Pisang Goreng Hutan Pedalaman Kalimantan, Maknyus!
“Dodi tuh, sekali makan pisang goreng habis 10…” kata Masri Sareb Putra, disambut gelak tawa yang lain.
“Ini pisang goreng terenak yang pernah masuk ke mulut,” jawab saya serius sambil terus mengunyah pisang goreng tersebut. Potongan pisang goreng ke-11. Hanya dengan pisang goreng itu, saya kuat tidak makan dari siang sampai malam. Pada saat bulan Ramadhan 2020 lalu, ketika kami berada di Malinau, saya dan Kang Pepih Nugraha berani makan sahur hanya dengan masing-masing tiga potong pisang goreng dan segelas kopi susu. Kami kuat menjalankan ibadah puasa sampai Magrib, dengan kegiatan yang cukup padat!
Pisang goreng yang satu ini memang benar-benar maknyus. Asli, natural, tanpa tambahan macam-macam. Tidak ada keju ala pisang goreng di café. Tak ada juga gula, susu, atau taburan cokelat. Polosan. Hanya dilapisi tepung terigu tipis yang ketika masuk ke mulut, langsung berbunyi kres kres kres. Saking renyahnya.
Daging pisangnya begitu segar. Tidak lembek karena terlalu matang. Tidak keras juga karena mentah. Teksturnya sempurna ketika terasa di lidah. Kata penyedia pisang gorengnya, itu adalah pisang hasil panen kebunnya di pulau kecil di tengah sungai yang membelah pusat kota Malinau, Kalimantan Utara. Kami menyebutnya pisang Kepok, salah satu pisang paling lezat sebagai bahan baku pisang goreng. Namun, pisang Kepok hutan pedalaman ini punya cita rasa yang berbeda dibanding pisang Kepok di Pulau Jawa.
Saya penggemar pisang. Tanpa digoreng, digoreng, atau dikukus. Semua jenis penganan berbahan pisang, saya suka. Saya bisa membandingkan rasa setiap jenis pisang. Ketika mendapatkan suguhan pisang goreng di Malinau, suatu cita rasa baru meresap ke dalam mulut. Seluruh panca indera (terutama pengecap) sepakat, inilah pisang goreng ternikmat. Maknyus.
Itulah sebabnya, setiap kali mendapatkan undangan dari Pak Yansen T.P., baik ketika masih menjabat sebagai Bupati Malinau maupun setelah menjadi Wakil Gubernur Kalimantan Utara, saya selalu menanti-nanti sajian pisang goreng ini. Kolaborasi antara bahan pisang alami di pedalaman hutan, dengan resep olahan tepung yang pas, dan kemampuan chef lokal, menghasilkan cita rasa pisang goreng kelas dunia, hehe. Numero Uno, deh.
Baca juga: Sang Bupati dan Pisang Kepok Jumbonya
Bukan hanya saya yang memberikan penilaian tersebut, Pak Masri – penulis lebih dari 100 judul buku – dan Kang Pepih Nugraha – Pendiri Kompasiana, juga mengamininya. Mereka berdua juga sama dengan saya. Sama-sama menikmati sajian pisang goreng khas Malinau itu. Bedanya, perut saya menampung lebih banyak, sesuai ukurannya. Kami bertiga selalu bergembira setiap kali mendapatkan ‘panggilan’ dari Pak Yansen untuk datang ke Kalimantan. Tujuan utama kami tentu saja berliterasi, karena Pak Yansen merupakan tokoh literasi di Kalimantan Utara. Kami sudah menghasilkan banyak karya tulis. Pisang goreng itu melengkapi kebahagiaan kami berliterasi.
Apalagi setiap kali menyantap pisang goreng khas tersebut, kami juga mendapatkan sajian tak kalah istimewa: kopi susu hasil racikan pak Yansen sendiri. Duet maut pisang goreng dan kopi susu, mampu membuat kami melayang dalam dunia literasi tanpa ujung.
Pak Yansen tahu persis keadaan kami tersebut. Meski kami sedang tidak berada di Kalimantan, beliau paham, kami tetap merindukan pisang goreng plus kopi susunya itu. Dalam beberapa kali kesempatan, beliau mengirimkan hasil panen pisang Malinau ke Jakarta. Plus kopinya. Bukan hanya sesisir dua sisir. Kami mendapatkan berkali-kali kiriman pisang satu turuy sendiri. Dalam bahasa Sunda, turuy bermakna tandan. Jadi, kami mendapatkan bertandan-tandan pisang Malinau. Cukup untuk membuat pisang goreng selama berminggu-minggu.
“Inilah pisang paling mahal…” kata Kang Pepih. “Dikirim langsung lewat pesawat terbang secara khusus, hehe.”
Baca Juga: Hikayat Pisang Kalimantan Di Hotel Berbintang
Begitulah. Kisah pisang goreng dan kopi susu ala Malinau, khususnya ala pak Yansen T.P., menyertai kesibukan kami berliterasi di Kalimantan. Pisang mengiringi kami menghasilkan beberapa buku. Pisang dan kopi susu itu pula yang menemani kami melahirkan media warga www.ytprayeh.com. Mereka juga yang setia mendampingi proses penulisan buku Sejarah Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara. Dan tampaknya, pisang goreng dan kopi susu tersebut akan terus bersama kami menghasilkan karya tulis dan kegiatan literasi lainnya, khusus untuk Kalimantan Utara.