Budaya

Perangkap Tupai Ala Dayak Simpang

Minggu, 23 Mei 2021, 22:23 WIB
Dibaca 1.557
Perangkap Tupai Ala Dayak Simpang

Ketika aku masih SD di belakang rumah kami ada sebidang kebun kopi. Pohon-pohon kopi yang tumbuh di situ begitu subur.  Menurut ayahku hal itu karena pohon-pohon kopi tersebut ditanam di bawah pepohonan besar. Pohon kopi memang subur kalau ditanam di tempat yang terlindung dari sinar matahari. Hal ini karena pohon kopi tidak tahan bila terkena sinar matahari secara langsung.

Setiap pagi aku mendengar bunyi binatang yang suaranya mencicit seperti tikus. Ketika kuamati ternyata binatang tersebut adalah rombongan tupai yang saling berkejar-kejaran. Mereka berebut makan buah kopi masak yang memang rasanya manis. Adanya tupai di kebun kopi belakang rumah kami kulaporkan kepada ayah. Ayahku berjanji akan membuat perangkap tupai untuk menangkap tupai-tupai tersebut. Dalam bahasa Simpang perangkap tupai tersebut bernama paling.

Sesuai dengan yang sudah dijanjikannya, suatu sore ayahku mengajak aku mencari bambu, kayu dan rotan untuk membuat perangkap tupai. Kami pergi ke kebun karet kami di Bang Nabo untuk mencari bahan-bahan yang kami perlukan tersebut. Di sana kami menebang 3 batang bambu sebesar pergelangan kaki orang dewasa, mengambil 3 batang kayu sebesar ibu jari kaki orang dewasa dan mengambil sebatang rotan. Bambu-bambu tersebut kami potong sepanjang kira-kira 3 meter. Ruas-ruas bambu tersebut kami bersihkan dan kami lubangi di bagian pangkalnya untuk mencatolkan kayu yang berfungsi sebagai pegas. Di bagian ujung lainnya kami satu lubang untuk menyangkutkan umpan. Kira-kira 3 jari (5 cm) dari tempat umpat dibuat sepasang luang untuk tempat tali rotan yang berfungsi sebagai penjerat. Kedua rotan tersebut dihubungkan dengan kayu yang berfungsi sebagai pegas. Umpan yang kami gunakan adalah buah tengkawang yang sudah dijemur atau disalai.

Tupai sangat suka makan buah tengkawang. Bila tidak sedang musim tengkawang, orang biasanya menggunakan daging kelapa tua sebagai umpan. Ada tiga perangkap tupai yang kami buat pada sore itu. Ketiga perangkap itu kami pasang di atas pohon kopi. Satu kami pasang di dekat belakang rumah kami, sedang dua lainnya kami pasang di tepi-tepi kebun kopi di pinggir sungai. Cara kerja perangkap tersebut adalah sebagai berikut: tupai datang dari pohon menuju pangkal bambu kemudian menuju umpan yang ada di ujung perangkap. Ujung perangkap dijauhkan dari pohon supaya tupai datang hanya dari pangkal perangkap. Ketika tupai memakan umpan, maka tali putus dan tali rotan menjerat badan tupai hingga tupai tidak bergerak. Begitulah cara kerja paling.

Keesokan harinya, pagi-pagi aku sudah bangun dan mengajak ayah melihat perangkap tupai yang sudah kami pasang. Kami pun menuju kebun kopi di belakang rumah kami. Ternyata dari 3 perangkap yang kami buat, ada dua perangkap yang mendapat tupai. Satu dari tupai itu masih hidup. Yang masih hidup diikat kaki-kakinya oleh ayahku karena nantinya akan dibuat kurungan. Sedangkan yang mati segera dibersihkan ibuku dengan dibakar bulu-bulunya dan dijadikan lauk.

Ketika sampai di rumah aku bertanya kepada ayah, mengapa perangkap kami yang satunya tidak berhasil menangkap tupai padahal umpannya habis dimakan tupai. Ayah menjelaskan bahwa tupai ini termasuk pandai. Ia tahu bahwa ada tali perangkap bila ia makan umpan dari arah pangkal bambu. Karena itu ia memang menuju umpan, tapi makan dari arah yang berlawanan sehingga ketika tali umpan putus, tali penjerat akan luput dan tidak menjerat badan tupai. Begitulah penjelasan ayahku. (***)