Jelajah Kaltara [8] Sop Tulang
Sesungguhnya menu unggulan warung makan Pak Husni ini adalah soto banjar dan sop buntut, tetapi makanan paling favorit yang selalu diingat pelanggannya adalah sop tulang.
What? Sop tulang? Tulang yang disop? Tulang apa yang disop? Apa enaknya tulang yang disop?
Nah, penasaran, kan?
Baiklah saya jelaskan. Warung makan ini berlokasi di Jalan Cendana. Wah, dekat dengan rumah Presiden Soeharto dong? Tenang, ini bukan Jalan Cendana di Jakarta Pusat, melainkan Jalan Cendana di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Warung Pak Husni ini -sesuai nama pemiliknya- menyediakan menu serba daging, daging ayam dan daging sapi. Soto banjar makanan lokal Kalimantan yang sudah menasional, misalnya, bahan utamanya daging ayam berikut kaldu ayam di dalamnya.
Rawon yang khas Surabaya, sudah umum. Meski berkuah hitam pekat, toh rasanya maknyus juga. Sop daging masih saudara sop banjar, bedanya bahan utamanya daging sapi. Sop buntut, juga tidak asing lagi. Tidak mungkin sop buntut bahan utamanya jeroan.
Sop tulang? Nah, ini yang masih perlu saya jelaskan.
Kalau Anda bersafari dari Tanjung Selor sebagai ibukota Kalimantan Utara ke Malinau melalui jalan darat, maka di beberapa ruas jalan akan tersua warung makan dengan menu sop tulang. Namanya jelas-jelas tertulis di bawah nama warung, seolah-olah sebagai penanda. Uniknya, di buku menu Pak Husni nama sop tulang tidak dicantumkan.
Sop tulang kalau di Jawa masih bersaudara dengan sop iga. Sebab, sebagian besar tulang belulangnya berasal dari tulang iga yang seperti rangka atau pagar itu.
Setiap potongan rangka melekat daging dan saat direbus di air panas, daging itu sudah sedikit lepas dari lekatannya, tinggal menculeknya menggunakan garpu, daging empuk itupun terlepas.
Tinggallah sisa tulang keras yang tentu saja tidak ikut dimakan. Tulang itu sudah menjadi residu, sementara dagingnya bakal menjadi penghuni perut.
Yang membuat saya dan teman-teman ketagihan, selain kuahnya yang gurih, kuah bening, juga dagangnya yang sudah diberi bumbu. Rahasianya tidak ada lemak yang turut dimasak sebagai kaldu, murni daging. Alhasil, seusai makan tidak ada gumpalan lemak menempel di bibir atau mengambang di atas kuahnya.
Sebagaimana masakan khas timur, potongan jeruk selalu tersedia. Saya sendiri karena suka yang asam-asam pedas gurih, tidak cukup sepotong jeruk yang saya campurkan, minimal dua. Rasanya? Ditambah dengan lombok tumbuk dan kuah gurih yang panas, semua sop yang pernah saya rasakan lewaaat...!!
Alhasil, sehabis berbuka di tempat lain, kami selalu bersantap di warung ini.
Adalah Pak Yansen Tp yang pertama kali mengajak kami para penulis ini makan pada hari pertama menginjakkan kaki di Tanjung Selor, 11 April 2021, kami sudah diperkenalkan warung makan Pak Husni ini meski saat itu hujan sedang turun dengan lebatnya. Kami yang omnivora langsung jatuh cinta.
"Bagaimana rasanya, cocokkah?" tanya wakil gubernur Kaltara itu. Saya pun mengangkat dua jempol tangan, "Maknyus, Pak."
Dua rekan lainnya, Masri Sareb Putra dan Dodi Mawardi mengamini. Belakangan bukan semakin bosen, malah semakin kangen. Seolah-olah tahu perasaan kami, Pak Yansen selalu memesan dua porsi dalam satu mangkuk besar untuk kami di hari-hari berikutnya.
Maka, tersajilah sup tulang di atas meja, di atas mangkuk besar yang siap kami santap, plus nasi putih yang mengepul panas.Apakah menu sebanyak itu mampu kami habiskan? Tentu saja tandas. Bahkan rasanya ingin nambah barang satu porsi lagi.
Tetapi saya lekas istigfar, sebab sebaiknya kita berhenti makan sebelum perut kenyang. Kalau nambah lagi padahal sudah menu dua porsi, kelihatan lapar dan kemaruknya.
(Bersambung)
***