Hajoh dan Bohieng: Ritual Penyembuhan Dayak Hibun
Hancok|Foto Ilustrasi: Bartholomius Decky.
Dayak Hibun adalah salah satu subsuku Dayak yang mendiami wilayah Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Subsuku Dayak Hibun masih memegang erat budaya peninggalan nenek moyang. Walau pun sekarang pemerintah gencar mengampanyekan sarana kesehatan modern, mereka masih percaya dengan ritual penyembuhan tradisional, yaitu hajoh/ncotuk hajoh dan bohieng. Hal yang membedakannya, hajoh adalah ritual memanggil atau proses mengambil minu/mindu (semangat) bagi orang sakit. Pengobatan tradisional masyarakat tidak terlepas dari kepercayaan bahwa yang memberikan kesembuhan adalah kekuatan gaib (Gollin dalam Fadilah, 2015). Dalam pelaksanaan hajoh, ada sesajian dan ada mantra yang digunakan. Sedangkan, bohieng syaratnya lebih banyak, menggunakan mantra, dan ada tari-tarian.
Ritual Hajoh
Syarat utama dalam ritual hajoh, yaitu ayam selaki bini (jantan dan betina) dan selembar daun todoh sebagai media menggambar.
Dua buah mangkuk diisi dengan beras, telur, dan sebuah paku. Ada juga beras kuning dan dua botol tuak. Setelah persyaratan dinyatakan lengkap, tukang pomang mulai mengibas-ngibaskan ayam selaki bini ke arah tubuh orang yang sakit dan mengucapkan mantra (mendoakan). Sembari sesekali mencabut bulu ayam. Dalam pelaksanaannya, tukang pomang membuat boneka berbentuk badan manusia menggunakan tepung beras. Kemudian, boneka tersebut diberi kain putih. Jika yang sakit adalah perempuan maka diberi tapeh (sarung untuk mandi) atau jomuh (sarung batik) dan bojuh (baju). Jika yang sakit adalah laki-laki maka diberi bojuh dan sahawa (celana). Selanjutnya, gambar tersebut di-pomang (didoakan) dan akhirnya dibuang di belakang atau di samping rumah.Setelah itu, ritus ncahu atau memanggil minu: tukang pomang sebagai pemimpin ritual bertanya, “Jeh mondik ogotn minu odie?” ‘Semangatnya sudah datang belum?’. Orang yang hadir saat ritual wajib menjawab “Jeh. Minu jeh mondik tiang” ‘Sudah. Semangatnya sudah datang duluan’. Ritual hajoh ditutup dengan membagi dodouk yaitu membagikan potongan-potongan ayam selaki bini yang tadi digunakan untuk me-momang, kepada keluarga atau tetangga terdekat. Pembagian dodouk sebagai ucapan terima kasih karena sudah ikut serta dalam ritual hajoh. Sementara itu, si sakit yang di-hajoh tadi diberi gelang putih sebagai tanda harus berpantang selama dua hari.
Ritual Bohieng
Jika sesudah di-hajoh, tetapi yang sakit tak kunjung sembuh, biasanya keluarga memilih untuk melakukan ritual bohieng. Menurut suku Dayak Hibun, orang yang sudah lama sakit dan susah disembuhkan lantaran minu (semangatnya) diambil roh jahat (mut, sangun, kamang). Tujuan dari ritual penyembuhan ini adalah mengambil minu si penderita sakit, agar minu-nya kembali ke raganya.
Syarat bohieng lebih kompleks. Banyak sesajian sebagai persembahan. Syarat utama dalam ritual ini menggunakan seekor babi. Besar babi yang digunakan pun tidak sembarangan, harus sesuai permintaan imai (“teman gaib” dukun yang memimpin ritual). Biasanya juga menggunakan seekor anjing. Kemudian, memakai ayam selaki bini dan menggunakan alat musik berupa gendang dan gong untuk mengiringi tari-tarian. Ada juga pulut yang dimasak dalam tonok (bambu). Saat semua syarat sudah lengkap, tukang pomang mulai mengibas-ngibas ayam ke arah orang yang sakit sambil membaca mantra (berdoa). “Golek, dukah, tahuh, empak, himuh, ning, juh..........” sampai pada hitungan ke-7, bebohieng pun dimulai. Orang yang sakit dimandikan dengan kembang tujuh rupa. Bebas memilih hari untuk melaksanakan ritual ini. Saat ritual, seorang dukun (tukang pomang) yang memimpin ritual mampu berkomunikasi dengan makhluk halus. Selain seorang tukang pomang yang memimpin jalannya bebohieng, ritual ini harus memiliki nek bohieng, yaitu dukun perempuan sebagai medium berkomunikasi dengan Penompo (Tuhan).
Masyarakat (biasanya keluarga dan tetangga) dipanggil untuk ikut ritual. Laki-laki bertugas memotong babi sedangkan perempuan bertugas memasak dan menyajikan santapan untuk orang yang hadir. Di lain tempat, ada yang bermusik dengan membunyikan gong dan gendang sembari ada tari-tarian. Kemudian, acara memanggil minu, sama seperti hajoh di atas. Ritual ini ditutup dengan membagikan dodouk berupa daging babi yang tadi dipotong kepada orang yang bekerja mau pun yang hadir, sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu saat bebohieng berlangsung.
Makna Tarian dalam Ritual Bohieng
Menurut Febrin, et al (2002) dalam ritual bohieng terdapat makna dalam gerakan tariannya. Dalam ritual tersebut, terdapat tiga gerak yang memiliki peran penting, yaitu gerak bauh, gerak selonyai, dan gerak tohek. Dalam ritual bohieng, gerak bauh dan gerak selonyai memiliki maksud dan tujuan tersendiri. Gerak bauh mengandung makna pencarian minu dengan bauh sebagai perantaranya. Dengan menirukan gerak seperti burung, gerak bauh dipercaya akan menemukan minu yang mereka cari. Dalam gerak bauh, terdapat pola lantai lingkaran.
Menurut Soemardjo (2010: 249), dalam pola lantai lingkaran terdapat pola tiga yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Ini berarti, dalam gerakan bauh menandakan ada dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah yang saling berkaitan. Adanya dunia bawah dan hal-hal lain yang bisa membuat orang sakit. Kemudian, dunia tengah, yang meminta kesembuhan atas orang yang sakit. Tentunya semua itu ditujukan kepada Penompo agar mengabulkan permintaan manusia. Harapannya, orang yang sakit dapat sembuh dan minu orang yang sakit tersebut segera kembali ke raganya.
Selain ada tohek dan bauh, ada gerak selonyai yang berarti proses mencari minu orang yang sedang sakit. Kemudian dicari dan diambil. Makna garis vertikal yang menjadi pola lantai dari gerak selonyai ini diartikan bahwa ada hubungan surgawi. Menandakan besarnya harapan atas pencarian minu, agar segera cepat ditemukan dan kembali ke raga yang sakit.
****
Foto : Gelang Hajoh yang masih saya pakai.
Saya sendiri pernah di-hajoh. Di samping itu, saya juga tetap menggunakan obat medis. Keluarga kami masih memegang dan percaya kepada budaya Dayak. Salah satunya ritual penyembuhan hajoh. Karena itu, keluarga memanggil dukun yang “pandai” melihat penyakit metafisika ini. Saat itu, dukun menjelaskan bahwa saya di“ganggu” oleh mun’t (hantu penunggu hutan) dan ada imai (teman gaib dukun) yang mencoba mengajak saya berkomunikasi. Akan tetapi, saya tidak menanggapinya. Hal ini didapat, saat saya membantu bapak memanen sawit di lokasi yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya ingat, waktu itu saya lupa “permisi” dengan “mereka”.
Jika ada yang bertanya rasa sakitnya bagaimana. Rasa sakitnya (baca: penyakit metafisik) itu, mirip dengan demam tinggi. Pegal-pegalnya lebih parah, dari kepala hingga kaki sama semua rasa sakitnya. Dengan hajoh dan tetap mengkonsumsi obat dari dokter, saya sembuh. Sampai hari ini, saya masih menggunakan gelang putih yang diberikan oleh tukang pomang. Sering ada kalangan bukan-Dayak yang bertanya, “Itu gelang apa?”. Saya menjawab dengan sedikit candaan “Ini gelang kesehatan, kurang lebih seperti gelang magnet yang dulu pernah viral.”
****