Budaya

Menggugat Peran Media Massa dalam Persatukan Bangsa

Minggu, 23 Agustus 2020, 19:17 WIB
Dibaca 403
Menggugat Peran Media Massa dalam Persatukan Bangsa
Dok pribadi

Dodi Mawardi

Penulis senior

Bagaimanakah peran dan fungsi media massa saat ini?
Sudahkah sesuai dengan peraturan perundangan?

Sudahkah memenuhi harapan publik?

Mampukah media massa persatukan bangsa?

 

Di tengah-tengah gempuran media sosial yang luar biasa – sebagian menyebutnya tsunami medsos – peran dan fungsi media massa menjadi lebih krusial lagi. Sebelum media sosial lahir, media massa seolah melenggang sendirian dalam mempengaruhi opini publik. Kini tak lagi. Media sosiallah yang secara dramatis menggeser posisi media massa. Publik pun mengalami demam mirip seperti terkena pagebluk Covid-19. Bisa jadi dampaknya membuat kematian, atau sebaliknya berdampak kekebalan seperti demam setelah disuntik imunisasi. Melihat gejala-gejala belakangan, dampak medsos membuat kehidupan berbangsa dan bernegara kita menjadi acak adut, kacau balau, atau tidak karuan. Di sinilah peran dan fungsi media massa menjadi lebih krusial.

 

Media sosial tidak punya wartawan yang terdaftar di organisasi jurnalis. Media sosial tidak punya jenjang penyaringan informasi (penyunting/editor). Media sosial tidak punya pemimpin redaksi. Media sosial tidak punya cukong terdaftar, seperti para pemilik media massa. Media sosial adalah media kebebasan dan kebablasan. Siapa pun bisa dan siapa pun boleh. Bahkan belakangan mirip hukum rimba, siapa yang punya modal tak terbatas dalam merekrut sebanyak mungkin orang untuk mengelola medsos, dialah yang akan menguasai opini publik. Makin banyak akun-akun medsos makin besar peluang mendominasi opini.

 

Hal yang seharusnya berkebalikan dengan media massa. Negara sudah membuat aturan jelas dan pasti tentang pengelolaan media massa, baik media massa cetak, daring maupun media massa elektronik. Siapa pun pengelola media massa, wajib tunduk kepada aturan-aturan tersebut. Di sana disebutkan dengan nyata apa saja peran dan fungsi media massa, yang secara prinsip bertujuan untuk kepentingan dan kemaslahatan publik (rakyat Indonesia). Pengelola media massa memang melakukan kegiatan bisnis, namun bisnis media massa berbeda dengan bisnis yang lain. Bisnis media massa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan publik, kepentingan bangsa, dan negara.

 

Dalam praktiknya, kita bisa melihat sendiri bagaimana perilaku sebagian media massa di Indonesia. Seharusnya, media massa menjadi patokan publik dalam menentukan mana berita yang aktual, faktual, akurat, dan kredibel, di tengah-tengah gosip media sosial. Seharusnya, media massa menjadi pelurus berbagai kesimpangsiuran informasi, di antara perang kepentingan di media sosial. Akan tetapi tampaknya hal tersebut belum sepenuhnya dilakukan.

 

Bahkan sejumlah media massa, justru terjebak dan ikut-ikutan serta berpartisipasi (secara langsung maupun tidak langsung) dalam perang medsos tersebut. Sebagian media massa, malah dengan sangat lugunya, menjadikan media sosial sebagai sumber berita. Sejumlah pernyataan dari pemilik akun media sosial, ditampilkan di media massa, tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Tanpa cek dan ricek. Alhasil, media massa justru menambah semarak hutan rimba media sosial.

 

Perlu Duduk Bersama

Menurut saya, para pengelola media massa (seluruhnya) perlu duduk bersama, mengkaji fenomena mutakhir terkait dominasi media sosial. Perlu diskusi-diskusi mendalam tentang peran dan fungsi media massa, di tengah-tengah euforia masyarakat terhadap media sosial. Harus melakukan riset mendalam tentang bagaimana para pemangku kepentingan, yang sekarang justru lebih suka memanfaatkan media sosial dibanding media massa.

 

Ada sejumlah ancaman sangat serius terkait keberadaan media massa. Pertama adalah ancaman ekonomi, karena pemilik modal (pengiklan) sudah beralih ke media internet dan media sosial. Kedua, juga ada ancaman gaya hidup publik, yang lebih mudah mengakses informasi melalui gawai di genggamannya. Ketiga, ancaman tingkat kepercayaan publik terhadap media massa. Beberapa ancaman sekaligus menerpa media massa. Di Amerika Serikat, sejumlah media massa gulung tikar hanya karena faktor ekonomi. Atau mengubah bentuk dari media massa konvensional menjadi media internet. Mereka kalah bersaing dengan media internet dan media sosial.

 

Ancaman ekonomi sudah kita ketahui bersama tak bisa dibendung. Media massa harus pintar-pintar berstrategi agar tetap bertahan hidup. Ancaman gaya hidup bisa disiasati dengan mengubah bentuk atau membuat media daring, selain tetap mempertahankan bentuk lama. Hampir seluruh media massa di Indonesia sudah melakukannya. Selain memiliki versi cetak atau siaran konvensional, mereka juga memiliki versi daring.

 

Bagaimana dengan ancaman ketiga, tingkat kepercayaan publik?

Publik makin tidak percaya kepada media massa, karena sebagian media massa tidak menyuarakan kepentingan mereka. Sebagian media massa menyuarakan kepentingan pemilik dan kelompoknya. Publik sudah tahu dan cerdas, mana saja media massa yang berafiliasi dengan kekuatan tertentu dan mana yang tidak. Setiap kali terjadi konflik di tingkat elite, maka publik bisa dengan gamblang melihat mana saja media yang berpihak ke kepentingan elit A dan mana ke kepentingan elit B. Sangat jelas.

 

Media massa tidak lagi menjaga fungsinya sebagai media edukasi masyarakat, karena terlalu condong kepada kepentingan politik. Media massa kurang peduli dengan perannya sebagai media perubahan dan pembaharuan masyarakat ke arah lebih baik. Media massa sekarang lebih berat ke fungsi semata hiburan, ekonomi, dan fungsi mempengaruhi opini publik sesuai dengan opini pemilik dan kepentingannya.

 

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana dengan peran media massa dalam mempersatukan bangsa? Tampaknya perlu digugat sekeras-kerasnya. Ketika beragam konflik terjadi, sebagian media massa bukannya membikin adem, tapi makin membuat gaduh tak karuan. Sebagian media massa justru bertepuk tangan dan bergembira ria ketika konflik antar elite terjadi, dan konflik lainnya menjadi-jadi. Lalu menampilkan pro kontra tak berkesudahan. Katanya, karena itu yang disukai publik, dengan dalih adagium “Bad news is a good news”.

 

Menyedihkan!