Budaya

Sistem Berladang Padi Gunung Suku Uud Danum (1)

Sabtu, 16 Januari 2021, 11:06 WIB
Dibaca 1.200
Sistem Berladang Padi Gunung Suku Uud Danum (1)
Sumber: https://web.facebook.com/antonius.dohoi

Sebagaimana seorang ibu yang rela dengan penuh kasih sayang berkorban demi anak kesayangannya, demikian juga kasih sayang hutan bagi kami.

Suatu ketika aku bertemu dengan seorang penulis senior sekaligus penulis Dayak yang terkenal. Sejenak kami berbincang, setiap untaian yang terucap darinya membuatku kagum. Kita harus bangga dengan budaya kita.

Sampai sebuah kalimat yang membuatku terhenyak. Merenung. Hati terasa tergugah. Ucapnya, “Dayak Menulis dari Dalam”.

Memoriku berkecambuk, mengais-ngais ingatan masa-masa itu. Masa-masa kecilku. Saat di kampung. Jauh dari hiruk-pikuk kota. Boleh dibilang masih di pendalaman.

Bagaimana tidak? Letaknya di perhuluan sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Sebuah suku bagian dari suku bangsa Dayak, Suku Uud Danum namanya.

Puluhan tahun sudah, aku meninggalkan kampung halaman. Kini diperantaukan, di kota tersibuk di negeri ini. Kurindukan kampungku. Segurat coretan pena ini, kiranya menjadi obat rindu yang mujarab.

Saat-saat itu, kami sudah terlibat dalam pekerjaan membantu orangtua. Mengikuti setiap tahapan dalam ‘hajatan’ untuk memenuhi kebutuhan pokok. Terutama Beras. Untuk itu kami harus menanam. Atau kami biasa menyebutnya, “nggumok” atau berladang.

Inilah sejumlah hal tentang berladang yang kuingat.

Baca Juga: The History of Dayak (3)

Masyarakat suku Dayak secara umum telah mengetahui tentang cara berladang dan membuka lahan baru untuk berladang.

Dalam suku Uud Danum, sebelum membuka lahan biasa dilakukan kegiatan yang biasa kami sebut "Monilik"

Sejumlah syarat dan ketentuan pun berlaku sesuai dengan kesepakatan & adat istiadat masyarakat setempat.

Jika ada pihak yang melanggar secara sengaja atau pun tidak akan dikenakan sanksi hukum adat.

Dalam budaya Uud Danum tak ada istilah pelanggaran yang disengaja ataupun tidak. Siapa pun yang bersalah dia wajib menanggung hukum adat sesuai dengan pasal pelanggaran yang tertulis di dalam hukum adat.

Memaafkan kesalahan orang yang bersalah sudah merupakan suatu keharusan bagi suku kami. Akan tetapi ketaatan terhadap hukum adat juga berlaku tanpa pandang bulu.

Hukum adat yang di maksud telah tercatat di dalam Kitab Undang-Undang adat suku Dayak Uud Danum.

Beberapa syarat umum yang tidak boleh dilanggar pada saat hendak membuka lahan untuk berladang.

Pertama, tidak boleh membuka lahan di dekat pemukiman warga.

Kedua, tidak boleh membuka lahan di daerah yang sudah diberi tanda atau patok.

Ketiga, tidak boleh membuka lahan di bekas ladang/bekas kebun orang lain tanpa ijin dari yang bersangkutan.

Keempat, tidak boleh membuka lahan di tempat yang dianggap sakral dan keramat.

Baca Juga: Kenapa Suku Dayak Kanayatn Memelihara Babi?

Berladang merupakan salah satu mata pencaharian Uud Danum. Kegiatan berladang ini dilakukan sekali dalam setahun.

Beberapa bulan sebelum membuka lahan untuk berladang, biasanya masyarakat setempat sudah bermusyawarah terlebih dahulu untuk menentukan hari dan lokasinya.

Beberapa orang akan diutus sebagai perwakilan dari keluarga yang akan pergi mengunjungi suatu tempat/lokasi tersebut. Mereka akan mencari lahan tanah yang subur dan yang memenuhi syarat.

Diantara mereka haruslah ada orang yang lebih tua yang lebih paham adat budaya tentang ritual adat pembukaan lahan.

Bagi orang Dayak Uud Danum, hutan merupakan ibu dan rumah keduanya.

Sebagaimana seorang ibu yang rela dengan penuh kasih sayang berkorban demi anak kesayangannya, demikian juga kasih sayang hutan bagi kami. Hutan, sumber kehidupan.

Setibanya di lokasi, pemimpin ritual adat akan mengeluarkan beberapa benda. Diantaranya beras kuning, kapur sirih dan bahan lainnya.

Pemimpin ritual adat akan membuka dengan membaca bait-bait doa dalam bahasa suku kami. Lalu mulailah ia "auh eto'k" untuk menyapa dan meminta kepada "Otu'k Lio" penjaga alam semesta.

Kata-kata yang terucap dari pemimpin ritul terkadang kami sendiri tak mengerti. Tidak biasa digunakan dalam keseharian. Hal itu semacam password yang hanya dapat dimengerti oleh pemimpin ritual adat dan sang Dewa sebagai pemilik hutan.

Bukan tanpa alasan, password itu akan menjadi jalan menyampaikan pesan khusus dan bersifat pribadi kepada sang Dewa.

Orang-orang yang hadir hanya bisa mengamati apa yang dibicarakan dari raut muka pemimpin ritual. Sambil mencoba menjawab tanya dalam hati. Apakah ada harapan? Apakah kehadiran mereka diterima?

Akan tetapi, meski bisa terlihat tanda-tandanya, mereka harus tetap diam sampai acara ritual selesai. Jangan ada salah kata. Apalagi berkomentar sembarangan. Karena tanpa diduga dapat menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan.

Setelah selesai ritual adat dan melihat-lihat lokasi, maka mereka kembali pulang ke rumah masing-masing. Terkadang diantara mereka yang ikut pergi ke hutan mendapat mimpi saat tidur di malam harinya.

Jika mimpi baik, berarti tidak ada masalah untuk melanjutkan rencana membuka lahan di sana.

Pada hari berikutnya mereka akan kembali lagi ke lokasinya untuk membuat ritual adat. Biasanya membawa seekor ayam hitam dan beberapa sesajen lain nya. Mereka berdoa dan meminta ijin kepada tuan rumah/sang Dewa penunggu hutan. Kemudian menyembelih ayam sebagai tanda penghormatan, persembahan dan ucapan syukur kepada sang pemilik alam semesta.

Langkah selanjutnya adalah pembagian lahan dan menentukan batas wilayah lahan. Bagaimana selanjutnya? harap menunggu narasi berikutnya.

***