Budaya

Tomuyok, Mengenal Sistem Perladangan Dayak Kancikgh (6)

Senin, 21 Juni 2021, 17:47 WIB
Dibaca 1.025
Tomuyok, Mengenal Sistem Perladangan Dayak Kancikgh (6)
Para Penugal dalam Tradisi Tomuyok Suku Dayak Kancikgh

Setelah dibakar dan dibersihkan, ladang kemudian siap untuk ditanami dengan padi dan berbagai jenis tanaman palawija lainnya. Pekerjaan menanam padi disebut “tomuyok” atau nugal. Walaupun ladang sudah bersih oleh pembakaran, ladang tersebut mesti harus dibiarkan paling tidak selama 3 atau 4 hari menunggu agar tanahnya kembali mendingin.

Sebelum ditanam, benih biasanya diberi makan dan ditimang atau didoakan oleh Sang Imam yang ditunjuk oleh pemilik ladang. Orang Kancikgh percaya bahwa padi memiliki roh yang mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu sebelum roh itu menghasilkan bulir padi yang dapat dipetik dan dimakan oleh manusia, maka roh itu harus diminta berlayar dulu untuk mengumpulkan zat tepung yang nantinya mengkristal jadi butir padi. Setelah enam bulan diharapkan roh itu kembali pulang dan mempersembahkan hasil berlayarnya kepada manusia. Saat itulah musim panen tiba. Agar roh padi tersebut memiliki keberanian dan upaya yang maksimal dalam pelayarannya maka sang pemilik ladang harus memberikan bekal, merawat jasad padi yang tumbuh, menjaga dan berpantang melakukan hal-hal atau perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan dihati Roh tersebut.

Pekerjaan tomuyok menurut tradisi Dayak Kancikgh selalu dilakukan secara bergotong-royong. Tujuannya adalah agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan dalam satu hari sehingga padi bisa tumbuh serempak dan merata.

Tradisi gotong royong tomuyok ini di kalangan Suku Dayak Kancikgh disebut “bobala.” Dilakukan oleh 15 sampai dengan 50 orang tergantung luas ladang dan jumlah warga yang diundang oleh peladang tuan rumah. Pekerjaan tomuyok terdiri dari dua macam kegiatan yaitu, 1) melubangi lahan (nugal); dan 2) menaburkan benih. Oleh karena itu para pekerja dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penugal dan kelompok penabur benih yang disebut “pomini.” Kelompok penugal biasanya adalah kaum laki-laki, sedangkan kelompok pomini biasanya adalah kaum perempuan. Perbandingan antara jumlah kelompok penugal dan kelompok pomini normalnya adalah 1:2, artinya jika jumlah penugalnya 5 orang maka jumlah pomini idealnya 10 orang.

Dalam melakukan penugalan, kelompok penugal dilengkapi dengan peralatan yang disebut “tugal," yaitu batang kayu tertentu sebesar pergelangan tangan yang pangkalnya diruncing sedemikian rupa sehingga mudah ditancapkan pada tanah. Agar menghasilkan lubang yang ideal (kedalaman 3 s.d 5 cm) kayu yang dipergunakan untuk tugal harusnya kayu yang keras dan lurus yang secara berkala harus diruncing. Demikian juga dengan konfigurasi lubang tugal, hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga posisi antara satu lubang dengan lubang lainnya berada pada jarak yang ideal (tidak rapat dan tidak juga jarang). Oleh karenanya, pekerjaan menugal membutuhkan orang-orang tertentu yang terampil dan cekatan. Tradisi menugal di kalangan Dayak Kancikgh, juga biasa menggunakan tugal bersambung yang disebut “tugal lasokng” yaitu tugal yang pangkalnya menggunakan kayu belian (ulin) kemudian disambung dengan kayu biasa untuk gagangnya. Setelah tidak dipakai, maka sambungan tersebut dapat dilepaskan, kemudian pangkal tugal disimpan untuk dipakai tahun depan.

Kelompok “pomini” adalah mereka yang bertugas menaburkan benih padi ke dalam lubang yang telah dibuat oleh kelompok penugal. Pekerjaan ini sebenarnya ringan, tapi memerlukan keterampilan dan fokus tingkat tinggi agar setiap butir benih yang ditabur harus masuk semuanya ke dalam lubang, sebab benih yang tercecer di luar lubang disamping tidak aman, juga tidak kuat akarnya tatkala bertumbuh. Kelompok pomini membawa perlengkapan berupa keranjang benih (bahasa Kancikgh: “kudo pomini”) yaitu tempat untuk membawa benih. Kudo pomini hendaknya bisa digendong atau diikat ke pinggang agar tidak terombang-ambing ketika dibawa berjalan dan gampang dijangkau oleh genggaman tangan.

Durasi pekerjaan dibagi menjadi dua babak yaitu babak pertama di pagi hari biasanya dimulai pukul 07.30 WIB berakhir pukul 11.00 WIB. Kemudian babak kedua dimulai pukul 13.30 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Pada babak pertama semua undangan harus ikut ke ladang bergotong royong tidak terkecuali, tua muda, laki-laki perempuan. Pada babak kedua siang hari, beberapa orang tua diminta oleh tuan rumah untuk tidak ikut ke ladang. Mereka dipilih dan diminta untuk menghadiri dan mengikuti ritual “pomaing” atau “kungkulakgh.

Baca juga: Nobakgh, Mengenal Sistem Peladangan Dayak Kancikgh (5)

Tujuan ritual pomaing atau kongkulakh adalah untuk mengucap syukur dan mendoakan agar benih yang telah ditabur hari ini dapat tumbuh dengan baik dan subur, dilimpahi dengan embun yang sejuk, dijauhi dari segala binatang yang dapat mencelakakan benih tersebut dan dilindungi dari bencana alam yang dapat memusnahkan benih.

Setelah semua bahan dipersiapkan, sang imam mengucapkan beberapa bait doa ponyompata memanggil dan memberi tahu "Roh Duata Potara" (Sang Pemilik Kuasa Tak Terbatas) bahwa pada hari ini mereka melakukan pekerjaan menugal dan mengadakan ritual kongkulakh. Setelah imam selesai melakukan ritual doa ponyompata, para tamu dipersilahkan untuk “nemula tuak” atau membaca doa minum tuak yang terdiri dari 3 bait doa.  Selanjutnya semua peserta, secara bergiliran diminta melafalkan bait pertama kongkulakh (semacam pantun kilat) khusus untuk ritual “tomuyok.”

 Ada 3 jenis kongkulakh yang biasa dilafalkan oleh para pomaing tomuyok tergantung waktu peladang tersebut melakukan kegiatan menugal, yaitu: 1) “Kokok Manonk Jawa” jika peladang lebih awal melaksanakan kegiatan menugal dibanding peladang lainnya; 2) “Ine’ Rioh Pogi Nyumpit” jika peladang menugal pada saat pertengahan musim menugal; dan 3) “Simal Kokati” jika peladang menugal belakangan dari peladang lainnya.

 Berikut contoh bait kongkulakh:

Bobelah nik ko soh, Kokok Manonk Jawa, torobang awatn-awatn, ngap nik pampakgh Komiao"

 atau 

"Bobelah nik ko soh, Ine’ Rioh Pogi Nyumpit, pogi nyumpit soh nyupet monok Ciao”.

Baik kata “komiao” (sejenis pohon jeruk purut, buahnya biasa digunakan oleh orang tua untuk mencuci dan mengobati rambut rontok) maupun kata “ciao” (burung tiung) merupakan kata sampiran yang dipilih oleh masing-masing peserta untuk menyampaikan isi dari dari pantun yang masih dirahasiakan. Ketika semuanya telah melafalkan bait pertama, maka pemilik ladang kembali mempersilahkan semua peserta untuk minum “pulang putn” atau kembali minum di tempayan yang telah terpasang alat sedotannya.

Setelah semuanya minum sesuai takaran, permainan kongkulakh pun dilanjutkan. Kali ini adalah mengucapkan lafalan secara lengkap dengan isinya.

Contoh lafalan yang lengkap dari bait di atas adalah sebagai berikut:

 “Bobelah nik ko soh, Kokok Manonk Jawa, torobang awatn-awatn, ngap nik pampakgh Komiao (sampiran)”, onu mo ami soh odeh boh Opak Abang (tuan rumah) cek monga bobala nyak nok mantao togalatn, dah cucol soh lalu ogotn sompat ngkolo tinik sikuk sigik nyak ngitokng noh. Bayo dukah toyoh onu nyuh soh cek-cek noh duduk, mangka noh kolanyor mae kolanyor cak nolansokh noh kale pomogi noh tumuyok onu nto. Bungi Bororah Tuyutok Bintakh Tiga soh nansa ko nyontok bini Kobiao (isi: nama padi) gik noh copat bolantakh, lalu timu rona sompuruna, runas bagas, tongkoju sik sogala ponyakit pomodeh, susot marot, layo songat nto a.”

atau

“Bobelah nik ko soh, Ine’ Rioh Pogi Nyumpit, pogi nyumpit soh nyupet monok Ciao (sampiran)”, onu mo ami soh odeh boh Opak Abang (tuan rumah) cek monga bobala nyak nok mantao togalatn, dah cucol soh lalu ogotn sompat ngkolo tinik sikuk sigik nyak ngitokng noh. Bayo dukah toyoh onu nyuh soh cek-cek noh duduk, mangka noh kolanyor mae kolanyor cak nolansokh noh kale pomogi noh tumuyok onu nto. Bungi Boraoh Ujatn di Langitn mangka’ ka Bukit soh nansa ko nota lantakh Kobiao (isi: nama padi) gik noh timu rona sompuruna, runas bagas, tongkoju sik sogala ponyakit pomodeh, susot marot, layo songat nto a.”

Makna dari permainan pantun adalah untuk menguji pengetahuan atau ingatan dari para pomaing tentang nama-nama padi (lokal) yang banyak ditanam oleh masyarakat pada saat itu. Untuk memilih sampiran (kata yang sebunyi dengan nama padi) pomaing harus memilih nama-nama pohon untuk kongkulakh jenis pertama dan nama-nama burung untuk kongkulakh jenis kedua. Untuk saat ini banyak sekali nama-nama padi lokal yang biasa ditanam oleh Masyarakat Dayak Kancikgh diantaranya adalah: kobiao, ibutn kasar, sontabatn, bolonsat, mangao, ratu burai, polomak kasar, polomak tompalikh, polomak ayakgh, polomak yonek dan lain-lain.

Mereka yang salah memilih kata, baik sampiran berupa nama pohon/burung atau isi berupa nama padi. Atau kedua kata tersebut tidak sebunyi (berakhiran sama) biasanya dikenakan sanksi “tambah minum”, yaitu disuruh minum tuak dengan takaran tertentu.

Ada dua jenis padi yang wajib ditanam dalam tradisi Dayak Kancikgh. Jenis yang pertama adalah “polomak” atau padi pulut yang kelak menghasilkan beras ketan. Jenis yang kedua adalah “podi makatn” yang kelak akan menghasilkan beras biasa untuk dimakan sehari-hari. Padi polomak juga memiliki beberapa ragam jenis yang dapat dibedakan berdasarkan ukuran atau model butirnya, atau berdasarkan warna berasnya. Paling tidak ada empat jenis polomak yang biasanya ditanam oleh Orang Dayak Kancikgh, yaitu: polomak kasar, polomak yonek, polomak tompalikh dan polomak ayakgh. Disebut polomak kasar karna ukuran butirnya relatif besar dari yang jenis lainnya. Demikian juga polomak yonek karena ukuran butirnya relatif kecil dari yang lainnya. Polomak tompalikh berwarna kemerahan, sedangkan polomakh ayakgh berwarna merah kecoklatan. Padi polomak biasanya lebih pendek umurnya atau lebih duluan masak buahnya dibanding padi biasa. Berasnya digunakan untuk membuat lemang, membuat tuak dan untuk penganan khusus pada hampir setiap acara adat.

Yang paling banyak ragam jenisnya adalah padi biasa, mulai dari Ibutn Kasar, Kobiao, Sontabatn, Ibutn Alus, Jotak, Bolonsat, Mangao, Ratu Burai, dan lain-lain. Penamaan berdasarkan karakteristik butir padinya dan atau asal-muasal benihnya. Podi Makatn atau padi biasa ditanam dalam jumlah dan proporsi yang relatif banyak dari Podi Polomak oleh karena merupakan bahan pangan yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Setiap keluarga memiliki jenis andalan masing-masing untuk ragam jenis Podi Makatn, tergantung kesukaan, serasi, dan pertimbangan lainnya.