Wisata

Hikayat Pisang Malinau di Hotel Bintang Lima Jakarta

Jumat, 12 Februari 2021, 11:22 WIB
Dibaca 647
Hikayat Pisang Malinau di Hotel Bintang Lima  Jakarta
Pisang Malinau di depan lift Hotel Pullman, Jakarta (Foto: Dodi Mawardi)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Dua pria matang yang terlihat di foto ini salah satunya adalah saya bersama penulis produktif Masri Sareb Putra, sedang adegan dalam foto ini diambil secara candid (diam-diam) oleh penulis gahar Dodi Mawardi.

Lalu, apa gerangan 9 bungkusan di depan kami berdua di depan lift lantai pamuncak Pullman Hotel itu?

Pisang!

Ya, pisang. Tapi bukan sembarang pisang. Ini pisang Malinau, Kalimantan Utara, yang sangat mahal harganya. Ya iyalah mahal, biaya cargo pesawatnya saja berapa? Sudah begitu, menginap di hotel bintang lima pula hahaha...

Tapi apalah artinya harga kalau teman-teman yang mendapat oleh-oleh pisang istimewa ini senang bukan kepalang. Demikian saya mengira-ngira pikiran Pak Yansen Tipa Padan yang berbaik hati membawa beberapa tandan pisang yang ditanam dari kebun di delta sungai di Malinau.

Saya dan pegiat literasi lainnya pernah singgah di delta berbentuk pulau di tengah sungai seluas 7 hektar saat kami berkunjung ke Malinau akhir Desember 2020 lalu. Adapun pohon pisang istimewa ini sangat tinggi dibanding pisang yang biasa tumbuh di belakang rumah saya dulu di Bintaro. Saya perkirakan perlu alat bantu semacam tangga untuk menebas tangkai buahnya.

Pisang ini pula yang selalu disajikan dalam bentuk pisang goreng saat saya berkunjung ke Malinau, baik di kantor bupati Malinau maupun kediaman pribadi Pak Yansen dan Ibu Ping Ding. Pisang goreng istimewa ini selalu tersaji. Apalagi "selingkuhan" pisang goreng bernama kopi susu Malinau selalu menemani saat berdiskusi soal kepenulisan dan literasi di Bang Abak.

Nah, jika dua sajian ini sudah berada di depan kami -maksud saya pisang goreng dan selingkuhannya- maka saat itu juga waktu berputar lebih lambat dari biasanya. The art of doing nothing pun berjalan di sela-sela diskusi. Tahu-tahu matahari sudah tergelincir di balik bukit dan listrik bertenaga panel surya sudah menyala. Nikmat mana lagi yang kau dustakan!

Bagaimana saya membayangkan nikmatnya pisang goreng Malinau ini? Sulit saya ungkapkan dengan kata-kata. Kalau saya menikmati kopi Aceh dengan menaburkan serbuk ranting pohon tertentu, nikmatnya lebih dari sekadar kopi Aceh biasa. Ada sedikit ekstase, begitulah rasanya.

Jadi, pisang goreng Malinau ini tanpa harus menaburkan serbuk apapun sudah enak dengan sendirinya, berbeda dengan pisang goreng yang biasa saya konsumsi.

Saya pernah menyampaikan hasrat ingin menanam pohon pisang ini di kebun sempit di Tasikmalaya, tapi Pak Yansen bilang pisang ini tidak akan tumbuh baik di luar ""habitat"-nya di delta pulau.

Alhasil, saya hanya bergantung pada kebaikan Pak Yansen saja yang selalu berkirim pisang mentahan, kendati harus dibawa serta menggunakan (cargo) pesawat dan didistribusikan lewat hotel berbintang di jantung kota Jakarta.

Kembali ke gambar di atas, tengah malam itu masing-masing kami bertiga mendapat tiga kantung besar pisang Malinau yang harus kami bawa turun ke lobi. Oleh-oleh yang luar biasa di saat orang-orang sudah terlelap dibuai mimpi, sementara kami baru saja mendapat rezeki.

Dengan rezeki yang melimpah ini, keesokan paginya 20 tetangga terdekat saya bisa sama-sama menikmati pisang istimewa ini dengan membuat pisang goreng masing-masing, sementara di rumah masih tersisa lebih dari cukup untuk saya dan keluarga konsumsi.

Kebaikan berbuah kebaikan namanya.

***