Perintis Bukan Pewaris
Prook … ! terdengar suara hempasan telapak tangan seseorang di bahuku dari arah belakang. Seketika aku pun tersadar dari lamunanku.
“San, panas terik begini malah melamun sendirian, kesambet hantu kamu nanti”, ucap Darman sembari duduk disebelah Santoso.
Darman merupakan sahabat Santoso, mereka berdua telah lama menjalin pertemanan sejak kecil, hidup di kampung dengan segala keterbatasan akses maupun fasilitas membuat mereka berdua memberanikan diri untuk mengadu nasib di Ibukota.
“eh kamu ternyata man, aku kira siapa”, ucap Santoso sembari menoleh ke arah Darman.
“Kamu lagi ngelamunin apa San? sampai tidak mendengar aku memanggil dari seberang jalan”, ucap Darman.
“aku lagi mikirin keluargaku di kampung, Man”, ucap Santoso sembari tersenyum tipis dengan tatapan lesu.
Darman yang mendengar jawaban dari sahabat karibnya tersebut lantas langsung mencoba memberikan semangat. Ia pun lalu menepuk-nepuk pundak Santoso seraya berkata,
“Sabar San, kita ini sedang dalam proses berjuang untuk merubah hidup keluarga kita yang ada di kampung agar jauh lebih baik”.
“Iya Man”, ucap Santoso sembari mengganggukan kepalanya.
Beberapa menit telah berlalu tak terasa hari kian senja, Santoso dan Darman pun memutuskan untuk kembali ke kontrakan tempat tinggal mereka selama merantau di Ibukota.
Keesokan harinya …
Seperti biasa, Santoso dan Darman pergi bekerja, hari masih gelap, sinar surya masih malu-malu memancarkan cahaya kemilaunya. Ayam berkokok saling bersahut-sahutan, hiruk pikuk ibukota yang tak kenal jam tidur, seakan orang-orang dipaksa bekerja selama 24 jam non stop. Darman dan Santoso bekerja sebagai buruh bangunan.
Berprofesi sebagai seorang buruh bangunan bukanlah hal yang mudah dijalankan oleh Santoso, terlebih lagi ia jauh dari sanak keluarga yang dicintainya. Sebagai seorang buruh bangunan yang hanya digaji 35ribu per hari membuat Santoso harus hidup hemat di Ibukota. Hidup sebagai tulang punggung keluarga bukanlah suatu beban yang harus ia hindari melainkan harus dijalaninnya dengan ikhlas dan penuh tanggungjawab. Semenjak ayahnya meninggal 2 tahun yang lalu membuat Santoso harus menggantikan peran sang ayah dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Takdir bukanlah suatu hukuman baginya, bukan pula suatu nasib, melainkan hanyalah rencana Tuhan. Sering kali Santoso menyalahkan takdir hidupnya namun ia teringat akan ucapan mendiang sang ayahnya bahwa “tetaplah tersenyum dalam sebuah pekerjaan yang akan membuat kesempurnaan pada hasil yang dicapai, kegigihan dan semangat yang tidak pernah pudar akan terus berkibar tanpa mengenal arti lelah dan tiada alasan untuk mengeluh, tetap memperbaiki ibadah dan akhlak merupakan perkara yang wajib dan jangan seperti bagai pungguk merindukan bulan, mengkhayalkan sesuatu yang tidak mungkin karena apabila terjatuh akan sangat menyakitkan, berjalanlah dengan kakimu sendiri”. Petuah-petuah dari sang ayah masih membekas diingatan Santoso.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun yang kian berlalu, Sembari ia bekerja sebagai buruh bangunan, Santoso pun banyak belajar mulai dari menjadi buruh harian hingga menjadi pihak kedua dalam membantu developer mengembangkan perumahan. Bertemu dengan orang-orang yang berpengalaman menjadi sebuah kesempatan besar bagi Santoso, sedikit demi sedikit ilmu didapatkannya dari orang-orang tersebut. Santoso pun belajar berbisnis dari para developer dan perbankan hingga ia pun belajar memimpin para buruh.
Kini, sudah 10 tahun Santoso merantau di Ibukota. Akhirnya ia pun menjadi orang yang sukses berkat kegigihan dan kerja kerasnya. Santoso kini telah mampu untuk mensejahterakan kehidupan keluarganya di kampung halaman. Bahkan ia pun kini telah memiliki bisnis properti dan perumahan. Santoso bukanlah anak seorang konglomerat, bukan pula anak seorang pejabat. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Walaupun sekarang ia menjadi orang yang telah sukses di Ibukota. Namun, ia tidak menunjukkan kesombongannya. Ia tetap merendah di depan orang-orang. Ia pun masih tetap dengan penampilannya yang sederhana.