Budaya

Mengayau dan Mandau Masa Kini

Selasa, 15 Maret 2022, 20:29 WIB
Dibaca 678
Mengayau dan Mandau Masa Kini
Foto: internet

Siang ini ada kesempatan menulis. Waktu 3 jam dalam speedboat, sangat untuk menulis sebuah tulisan pendek. Apalagi sejak kemarin sore saya menemukan muara cerita yang ingin saya tulis. Soal cerita bersayap paska Jokowi berkemah di lokasi atau titik nol IKN. Tapi karena tadi malam ada kebahagiaan keluarga atas kedatangan para Camat (Lumbis Pensiangan, Lumbis Hulu, Lumbis, Krayan, Kryn Barat, Kryn Timur, Kryn Tengah, dll) di rumah, maka menulispun menikmati kebahagiaan atas kebersamaan langka tersebut. Lagi pula, memuliakan tradisi jauh lebih penting: menjamu tamu dgn jamuan makan malam ala kadarnya.

Memang, dalam tradisi suku bangsa Dayak, kunjungan dari jauh ke rumah adalah sebuah kehormatan dan kebahagiaan keluarga. Jadi patut. Apapun bentuknya, besar atau kecil!

Titik di sini tentang tamu, tradisi dan soal jamuan makan sebaga bentuk penghargaan!

Bulan lalu tersebar desas-desus bhw Presiden berkemah di IKN. Namun tidak ada yg tahu benar atau tidak. Ketika Gub Kaltim, pak Isran Noor ditanya wartawan 3 minggu lalu, jawabannya normatif dan bersayap. Tapi itu lumrah kunjungan seorang Kepala Negara, dirahasiakan utk standar keamanan VVIP.

Kemarin, 14/3/22, rumor itu jadi kenyataan. Presiden Jokowi benar2 berkemah di IKN bersama sejumlah. Juga para Gubernur. Tidak lajim, para Gubernur datang dengan mandat khusus. Masing2 bawa tanah dan air "istimewa", mungkin juga "sakti" dari daerah masing2. 31 hadir sendiri, 3 mewakilkan kepada wakil. 5 Gubernur asal Kalimantan nginap di lokasi IKN. Di bawah tenda tentunya seperti pak Jokowi. Sisanya nginap Balikpapan. Kayaknya asik pagi para petualang dan penikmat dunia lain dari metropolitan.

Kegaduhan soal IKN sudah mulai redup. UU sudah disahkan. Kepala Otorita sudah dilantik: Bambang Susantono namanya. Tapi saya tidak bicara soal kegaduhan ini. Saya tdk ingin ikut2an ribut. Toh juga sudah bulat tekad Jokowi. Dan sebagai org kalimantan, khusysnya Kaltara, saya senang dan bangga2 saja IKN pindah ke Kaltim.

Pada kesempatan ini, saya tertarik bicara tentang cerita tersisa paska cerita kehebohan dan keasiikan para menteri dan para gubernur nginap bawah tenda di lokasi IKN. Saya bicara tentang isu nasionalisme kedaerahan yang bangkit sebagai efek samping dari pelaksanaan kegiatan kemah. Banyak yg protes: tokoh utama Dayak tdk diundang ikut serta. lupa atau pura2 lupa atau sengaja dilupakan. Mungkin semuanya dgn kadar seimbang.

Saya tidak ingin masuk tentang siapa saja tokoh utama Dayak itu. Karena akan diperdebatkan dan panjang. Soal otoritas, soal dan kepatutan, soal kapasitas dan otoritas siapa yang layak atau patut mewakili siapa, dst. Akan paaannn.... jaaannggg ceritanya!

Ikut atau tidak, atau diundang atau tidak diundang, memang tidak ada urgensi normatifnya selain sebagai tuan rumah atau pemilik/pewaris tanah. Ini semata-mata soal "rasa memiliki" IKN atau rasa tuan rumah, rasa memiliki rumah, ada tamu jauh yg sewa.

Saat masuk rumah, pesta syukuran kecil2 diadakan. Kawan sahabat dari jauh diundang, tapi si "pemilik" rumah tdk diundang. Sehingga rasa kecewa menghampiri. Terungkap perasaan serba serbi. Perasaan, juga politis. Riak2 dan sayup2 ekspresi rasa kecewa itupun terdengar di permukaan.

Ini soal prestise saja sebenarnya. Karena yg kemah adalah orang nomor satu di Republik Nusantara ini. Jadi mata org seantero negeri tertuju ke sana. Minimal yg melek teknologi dan media sosial. Andai kata yg berkemah hanya setingkat menteri, cerita akan jadi lain. Di sinilah asal muasal nasionalisme kedaerahan bangun lagi dari kubur. Mati lama. Kalau tdk salah mati paska reformasi, tapi bangkit lagi. Org Dayak dilupakan lagi. Memang. Sudah lama sebenarnya tapi kesadaran secara naluriah mungkin lagi tidur atau saat itu lagi gembira sehingga lupa bahwa tetangga, orang lain sedang menari2 atas prestasi sesuatu.

Pertanyaannya, apakah soal lupa dan melupakan ini baru sekarang? tidak! Sudah lama ada dalam banyak dimensi lain. Contoh bentuk lain: Kekayaan kalimantan berupa kayu, batubara, emas, minyak, gas, dll habis diambil dan diangkut ke mana2 tempat, tetapi lupa dan lupa untuk membangun kalimantan. Lupa membangun org Dayak. Rakyat kalimantan tetap miskin dan dimiskinkan, tetap tertinggal dan ditinggalkan. Tidak adil bukan? Ya, ilmu adil dan keadilan, ya memang demikian.

Kecewa, marah, sedih dan senang. Gado2 mungkin. Entah perasaan apa lagi, semua bentuk perasaan. Tidak cukup menggambarkan perasaan kolektif kita sebagai org dayak. Kita senang IKN pindah ke tanah kalimantan. Tapi kita kecewa, sedih dan marah melihat tanda2 org Dayak dilupakan dan tidak dilibatkan dalam pembangunan IKN. Wajar saja!

Harusnya sudah sangat banyak cerita dan pengalaman masa lalu, masa puluhan tahun lalu jadi pelajaran suku bangsa Dayak, khususnya generasi muda hari ini. Lagi pula jaman sudah beda, jaman sudah berubah. Dalam banyak kasus, org Dayak mau, tapi malu2 mengungkapkan isi hati. ramah2 semua org atau org lain tahu isi hati. Setulus dan sepolos dirinya. Tidak akan ada yg mengerti.

Tidak cukup perasaan sayup2. Harusnya teriak sekeras2nya. "Ini jaman edan, edanlah ikutan. Klu tidak, jatah makan kita akan diambil paksa org lain" kata Ronggo Warsito dalam Kitab Ramayana. Dalam batas2 tertentu, saya setuju dengan kata2 Ronggo ini.

Ini jaman kompetisi. Jaman persaingan. Jaman ngayau dan mandau dalam bentuk lain. Jaman siapa yang paling layak dan terbaik. Saatnya suku bangsa Dayak bangkit, jadi pendekar mandau tangguh, laksanakan pendekar samurai menyapu semua musuh.

Jangan malu-malu kalau mau sesuatu atau minta hak. Hilangkan sifat itu jauh-jauh, klu perlu dikuburkan. Majulah, angkatlah "Mandau", "ngayaulah". Tentu saja gunakan ngayau pakai Mandau bunuh-bunuhan seperti jaman dulu kala, tapi ngayau pakai kecerdasan, pakai bukan pakai strategi kemanusiaan utk kemuliaan manusia dan semesta alam.

Wahai generasi muda Dayak. Mintalah bagian kita. Ambillah hak kita. Jangan biarkan org lain mengambilnya. Terserahlah untuk itu. kedekatan dan selamilah Mandau ke dasar laut dan Samudera. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Pakailah itu untuk menciptakan pradaban suku bangsa Dayak. Gunakanlah itu untuk mengalahkan siapa saja yang merampas, menginjak, mencuri atau mengambil apa saja yang seharusnya pentas dan layak milik kita.

Mungkin para pemuda Dayak, juga para Kepala Adat Besar perlu belajar ke Papua dan Aceh. Tidak perlu ke negari Cina lagi. Belajar bagaimana cara mereka menjadi anak nakal, anak bandel, anak kolong meminta dan mendapatkan hak mereka.

Ahaaaaa.... saya selalu sensitif dan agak emosional setiap saat bicara soal "penjajahan" jaman sekarang. Pasti hanyut dan kebablasan!

Dalam konteks yg lain, tapi dimensi sama, beberapa hari lalu saya diskusi dengan seorg adik sepupu (HP) soal regenerasi ASN Dayak di Nunukan. Saya katakan, paradigma berpikir kita hari ini dan ke depan harus "out of the box" . Jika kita bicara layak atau tidak layak, pantas atau tidak pantas (kepatutan) atau pegawai negeri, senior atau senior, soal pangkat atau golongan, maka selamanya suku bangsa Dayak akan terbelakang atau ditinggalkan secara sistematis melalui pasal aturan yang dibuat atau diciptakan kekuasaan. Kita harus bicara sebagai keadilan dan keterwakilan. Bicara asas hak kolektif!

Demikianlah upaya memahat kata, merangkai kalimat untuk memaknai dan mendapatkan makna sesuatu dari suatu peristiwa dari Sudut Mata GK🌱🤝🙏

***