Psikologi Hantu
Sesungguhnya paling tepat jika dikatakan "fenomena hantu" saja, sebab hantu tentu saja tidak berjiwa (psiche), sehinga tidak mungkin dikatakan "psikologi hantu". Maksudnya, lebih kepada kondisi pikiran dan perasaan manusia dalam menerima "realitas" hantu, makhluk yang tak kasat mata yang keberadaannya dipercaya oleh berbagai lapis kebudayaan masyarakat dunia, dari masyarakat sangat tradisional sampai paling modern.
Tiada bosannya Hollywood memproduksi film bertema hantu menunjukkan bahwa hantu masih dianggap sebagai daya tarik yang berkelindan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Maka jika video yang sedang viral ini benar sebuah peristiwa sungguhan, bukan hoax atau setingan, yakni perjumpaan tukang ojek dengan kuntilanak yang sedang menggelayut di atas pohon pada malam gelap-gulita, izinkan saya bercerita secara pribadi tentang kuntilanak yang sudah jadi fenomena di Pulau Jawa. Saya sedang berhasrat cerita saja.
Saya percaya atas keberadaan kuntilanak karena terhitung dua kali perjumpaan saya dengan mereka di tempat berbeda. Itu sewaktu saya masih memiliki kemampuan melihat apa yang kita sebut sebagai makhluk halus itu, maka kuntilanak, pocong sampai tuyul, sudah sangat akrab di mata saya. Pada masa lalu, saya memiliki kemampuan melihat penampakkan mereka.
Yang selalu bikin heran saya, mengapa penampakkannya selalu seperti itu saja, tidak pernah mengikuti mode; rambut panjang, gaun putih longdress dan ketawa cekikikan. Lebih aneh lagi, seingat saya, rambut mereka itu mengkilat jika kena sinar, seolah-olah gadis shampoo, sementara longdress putihnya tipis dan berkibar-kibar seperti kena angin, seolah-olah itu betul gaun yang biasa dipakai emak-emak.
Mereka biasa menghilang dalam sekejap tanpa kesan, apalagi pesan, secepat mata berkedip dan setelah itu tidak muncul lagi. Tapi ketahuilah, setelah itu malah takut, sebab ada rasa jangan-jangan ia sudah ada di belakang saya dan memeluk dari belakang. Kurang asem, kan?
Anehnya lagi, perasaan takut dan ada "feeling" atas kehadiran kuntilanak, pocong dan tuyul itu saat saya berada di Pulau Jawa, di luar Jawa saya lebih aman karena tidak dihantui penampakan itu, apalagi di luar negeri. Di Kalimantan, meski ada mistis dan magisnya, tetapi tak pernah takut dan berpikir atas kehadiran pocong, kuntilanak dan sebangsanya. Kalau toh Pulau Kalimantan mengenal kunyang, sebangsa hantu berpotongan manusia, itu tidak membuat saya takut karena kunyang tidak ada di Pulau Jawa, apalagi di Tasikmalaya, tempat saya dilahirkan.
Ini berarti, hantu adalah hasil penggambaran masyarakat tertentu dengan budaya yang melekat dalam pandangan mereka. Akar budaya seperti mitos, cerita lama dan legenda, melekat pada masing-masing budaya berbeda sehingga yang tertampak (sebagai hantu) itu adalah gambaran yang tercipta atau diciptakan mitos dan legenda tadi. Kalau cerita atau mitos rakyat Kalimantan menjadikan kunyang sebagai makhluk tak kasat mata yang menakutkan, maka gambaran makhluk itulah yang tertampak oleh psikologi massa warga setempat. Artinya, bukan hanya seorang saja yang melihat penampakan kunyang dengan gambaran yang spesifik, melainkan warga lainnya juga yang sama-sama terpapar mitos atau legenda tadi.
Itu sebabnya saat berada di luar Pulau Jawa, saya tidak pernah takut akan munculnya pocong, kuntilanak, tuyul dan sebangsanya, mitos yang hanya dikenal di tempat saya, sedangkan kalau kunyang muncul, misalnya, itu juga tidak terlalu menakutkan saya sebab tidak ada gambaran kunyang dalam benak saya.
Saat berada di Seoul, Korea Selatan, penginapan saya dekat dengan pemakaman di atas perbukitan dan tidak adan rasa takut sedikitpun. Di New Delhi, India, saya agak takut lebih karena suasana mistisnya dari dupa yang selalu nyala, bahkan di hotel mewah. Di Moskow dan Helsinki apalagi. Di London yang katanya gudang hantu seperti Pink Lady, malah saya tidak takut sama sekali, justru berharap dia muncul karena di film-film gambaran hantu itu seperti perempuan cantik.
Hanya di Devil Island di Kourou, Perancis, saya nyaris "kemasukan setan" gara-gara memetik mangga menggunakan kayu panjang. Devil Island tempat pembuangan dan hukuman mati para kriminal zaman penjajahan Perancis. Maka di sana saya masih bisa melihat goulettin, mesin pemotong leher manusia yang konon telah memisahkan pribuan kepala manusia dari badan.
Di Devil Island ini ada rasa takut yang menekan pikiran dan perasaan, tetapi tidak pernah terpikir bakal munculnya kuntilanak atau pocong. Mereka tidak akan ada di sana, hanya ada di Indonesia, itupun di Pulau Jawa saja.
Bukan semata penampakkan, tetapi suara juga. Sering pendaki gunung merekam suara manusia yang sedang menangis bahkan tertawa di malam hari.
Pada sebuah tayangan di National Geographic, seorang ilmuwan sekaligus petualangan berada di sebuah pulau kecil di tengah lautan tak berpenghuni. Melalui rekaman video, ia jelas mendengar suara ketukan palu dan teriakan orang-orang seperti sedang bekerja, ada juga teriakan bergema, padahal pulau itu tak berpenghuni.
Pengalaman pribadi, di kampung saya kerap mendengar suara gamelan dan sinden yang sedang menembang dalam bahasa yang tidak saya pahami. Suara itu timbul tenggelam seperti terbawa angin lalu. Padahal di kampung itu tidak ada yang sedang hajatan, apalagi menanggap gamelan dan sinden.
***