Budaya

Perari bukan Ferrari dalam Tradisi Dayak Jawatn

Senin, 22 Februari 2021, 08:27 WIB
Dibaca 1.942
Perari bukan Ferrari dalam Tradisi Dayak Jawatn
Ferari dalam tradisi Dayak Jawatn, Sekadau, Kalbar.

Jangan salah kira. Ini bukan Ferrari produsen mobil sport dan mobil balap mewah asal Maranello Italia yang produknya (Ferrari) pernah dikendarai oleh Mantan Juara Balap Dunia Michael Schumacher (lih.: https://id.wikipedia.org/wiki/Ferrari).

Tapi tentang budaya atau tradisi gotong-royong secara bergilir ala Dayak Jawatn. Mirip dengan arisan. Tapi bentuknya adalah melakukan pekerjaan ladang secara beramai-ramai.

Jawatn itu sendiri merupakan salah satu subsuku Dayak yang bermukim di wilayah sepanjang Sungai Menterap, Kecamatan Sekadau Hulu Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat. Ditilik dari dialeknya, Dayak Jawatn termasuk penutur rumpun Melayik (Sujarni Alloy dkk., 2008; 147). Selain Dayak Jawatn, termasuk penutur rumpun Melayik adalah Dayak Sawe, Taman Sekadau, Benawas, dan Kerabat (Sujarni Alloy dkk, 2008: 274).

Baca juga: Bale Beajat: Mezbah Suku Dayak Taman Sangke

Tradisi “perari” atau “berari” didasarkan pada prinsip bahwa: “ketika ladang kita belum siap untuk dikerjakan, baiknya kita bantu orang lain mengerjakan pekerjaan di ladang mereka, sehingga pada saat kita butuh tenaga ekstra untuk menyelesaikan pekerjaan di ladang kita, pada gilirannya mereka yang ikut membantu.

Dengan demikian, tidak ada waktu yang dibuang percuma untuk menunggu pekerjaan.”

Pekerjaan-pekerjaan yang lazim dikerjakan dengan cara “perari” dan melibatkan juga kaum perempuan adalah “nugal” atau menanam padi, “ngurutn” atau menyiangi padi dan “ngotam” atau memanen padi.

Dayak Jawatn salah satu subsuku Dayak yang bermukim di wilayah sepanjang Sungai Menterap, Kecamatan Sekadau Hulu Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat. Ditilik dari dialeknya, Dayak Jawatn termasuk penutur rumpun Melayi. Mereka punya tradisi baik: ferari, gotong royong.

Menurut Lukas Hito (tokoh masyarakat Dayak Jawatn), ada 3 (tiga) pihak atau kelompok orang yang terlibat dalam tradisi “perari” yaitu:
Tuan rumah atau pihak yang menyelenggarakan pekerjaan perari. Dalam penuturan menggunakan bahasa Jawatn, mereka menyebut istilah kegiatan mereka pada hari pelaksanaan sebagai “nerima ari.” Pihak yang “nerima ari” diwajibkan untuk memberi tahu anggota-anggota lainnya tentang jadwal, lokasi dan apa-apa saja yang harus dibawa saat bekerja. Masalah perbekalan, tergantung kesepakatan, apakah membawa masing-masing atau disediakan oleh tuan rumah;

Kelompok yang belum “nerima ari” atau mereka yang ikut menjadi peserta walaupun pekerjaan di ladang mereka belum siap untuk digarap. Harapannya adalah kelak mereka akan mendapat giliran yaitu di saat mereka butuh tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan di ladang mereka. Sedangkan anggota yang lain siap untuk memberikan bantuan. Istilah bagi mereka yang bekerja pada hari pelaksanaan, dalam penuturan Jawatn disebut “pengari atau ngari.”

Kelompok yang sudah “nerima ari” atau mereka yang ikut bekerja karena harus “membayar” atau membalas jasa yang telah diterima dari peserta-peserta lainnya. Istilah bagi kelompok ini dalam bahasa Jawatn adalah “malas ari" atau "mulang ari."

Beberapa asumsi yang mendasari tradisi perari di kalangan Dayak Jawatn ini adalah:
Filosofi “banyak lebih baik”; pepatah mengatakan: “daripada sendiri lebih baik berdua, daripada berdua lebih baik bertiga, daripada sedikit lebih baik banyak” sangat dimengerti dan mendarahdaging di kalangan Masyarakat Jawatn;
Orang akan lebih bersemangat dan lebih gembira jika bekerja beramai-ramai daripada bekerja sendiri; Orang Jawatn tahu bahwa semangat dan kegembiraan dapat menghalau rasa letih dan malas;

Pekerjaan seberat apa pun akan menjadi ringan jika dikerjakan beramai-ramai; ibarat pepatah: “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”;

Kita bisa bekerja sambil berdiskusi dan bertukar pikiran dengan orang lain jika kita melakukan pekerjaan secara beramai-ramai;
Bekerja beramai-ramai memperkuat solidaritas sesama peladang.

Orang-orang tua terutama kaum perempuan biasanya menggunakan kesempatan pada saat perari tersebut untuk mendongeng dan bercerita tentang berbagai legenda, dongeng dan sejarah masa lalu nenek moyang mereka. Ini merupakan wujud tidak langsung dari proses edukasi tradisional masyarakat Jawatn yang telah dipraktikkan sepanjang masa sampai saat ini.
Tidak ada aturan formil yang mengikat setiap orang yang terlibat dalam tradisi perari ini, yang jelas, masing-masing orang memiliki kesadaran dan tanggungjawab moral dengan diri mereka, rekan dan lingkungan sosial mereka.

Masing-masing menyadari bahwa sebagai anggota masyarakat sosial, menyendiri dan mengingkari kebersamaan merupakan suatu sikap yang memalukan. Sekaligus hal itu  bentuk “kelainan” karakter.

Masyarakat Jawatn hidup dalam kebersamaan. Dalam komunitas yang saling berbagi. Tepa selira. Empati. Bela rasa. Inilah hebatnya Masyarakat Jawatn dan Orang Dayak pada umumnya. (mj)