Serunya Marengge, Menangkap Ikan ala Dayak Ngaju
Tak terasa perjalanan kelotok ternyata sudah hampir satu jam, dan dikejauhan mulai terlihat kelokan sungai yang lumayan panjang, diatasnya ada tebing daratan pinggiran sungai yang mungkin berjarak sekitar empat sampai lima meter dari permukaan air sungai. Dan tidak jauh dari sana, terlihat ladang jagung dan kebun sayur milik Tambi (nenek) indu Selung. Berarti tidak lama lagi aku sudah sampai di Dusun Bereng Malaka.
Kebun dan rumah Tambi indu Selung letaknya adalah paling ujung dari Desa Bereng Malaka ke arah hilir. Sehingga jika aku datang dari kota untuk melayani jemaat di Dusun itu, maka kebun dan rumah Tambilah yang akan pertama kali ku lihat sebagai tanda bahwa sebentar lagi kelotok yang ku tumpangi akan sampai di Dusun itu.
Sore itu aku menumpang di kelotok Mama’ (Paman) pa Iwan, orangnya ramah dan lucu. Dia suka bercanda dan suka membantu orang lain. Biasanya dia dan istrinya Mina (bibi) indu Iwan akan belanja ke Desa Takaras seminggu atau dua minggu sekali. Karena di Desa Takaras ada beberapa toko yang cukup lengkap untuk membeli kebutuhan pokok mereka.
Jika aku beruntung aku bisa bertemu dan menumpang di kelotok mereka untuk bersama-sama ke Dusun Bereng Malaka. Kadang-kadang jika Taxi yang kutumpangi dari kota terlambat tiba di Desa Takaras, aku tidak menjumpai mereka karena mereka sudah kembali ke Dusun Bereng Malaka. Jika demikian biasanya aku harus membayar Bapa Asi untuk mengantarku ke Dusun Bereng Malaka menggunakan kelotoknya.
Setelah istirahat sejenak, aku main ke tempat Mama’ pa Iwan, sore itu dia mengajakku untuk marengge, atau menangkap ikan dengan alat penangkap ikan yang disebut rengge.
Alat itu bentuknya seperti net bulutangkis, dengan jala-jala yang ukurannya disesuaikan untuk ukuran ikan yang akan ditangkap. Dari tempatku tinggal rumah Mama’ pa iwan hanya berjarak sekitar 100 meter saja, aku pun berjalan kaki di atas jalan tanah yang jika musim hujan akan berubah seperti adonan lumpur… hahaha.
Tidak lama, aku sudah sampai di rumah Mama’ pa Iwan. Kudaki tangga kayu untuk sampai di teras rumahnya. Dari teras aku panggil dia; “ Maa’.... maaa’... jadi kah itah marengge? “ (“Omm... oommm.. apakah kita jadi menangkap ikan dengan Rengge?”) dari dalam rumah terdengar sahutan; “Uhuuuuiiii, iyoh Dod... jadi itah marengge…!“ (Uhuuiiii, iya Dod.. jadi kita menangkap ikan dengan Rengge...!”) “Palus kan huma…! “ (“Masuk ke rumah...!!”) sambungnya lagi.
Akupun langsung masuk ke rumahnya dan menuju ke belakang. Ku lihat Mama’ pa Iwan sedang menyiapkan Renggenya, ada empat Rengge yang dia bawa. Aku pun membantunya. Waktu kami berdua mau turun ke arah sungai, kami bertemu Tambi indu Sane, ibunya Mama’ pa Iwan. Dia bertanya; “Handak marengge ketun nah Dod..? Bua buah lah…” ( “Mau menangkap ikan dengan Rengge kalian ya Dod? Hati hati ya..” ) akupun menjawab; “Iyoh Mbi, handak balajar tuh bara Mama’ pa Iwan..!” ( “Iya Nek, mau belajar ini dari Om Papa Iwan…!” ) dan seperti biasa, Mama’ pa Iwan mencandai ibunya lalu kami bertiga tertawa.
Jukung yang kami dayung semakin jauh masuk ke anak sungai, dan anak sungai itu semakin sedikit airnya. Aku pun turun dan kami berdua mendorong jukung itu untuk sementara. Akhirnya kami kembali naik ke jukung saat anak sungai itu ternyata menjadi agak lebar dan dalam airnya justru setelah semakin masuk ke dalam hutan.
“Tege danau melai kanih Dod...” (“Ada danau disebelah sana Dod..”) kata Mama’ kepadaku. “Hong danau kanih kareh itah memasang Rengge tuh…” (“Di danau sana nanti kita pasang Rengge ini…”) ternyata benar kata Mama’ pa Iwan. Rupanya ada danau tersembunyi di dalam hutan, mungkin bagi orang awam seperti aku yang datang dari Jawa itu terasa takjub.
Tapi bagi Mama’ pa Iwan yang tinggal di daerah itu, hal itu sudah biasa. Dia bercerita ada beberapa danau lagi yang sangat banyak ikannya dan tempatnya di dalam hutan, dan untuk menjangkaunya memang lumayan perlu perjuangan. Apalagi dimusim air sungai surut seperti sekarang ini. Karena anak sungai yang menghubungkannya kadang sudah sedikit airnya, ditambah semak belukar khas hutan Kalimantan yang rimbun yang tak jarang menutup jalur anak sungai tersebut. Oleh sebab itu kami selalu membawa parang jika masuk ke hutan.
Kami pun menambatkan jukung kami dipinggir danau. Aku menunggu di dalam jukung, sementara Mama’ pa Iwan mulai mengambil parang untuk memotong beberapa cabang pohon yang lurus untuk digunakan sebagai turus, yaitu tongkat untuk menancapkan Rengge itu ke dasar danau yang panjangnya kurang lebih dua sampai tiga meter.
Baca Juga: Perari bukan Ferrari dalam Tradisi Dayak Jawatn
Setelah turusnya siap, Mama’ pa Iwan lalu mengambil satu Rengge dan dua turus. Lalu dia mulai turun ke danau dari pinggiran danau, dia mencari tempat-tempat dimana dia tahu ikan-ikan akan lewat disitu. Dia sangat ahli dalam hal ini, karena dia sudah melakukannya bahkan sejak kecil katanya. Setelah sampai dia menancapkan turusnya, untuk itu dia harus menyelam utnuk memastikan turus itu kuat tertancap. Setelah memasang satu Rengge, dia kembali ke jukung untuk mengambil Rengge dan turus berikutnya untuk dipasang.
Sementara aku hanya mengamati saja... karena sebenarnya aku tidak bisa berenang. Hahaha.. Namun aku senang membantu dan menemani Mama’ pa Iwan jika dia marengge. Karena biasanya dia sendiri saja jika berangkat marengge.
Tak terasa semua Rengge sudah dipasang, dan kamipun bergegas pulang karena hari sudah mulai gelap. Besok pagi-pagi kami akan menengok Rengge-rengge yang terpasang tersebut untuk melihat hasilnya. Sementara malam ini rasanya kami hanya ingin cepat sampai rumah, dan makan pakai lauk pundang (ikan asin), rebusan daun singkong dan sambal acan (terasi) buatan Mina’ indu Iwan.
***
Jukung: Perahu kecil tanpa mesin yang biasanya hanya muat untuk 2-4 orang, menggerakkannya dengan memakai dayung