Ritual Beajat Suku Dayak Taman Sangke (ditulis bersama Boni Pasius)
Ritual beajat atau dikenal juga sebagai upacara adat tolak bala di kalangan sub suku Dayak Taman merupakan tradisi yang mengandung kesadaran magis yang dipraktikkan oleh Masyarakat dalam rangka membangun komunikasi dengan Pemilik Kuasa Tak Terbatas (bahasa Taman Sekadau: Duata Petara).
Beajat pada dasarnya berwujud permohonan yang disampaikan kepada Duata Petara, yaitu menyampaikan niat, keinginan dan harapan agar diberi perlindungan, kesehatan, keturunan, kemakmuran, tuah maupun rejeki.
Ritual beajat dilakukan di tempat-tempat khusus yang dianggap keramat, dimana pada tempat tersebut dibangun semacam mezbah tempat meletakkan sesajian atau persembahan kepada Duata Petara (https://ytprayeh.com/budaya/p-416263682019279/bale-beajat-mezbah-suku-dayak-taman-sangke). Khusus di kalangan Orang Dayak Taman Sangke (Suku Taman Sekadau yang berdomisili di Kampong Sangke), ritual beajat dilaksanakan di Tanah Sirin Punti yang merupakan tempat keramat bagi Suku Dayak Taman khususnya Taman Sangke. Sirin Punti itu sendiri adalah perhuluan Sungai Taman yang aliran airnya berupa air terjun bertingkat-tingkat. Air terjun tersebut berada di lereng Bukit Raya (sebutuan orang Taman) dan merupakan salah satu destinasi wisata Kabupaten Sekadau.
Dalam ritual beajat tersebut semua orang hadir menyiapkan bahan-bahan yang dipersyaratkan, yaitu bahan-bahan yang berjenis makanan dan minuman seperti beras pulut, ayam, telur ayam dan tuak. Juga dipersyaratkan bahan-bahan yang berjenis pakaian yaitu kain kuning dan “bungkul atau temoatn” (sehelai kain yang dibuat dari kulit kayu “kepuak” yang disimpulkan berdasarkan jumlah orang dalam satu rumah atau keluarga).
Secara khusus, jika bahan-bahannya ditentukan seperti tersebut diatas, maka wujud beajatnya ini adalah ritual beajat pelinokng kampokng atau ritual memohon perlindungan kepada Duata Petara agar kampung dan seluruh warganya terhindar dari bencana, wabah, dan berbagai jenis malapetaka lainnya.
Prosesi dimulai dari membuat rancak (bambu yang di anyam sebagai tempat menyimpan persembahan) bahan disiapkan soba tiga (serba tiga) dimana bahan-bahannya semua berjumlah tiga (tuak 3 botol, 3 ruas nasi pulut, 3 ekor ayam dan 3 biji telur), kain kuning dan bungkul disiapkan masing-masing kepala keluarga kemudian dikumpulkan serta diletakan semuanya di bale beajat. Ada juga bahan yang disebut "boas komakng" yaitu beras biasa yang nantinya akan ditetesi dengan darah ayam dan digunakan untuk melakukan pemberkatan terhadap seluruh bahan, peralatan, dan hadirin yang hadir.
Baca juga: Bale Beajat: Mezbah Suku Dayak Taman Sangke
Ritual dilanjutkan dengan madah mantak, yaitu mengucapkan doa mantera untuk memberi tau bahwa bahan-bahan yang dipersyaratkan untuk menyampaikan niat sudah dipersiapkan, namun semuanya masih “mentah” (belum dimasak). Selanjutnya semua bahan yang masih mentah tersebut disatukan dalam mangkok adat. Tahap ini disebut penyajian pemoapm mantak yang dilanjutkan dengan penyebelihan ayam. Selanjutnya, semua bahan-bahan yang masih mentah tersebut dimasak, dan setelah semuanya masak, acara dilanjutkan dengan melakukan ritual madah mansak dan pemoapm mansak. Pemoapm adalah bahan-bahan yang disajikan dalam satu wadah (biasanya mangkok adat) sebagai sajian saat pemimpin ritual melaksanakan prosesi "betimak becue" atau memanggil Roh untuk diajak makan minum bersama. Pemimpin ritual menyampaikan doa-doa dan mengesahkan kain kuning. Pada tahap terkahir, kain kuning dibagikan untuk diikat di tangan kiri sebagai tanda bahwa selama waktu tiga hari dan tiga malam, warga kampung berada dalam status masa berpantang (bahasa Taman: “pantakng”). Pada masa tersebut, seluruh warga tidak boleh keluar kampung, tidak boleh bekerja di ladang atau di hutan, tidak boleh memetik tumbuh-tumbuhan atau tanaman tertentu, juga tidak boleh membunuh binatang atau hewan tertentu.
Pantakng atau larangan tidak boleh dilanggar baik dari luar ataupun dalam kampokng. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi adat, Orang Taman (iyakng Taman) mengenal istilah “mano’ mati pulakng idup, tuak tabao pulakng bisa “.
Nara Sumber sekaligus rekan penulis: Boni Pasius (Praktisi Adat Dayak Taman Sekadau).