Budaya

Racun itu Bernama Televisi

Selasa, 25 Agustus 2020, 22:49 WIB
Dibaca 465
Racun itu Bernama Televisi
economictimes.com

Dodi Mawardi

Penulis senior

"Saya tidak mau bekerja di televisi!"

"Kenapa?" tanya beberapa teman.

"Karena saya menganggap televisi terlalu banyak racunnya."

"Ah masa? Bukannya karena selalu gagal mau masuk kerja kesana?" sergah kawan lainnya. Saya memang pernah sekali melamar ke sebuah stasiun televisi mengharapkan menjadi tenaga reporter di sana. Tapi gagal bersaing dengan yang lain.

 

"Oh tidak. Waktu itu, saya hanya ikut-ikutan saja dan terpengaruh oleh ajakan teman," saya membantah.

"Ah alasan saja kamu. Bilang aja, kamu sudah tak bisa kemana-mana lagi. Nyangkut di radio," katanya sengit.

"Ya terserah. Faktanya, sampai sekarang saya belum pernah bekerja di televisi, dan akan tetap begitu sampai nanti," jawabku tegas.

 

Saya lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi pada 1998, ketika beberapa stasiun televisi baru mulai bermunculan pasca krisis moneter, menyusul kehadiran RCTI, SCTV, TPI Indosiar, dan Anteve. Sejumlah teman seangkatan saya, ambil bagian dalam munculnya stasiun televisi baru itu. Bahkan sampai sekarang mereka masih di sana. Saya pun sempat beberapa kali diajak bergabung, tapi selalu saya tolak.

 

Secara ekonomi, bekerja di televisi memang menjanjikan pemasukan yang lebih besar dibanding di radio. Untuk level yang setara, penghasilan pekerja teve mungkin 2 kali lipat atau lebih. Tapi saya merasa tidak nyaman kalau harus bekerja di sebuah stasiun televisi, yang selain menyiarkan mimbar keagamaan, kuliah subuh dan semacamnya, juga menampilkan acara liputan kehidupan negatif malam, eksploitasi wanita, seks, pornografi, kekerasan dan hal negatif lainnya. Hati kecil saya mengatakan, "Tidak!" Apalagi porsi acara-acara 'negatif' lebih mendominasi. Dan hebatnya, rating mengatakan itulah acara yang digemari masyarakat. Sesungguhnya saya bertanya-tanya, benarkah masyarakat menyukai tayangan seperti itu?

 

Tapi godaan televisi memang luar biasa, apalagi saya mendeklarasikan diri sebagai seorang broadcaster. Sama sekali tidak lengkap rasanya bila broadcaster hanya menguasai dunia radio tanpa televisi. Suatu waktu saya bertemu dengan teman yang berkecimpung di production house (PH) dan diajak bergabung. Timbang kanan kiri atas bawah, saya putuskan ikut bergabung di PH tersebut. Sejumlah kemampuan saya di radio ternyata bermanfaat buat PH tersebut, seperti menulis naskah, directing atau voice over bahkan juga sebagai pembawa acara.

 

Kenapa saya mau masuk ke PH?

Saya pikir di situ saya akan mendapatkan ilmu broadcasting untuk memenuhi kualifikasi saya. Tanpa harus terjerumus ke dalam kubangan penuh racun televisi. Di PH saya bisa mengatur sendiri acara apa yang akan diproduksi, tidak tergantung pada pemilik modal atau penguasa televisi. Sehingga selama di PH tersebut saya hanya mau menggarap program yang bermanfaat, seperti bisnis, sosial, dan lingkungan. Programnya pun berkisar pada talkshow, feature atau TV magazine

Saya tidak akan terbebani oleh gugatan moral sebagian masyarakat terhadap televisi. Dan memang terbukti, selama tiga tahun saya mampu menjaga diri dari acara-acara "racun". 

 

Hasilnya, saya memperoleh ilmu pertelevisian yang cukup, meski masih jauh dari memuaskan. Saya pun sempat muncul sebagai pemandu acara sebuah talkshow yang disiarkan di Metro TV. Selain itu, secara materi ternyata memang jauh lebih besar daripada radio. Hanya dua sampai tiga bulan bekerja, tapi hasilnya melampaui setahun pendapatkan di radio.

 

Tapi karena saya hanya mau memproduksi acara-acara positif, tidak banyak program yang bisa dipersembahkan. Pemilik stasiun dan sponsor harus diakui hanya mau menerima program yang disukai pemirsa seperti sinetron, infotainmen dan lain sebagainya yang lebih bersifat menghibur. Mereka tidak peduli apakah acara itu bermanfaat atau tidak buat pemirsa. Yang lebih penting adalah menghibur sehingga disukai penonton dan mendapatkan rating serta tv share yang tinggi. Kalau perlu, mereka menampilkan sesuatu yang heboh, sensasional dan bombastis. 

 

Sedangkan acara yang saya garap, lebih banyak edukasi seperti talkshow masalah properti, feature tentang corporate social responsibility, electronic life style, pembangunan rumah gempa dan rumah ibadah. Meski bisa berjalan, tapi acara-acara itu relatif minim pengiklan. Tidak jarang, PH saya hanya mampu menutup biaya produksi saja tanpa profit.

 

Ketika sekarang saya sudah berhenti juga dari PH, saya tetap punya pendirian: acara televisi terlalu lebih banyak yang negatif daripada positif. Saya harus mengakui pendapat beberapa LSM, praktisi pendidikan dan sejumlah pakar lainnya, yang menganggap televisi sebagai salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Saya pun kian dalam meyakini, bahwa televisi memang racun.

Dan saya sama sekali tidak menyesal, untuk selalu menolak bekerja di televisi yang dikuasai oleh pemilik dengan visi dan misi mengeruk keuntungan, tanpa peduli dampak negatif yang dihasilkan mesin uangnya tersebut.

 

 

Ciputat, 28 Oktober 2007