Budaya

Radio, Riwayat dan Prospekmu

Senin, 25 Januari 2021, 09:28 WIB
Dibaca 979
Radio, Riwayat dan Prospekmu

Waktu magang kerja, sebagai mahasiswa, saya fokus pada sebuah radio berita informasi di bilangan jantung kota Tangerang. Saya, orang media, menganut teori McLuhan: bahwa media bukannya saling kanibal, tapi saling melengkapi. Dengan, tentu saja, kelebihan dan kekurangannya.

Radio? Hari gini masih bicara soal radio? Jangan berlagak sok! Baca, dan cermati dulu hasil kajian ini. Tulisan ini adalah saripati hasil amatan dan pengalaman saya, selama kerja magang di radio. Waktu kerja magang yang penulis lakukan di Star Radio 107.3 FM dimulai dari 30 Januari 2017 hingga 12 Mei 2017.

Radio merupakan salah satu media massa (Biagi, 2010, h. 110). Setiap media mempunyai empat interseksi atau bidang yang terkait satu sama lain, yakni alat, isi, khalayak, dan industri. Radio sebagai media juga mengandung keempat interseksi tersebut. Radio memenuhi semua unsur-unsur sebagai media massa, yakni khalayaknya heterogen, ada pengelola (institusi) dengan alamat yang jelas, teratur sajian atau isinya, tepercaya, mengandung dimensi industri, dan menyampaikan pesan (isi) dari komunikator ke komunikan melalui lewat alat.

Media sebagai penyampai pesan, berkembang dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Semakin maju teknologi dan peradaban manusia, semakin maju pula teknologi media. Sebagai contoh, pada zaman manusia masih hidup di zaman batu, manusia berkomunikasi melalui tulisan di atas batu dan dinding-dinding pula. Ketika teknologi berkembang seperti saat ini, media sebagai alat pun semakin maju. Kronologi perkembangan media dari masa ke masa menunjukkan bahwa media dan manusia senantiasa koevolusi (berevolusi bersama) dan koeksistensi (ada bersama). Masing-masing media mengandung keterbatasan dan keunggulan, termasuk radio. Penemuan radio sangat cocok dengan budaya kelisanan, meskipun komunikasinya cenderung satu arah (Eymeren, 2014, h. 29).

Dalam konteks berevolusi bersama dan ada bersama masyarakat yang berkembang serta berubah dari zaman ke zaman, radio sebagai produk budaya lisan yang dipancarluaskan melalui stasiun pemancar untuk menjangkau khalayak, masih relevan dan mendapat tempat di hati masyarakat. Menurut hasil survei Nielsen Radio Audience Measurement, meski di tengah-tengah bertumbuhnya media online saat ini, radio tetap mempunyai khalayak dan masih relevan sebagai media massa.

Meskipun penetrasi media televisi (96%), Media Luar Ruang (52%) dan Internet (40%) masih tinggi namun media radio masih terbilang cukup baik di angka 38 persen pada kuartal ketiga tahun 2016. Adapun media radio masih didengarkan oleh sekitar 20 juta orang konsumen di Indonesia. Para pendengar radio di 11 kota di Indonesia yang disurvey Nielsen ini setidaknya menghabiskan rata-rata waktu 139 menit per hari (: http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2016).

Dibandingkan tahun 2014, pendengar radio cenderung meningkat. Menurut survei Nielsen, Jika di tahun 2014 pendengar radio hanya menghabiskan waktu mendengarkan radio 16 jam per minggunya, hasil ini meningkat terus di tahun 2015 (16 jam 14 menit per minggu) dan tahun 2016 (16 jam 18 menit).Angka rata-rata ini mayoritas disumbangkan oleh Generasi X dengan rentang usia 35-49 tahun yang mendengarkan radio selama lebih dari 18 jam dari total keseluruhan pendengar. 

Disusul dengan Baby Boomers (50-65 tahun) dengan 17 jam 20 menit, Silent Generation (65 tahun ke atas)  dengan 16 jam 22 menit, Millenials (15-34 tahun) 15 jam 37 menit, dan Generasi Z (10-14 tahun) yang menghabiskan waktu mendengarkan radio lebih dari 13 jam di setiap minggunya. Survey juga menunjukkan bahwa waktu mendengarkan radio pada Generasi X di tahun 2016 ini menunjukkan peningkatan dari sebelumnya hanya 16 jam 18 menit di 2014 dan 17 jam 39.

Di balik angka pendengar radio yang cenderung meningkat ini, tentu saja ada fenomena yaitu bahwa medium radio mempunyai keunggulan dibandingkan dengan media lainnya, yakni: bisa didengarkan di mana saja, di mobil, di kantor, di rumah, di pabrik, di ladang-ladang, di pasar-pasar (http://www.pressreference.com/Gu-Ku/Indonesia.html).

Radio yang berkembang ini merupakan hasil dari kreativitas pemilik dan pengelolanya, yakni mengemas isi (content)  dengan memperhatikan kebutuhan khalayak, sehingga khalayak dipuaskan dan akhirnya menjadi pendengar yang setia. Selain informasi, isi radio pada saat ini juga memperhatikan sisi-sisi hiburan di mana pada awal perkembangannya sisi entertainment ini kurang diperhatikan atau kurang dieksplorasi secara bernilai industri yang mendatangkan iklan.

Tidak demikian halnya ketika pertama muncul sejak 1899 ketika Guglielmo Marconi menemukan radio. Sisi industri dan khalayak radio belumlah menonjol, yang diutamakan pada saat itu ialah sisi radio sebagai pemberi informasi. Dalam catatan sejarah, pertama kali menggunakan radio wireless untuk melaporkan mengenai America’s Cup Race. Bahkan, dewasa ini stasiun radio hadir di mana-mana, dari di kota-kota besar hingga pelosok di tanah air, dari radio pemerintah hingga radio swasta (Biagi, 2010, h. 112).

Dari tahun 1950-hingga 1980-an, radio adalah media komunikasi yang vital di Indonesia. Stasiun radio milik sekaligus dikelola Pemerintah, yakni Radio Republik Indonesia (RRI) menjadi media yang penting bukan hanya sebagai “corong pemerintah”, melainkan juga menjalankan fungsi sebagai penyampai informasi dan mengedukasi masyarakat.

Ketika keterbukaan mulai masuk ke segenap dimensi kehidupan masyarakat Indonesia pada 1998, siaran radio tidak lagi dikuasai radio pemerintah (RRI). Di mana-mana, terutama di kota besar di Indonesia, muncul banyak radio swasta.

Sesuai dengan perkembangan masyarakat, radio pun berkembang secara tersegmentasi untuk menjangkau khalayak yang juga semakin tersegmentasi oleh perbedaan gender, usia, profesi, hobi, kebutuhan informasi, dan lain sebagainya. Hampir berlaku di mana-mana, format radio yang paling populer  ialah news, talk, information, sport, dan musik (Biagi, op.cit, h. 127).

Radio Republik Indonesia (RRI) adalah radio nasional pertama yang didirikan pada Agustus 1945 segera setelah kemerdekaan Indonesia. Selama Perang Dunia II, pasukan pendudukan Jepang menggunakan radio sebagai alat propaganda utama, dan tokoh-tokoh seperti Sukarno dan Mohammad Hatta yang menonjol dalam pembangunan bangsa mendapat liputan luas dari radio, menjadi terkenalseluruh Nusantara. Bahkan, Presiden Soekarno berpidato melalui radio dan pidatonya ditunggu-tunggu oleh sebagian besar masyarakat.

 Pada awal tahun 2000-an, RRI berkantor pusat di Jakarta, dengan stasiun relay utama di Medan (Sumatera), Yogykarta (Jawa), Banjarmasin (Kalimantan), Makassar (Sulawesi), dan Jayapura (Papua Barat). Pada tahun 2002, RRI memiliki 53 stasiun yang dikelola oleh sekitar 8.500. Program luar negeri RRI, Voice of Indonesia, disiarkan dalam sepuluh bahasa: bahasa Indonesia, Arab, Malaysia, Mandarin, Thailand, Jepang, Spanyol, Jerman, Inggris, dan Prancis.

Perusahaan radio swasta beroperasi sejak 1966. Mereka disarankan memasukkan program informatif, pendidikan, dan budaya dalam siaran mereka. Namun, mereka tidak lagi diwajibkan membawa program berita yang diproduksi oleh RRI.Dalam dua tahun setelah runtuhnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998, jumlah stasiun radio independen tumbuh lebih dari 30 persen, dari sekitar 750 sampai lebih dari 1000 stasiun. (http://www.pressreference.com/Gu-Ku/Indonesia.html).

Baca juga: Racun itu Bernama Televisi

Sementara itu, stasiun radio swasta juga berkembang. Data dari Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, jumlah stasiun radio juga meningkat dari 700 stasiun radio pada akhir 2010 terdapat sekitar 2590 lembaga penyiaran radio yang berproses di Kemkominfo (Data PRSSNI 2011). (https://kominfo.go.id/index.php/content/detail). Adapun jumlah stasiun radio di Tangerang, Banten sebanyak 28 dan Star Radio salah satu di antaranya.

Data dan fakta di atas menunjukkan bahwa radio masih relevan hingga hari ini. Hal itu karena radio sebagai media audio, punya keunggulan yakni mudah diakses, interaktif dapat didengar di mana pun, bahkan di jalan, atau sambil melakukan pekerjaan lain. Ini merupakan keunggulan dari radio yang tidak ditemukan pada media lainnya.

Di pihak lain, radio pun punya keterbatasan. Harus ada alat dan frekuensi untuk mengaksesnya. Berbeda dengan koran yang bahan atau medianya adalah kertas yang dapat dibawa ke mana-mana, radio  adalah media yang mengandalkan fungsi audio dan untuk menjaring sebanyak-banyaknya pendengar, menghadirkan ragam format yang menarik (Sutanto, 2015, h. 43).

Pemilik, manajemen, jurnalis, dan pekerja industri radio dituntut untuk senantiasa menghadirkan radio yang memenuhi kebutuhan sekaligus memuaskan khalayak sehingga sebagai media massa radio bukan saja dapat bertahan dalam persaingan dengan media lain, melainkan juga terus berkembang. Dalam konteks kreativitas dan selalu memenuhi dan memuaskan khalayak itu, sebuah stasiun radio mengembangkan berbagai program (isi) yang dibutuhkan khalayak. Indikatornya adalah semakin tumbuh dan berkembang stasiun radio di Indonesia. Hanya di wilayah Tangerang, Banten saja, saat ini terdapat 27 stasiun radio, dan Star Radio 107.FM salah satu di antaranya (https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar stasiunradio di Banten). 

Menurut teori pers, media seharusnya berfungsi untuk: memberi informasi, mengedukasi, menghibur, dan menjadi penjaga atau penyeimbang pemerintah. Dilihat dari sisi content (isi), kehadiran Star Radio 107.3 seperti yang ditampilkan program acara-acaranya menyampaikan informasi, dan terutama menjadi hiburan yang sehat bagi pendengarnya.

Dari segi teknologi, sebanyak 350 stasiun radio sejak 2002 mengembangkan radio digital terestrial. Star Radio 107.3 FM pun mengikuti perkembangan teknologi, sehingga bukan hanya dapat didengar ketika on air, melainkan juga dapat diikuti melalui radio-web (radio internet) dan podcasting yakni pengunduhan file audio dan disimpan di dalam server. Mengikuti perkembangan teknologi dan segmen yang khusus adalah pembeda Star Radio 107.3 FM dibandingkan radio yang lainnya.

Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi dan isi Star Radio 107.3 FM sebagaimana dipaparkan di atas, penulis merasa yakin bahwa Star Radio 107.3 FM sangat cocok untuk tempat kerja magang. Eksistensinya sudah memenuhi syarat sebagai media massa yang bercirikan pesannya (isi siarannya) disampaikan secara rapi dan teratur, pesannya disampaikan melalui alat (medium), dan pesannya menjangkau khalayak secara simultan dalam satu periode yang singkat (Biagi, 2010, h. 9).

Akan matikah radio, bersaing dan berhadapan dengan media pengarus-utama dan media sosial?

Pertanyaan Penutup ini, jangan saya yang jawab!

***