menginjak-injak martabat manusia. “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”, demikian ditandaskan oleh Konsili Vatikan II dalam dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes, art. 1).

Namun demikian, selaras bukan berarti tidak ada lagi hal yang perlu dikaji kembali. Dengan merujuk kepada ajaran Magisterium Gereja, artikel ini ditulis untuk coba menunjukkan apa artinya 100% Katolik dan berpedoman kepada Tuhan. Dengan kata lain hendak menunjukkan seperti apa bentuk praksis pembebasan Kristiani itu.

 

Diilhami semangat teologi pembebasan di Amerika Latin?

Teologi pembebasan barangkali merupakan barang asing bagi Pasukan Merah TBBR. Meskipun demikian, saya membaca kalau kalau semangat teologi pembebasan sedikit banyak memberi ilham pada perjuangan kemanusiaan Pasukan Merah TBBR.

Teologi pembebasan, dengan para eksponennya yakni Gustavo Gutiérrez di Peru, Jon Sobrino di El Salvador, Leonardo Boff di Brasil dan Juan Luis Segundo di Uruguay, menjadikan analisis atas situasi konkret sosio-politis sebagai titik berangkat. Analisis yang mereka lakukan berupaya untuk membongkar praktek penindasan, eksploitasi, alienasi dan diskriminasi.

Berhadapan dengan praktek-praktek  yang menindas dan menginjak-injak harkat dan martabat manusia itu, para teolog yang membenamkan diri di dalamnya melihat bahwa pembebasan merupakan bagian integral dari tugas teologis. Oleh karena itu, tugas dari teologi pembebasan ialah menyuarakan pengetahuan dan pengalaman dari mereka yang suaranya tidak terdengar (Francis Schüssler Fiorenza, 2011: hlm. 47-49).

Hanya dengan terlibat dalam perjuangan orang-orang miskin dan tertindas, demikian Gutiérrez berpandangan, dapatlah kita memahami implikasi dari pesan Injil dan membuatnya memiliki pengaruh terhadap dunia (Richard P. McBrien, 1994: hlm. 208).