Bale Beajat: Mezbah Suku Dayak Taman Sangke
Apabila Anda melakukan perjalanan menyusuri Sungai Taman di Wilayah Kebupaten Sekadau Provinsi Kalimantan Barat, Anda akan disuguhkan dengan pemandangan alam dengan nuansa perbukitan yang menawan. Di sepanjang Sungai Taman, Anda akan selalu menemui jeram yang membuat hati ingin berpetualang mengarunginya. Di sepanjang jalan, Anda menemukan banyak tembawang berisi pohon buah-buahan lokal seperti durian, asam kalimantan, asam mawang, belimbing darah, tengkawang, lahong, pekawai, dan banyak lagi jenis pohon buah-buahan lainnya. Tembawang umumnya didapati di daerah dataran rendah dengan kontur tanah relatif rata. Pada daerah yang relatif berbukit dengan kemiringan tanah antara 20 sampai dengan 60 derajat Anda bisa menemukan hutan yang berselang-seling dengan perkebunan rakyat. Dulunya merupakan hutan perawan, namun karena dirambah untuk berladang, berikutnya masyarakat Suku Dayak Taman memanfaatkan ladang tersebut untuk menanam padi, palawija dan kemudian menanam karet sebagai aset yang diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan di kemudian hari. Dalam perjalanan sejauh kira-kira 18 Km ke arah perhuluan Sungai Taman, kita bisa menemukan 10 buah kampung yang merupakan pemukiman Komunitas Dayak Taman Sekadau. Disebut Dayak Taman Sekadau, untuk membedakannya dengan Suku Dayak Taman Kapuas Hulu.
Berjarak kira-kira 3 Km dari Nanga Taman, kita mendapatkan kampung Nuak, selanjutnya ada Kenolan, Kenambin Tinggi, Sungai Agur, Meragun, Dondang, Nyauk, Kelampuk Ilik, Kelampuk Ulu dan Sangke.
Dayak Taman Sekadau itu sendiri merupakan salah satu Sub Suku Dayak yang berdomisili di Daerah Sepanjang Sungai Taman dan sungai-sungai lainnya di Wilayah Kecamatan Nanga Taman dan Kecamatan Sekadau Hulu Kabupaten Sekadau. Disamping 10 buah kampung yang telah disebtkan di atas, masih banyak kampung-kampung lainnya yang dihuni oleh Suku Dayak Taman Sekadau seperti Ladak, Manjang, Seneban, Jopo, Cupang Gading, Saka Tiga dan Sunsong di Kecamatan Sekadau Hulu. Ada lagi Kampung Sungai Kase, Sungai Lawak, Senapan, Riam Panjang, Tapang Belantik dan lain-lain kampung yang berada di daerah sepanjang Sungai Kiungkang dan Sungai Ketiur. Dayak Taman yang mendiami wilayah sepanjang kedua sungai ini sering disebut sebagai Dayak Taman Kiungkang dan Dayak Taman Ketiur. Sama halnya dengan Dayak Jawatn (https://ytprayeh.com/budaya/p-516143952531058/perari-bukan-ferrari-dalam-tradisi-dayak-jawatn), Dayak Taman Sekadau juga termasuk penutur rumpun Melayik (Sujarni Alloy dkk, 2008:274).
Baca juga: Perari bukan Ferrari dalam Tradisi Dayak Jawatn
Menurut cerita yang dituturkan oleh kaum tua, Orang Taman merupakan keturunan Panglima Nyai Anta. Demi mencari lahan baru yang lebih subur dan kaya dengan binatang buruan, Nyai Anta dan keluarganya memisahkan diri dari komunitasnya dan mulai membuka lahan baru di sepanjang Sungai Taman. Keturunan Nyai Anta bertambah banyak dan membentuk suatu komunitas yang memiliki wilayah, kepercayaan, bahasa, adat istiadat, dan tradisi tersendiri. Melihat dari situs-situs warisan leluhurnya, bisa dipastikan bahwa nenek moyang Orang Taman merupakan penganut kepercayaan Animisme-Dinamisme, hal ini dibuktikan dengan masih ada dan terpeliharanya tradisi dalam bentuk berbagai macam ragam ritual ucapan syukur dan permohonan kepada Duata Petara (Sang Pencipta versi Dayak Taman), salah satunya adalah ritual “Beajat.”
Beajat (bahasa Taman) itu sendiri merupakan ritual penyampaian permohonan kepada Duata Petara agar memperoleh perlindungan, kesembuhan, keturunan, tuah atau rejeki dan lain-lain keinginan yang disadari hanya bisa tercapai jika ada restu atau campur tangan dari Pemilik Kuasa Tak Terbatas.
Ritual Beajat tradisi Dayak Taman dilakukan disuatu tempat yang dilengkapi dengan bangunan yang disebut “bale” (semacam mezbah) untuk meletakkan sesajian yang akan dipersembahkan sebagai bahan prasyarat untuk membuka komunikasi dengan Roh dari Pemilik Kuasa Tak Terbatas. Bale Beajat Dayak Taman aslinya merupakan bangunan kecil dengan empat pilar utama dari kayu belian (kayu ulin) yang diberi asesoris “pasak jala” berlantai bilah bambu pering yang bisa diganti-ganti jika sudah lapuk. Pada umumnya, bale yang lazim dibuat di kalangan Dayak Taman aslinya tidak beratap, namun pada perkembangannya model tersebut dimodifikasi dan dibuat beratap sehingga aman dari terpaan hujan dan panas. Itupun tentu melalui kesepakatan adat.
Menurut Bonipasius (salah seorang praktisi adat Dayak Taman), proses pembuatan bale tersebut juga tidak boleh sembarangan, harus ada ritual mudas (minta ijin kepada Duata Petara), harus mengikuti penanggalan yang cocok, harus melakukan tolak bala, isolasi kampung (semacam lockdown), berpantang, dan tidak boleh bekerja keras selama waktu tertentu, tergantung tingkatan ritualnya. Tujuannya adalah agar seluruh warga Suku Dayak Taman terhindar dari tulah dan malapetaka. Ini adalah bentuk kearifan lokal yang harus lestari sampai generasi anak cucu.