Buku Biografi Orang yang Berultah sebagai Hadiah yang Mengesankan
Banyak cara dilakukan bagaimana menyenangkan keluarga atau sahabat dekat yang tengah merayakan hadi jadinya. Bagi orang superkaya, menghadiahi ulang tahun sebuah mobil sport atau berlibur ke Waikiki, biasa dilakukan semudah menarik napas. Bagi keluarga sederhana, makan-makan di restoran yang lebih dari sekadar makan di rumah, juga umum dilakukan.
Alhasil, hadiah ulang tahun disesuaikan dengan kekuatan finansial, status sosial dan kehendak untuk menyenangkan keluarga atau sahabat dengan cara sederhana dan mudah dilakukan. Di Indonesia “hari jadi” biasa disebut hari ulang tahun, yang sesungguhnya bukan bermakna tahun yang berulang-ulang, melainkan sebagai hari penanda kelahiran. Bahasa Inggris menyebutnya “hari kelahiran” (birthday).
Bagaimana kalau pegiat literasi menghadiahi saudara, sahabat atau kerabat dekatnya yang berulang tahun? Dengan mobil atau dengan mengajak yang berulang tahun makan-makan di restoran? Bisa, dengan catatan, para penggiat literasi itu adalah manusia superkaya. Kalau mengajaknya makan-makan bisa juga, akan tetapi apakah itu akan meninggalkan kesan mendalam?
Baca Juga: Media Jurnalisme Warga dengan Semangat Kebangsaan
Karena para pegiat literasi umumnya “pekerja teks”, maka yang mereka hasilkan adalah kata. Dari satu kata lahirlah kata-kata. Dari sejumput kata-kata lahirlah rangkaian kalimat. Dari gugusan demi gugusan kalimat lahirlah bab. Satu teman melahirlan satu bab, jika sepuluh teman maka lahirlah satu buku.
Buku yang dimaksud adalah Yansen TP, Life Begins at 61, buku kolaboratif karya para sahabat Yansen Tipa Padan, bupati Malinau di periode yang kini menjadi wakil gubernur Kalimantan Utara, yang berulang tahun ke-61 pada 13 Januari 2021. Penyerahan buku bersampul biru (kalau Surat Bersampul Biru namanya judul lagu Uci Bing Selamet) dilakukan bertepatan dengan peluncuran situs web literasi YTPrayeh.com di Hotel Pullman, Jakarta, 12 Januari 2021 lalu.
Kami bertiga, sesungguhnya harap-harap cemas saat menghadiahi Pak Yansen, demikian kami memanggilnya, khawatir tidak berkenan dengan hadiah “yang tak seberapa” nilainya itu, tetapi perlu kiranya di sini saya kemukakan proses kreatif kepenulisan sampai buku itu hadir.
Ide datang saat kami berkunjung ke “kamp literasi” (literacy camp) di Batu Ruyud, Krayan, Kalimantan Utara, di mana di tempat yang saya gambarkan sebagai “surga bagi penulis” itu selama lima malam enam hari kami menulis tanpa terkoneksi dengan Internet.
Batu Ruyud adalah “rumah besar” (tidak berlebihan kalau saya menyebutnya kamp) di tengah hutan, dikeliling pepohonan tinggi berbatas langit nun jauh di depan sana, sawah yang menghampar dan peternakan alami berupa bukit-bukit kecil tempat segerombol kerbau hidup.
Dalam waktu total lima malam itu, kami berempat (Pepih Nugraha, Masri Sareb Putra, Dodi Mawardi dan Yansen Tipa Padan) ditambah satu orang Saptono Raharjo dari penerbit besar di Jakarta, benar-benar produktif sehingga bisa menghasilkan sedikitnya tiga buku yang kelak akan diterbitkan dalam waktu dekat.
Menulis dalam keheningan malam sampai dinihari jatuh, adalah pengalaman yang tak terlupakan dan akan terus membekas kendati waktu menuakan kami para pegiat literasi ini.
Selain menulis sebagai penanda proses kreatif, kami juga sering terlibat diskusi kebangsaan, peradaban baru dan budaya (karena kami berbeda latar belakang budaya dan bahkan agama). Kami melek, bertahan dari kantuk dan jika sudah “flow” menulis, segala rintangan dalam menulis itu menguap dengan sendirinya.
Baca Juga: Launching YTPrayeh.com, Energi bagi Penulis Pemula!
Di saat Pak Yansen tidak bergabung atau sedang tidak bersama kami itulah ide menulis buku, mencetak dan menerbitkan buku bertepatan dengan hari kelahiran Pak Yansen itu dibuat. Soal konten, tidak usah khawatir, kami bahkan bisa menulis 15 halaman perorang dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Kami menghitung banyaknya halaman yang dihasilkan, sebab kalau buku itu terlalu tipis, juga tidak elok. Maka selain kami pegiat literasi yang datang ke Batu Ruyud, maka secara diam-diam kami menghubungi para penulis yang punya kedekatan emosional dengan Pak Yansen.
Singkat cerita, kami bersepakat menulis satu buku “Catatan Para Sahabat” untuk Pak Yansen yang akan berulang tahun. Tinggal kami harus punya cara, bagaimana agar buku kami ini menjadi kejutan bagi yang menerimanya, syukur diterima pas saat hari ulang tahunnya.
Tadinya kami bersiasat akan mengirimkan sebanyak 50 eksemplar buku itu melalui angkutan udara atau dititipkan kepada orang dekat Pak Yansen yang biasa mengurus tiket kepergian kami ke Kalimantan.
Akan tetapi Tuhan punya rencana lain. Pak Yansen mengabarkan bahwa sekitar tanggal 9 hingga 13 Januari 2021 akan berada di Jakarta. “Rencananya sekalian meluncurkan website YTPrayeh.com,” katanya. Wah, kebetulan! Kami pun kemudian bersiasat semakin mematangkan recana membuat kejutan buat Pak Yansen melalui hadiah buku tentang dirinya sendiri (biografi).
Hari penentuan itu tiba saat peluncuran situs web literasi itu. Setelah moderator sekaligus “MC” Glory Ojong mengumumkan adanya kejutan itu di akhir acara, kami pun menyerahkan lima eksemplar buku bersampul keras (hard cover) kepada Pak Yansen. Kami berpikir, kesan Pak Yansen biasa-biasa saja saat menerima buku.
Baca Juga: Jejak Peradaban Menulis di Tatar Sunda (1): Kai Raga, Penulis Top Zaman Padjadjaran
Akan tetapi saat mengetahui bahwa buku itu berisi biografinya sendiri yang ditulis para kerabat, mulailah senyum di wajahnya berkembang. Ia tidak bisa berkata-kata lagi, hanya memandang kami di podium. Kemudian saya mewakili teman lain inisiatif beratanya apakah Pak Yansen tidak berkeberatan sekiranya kami memberikan juga buku ini sebagai cendera mata kepada tamu undangan yang hadir di ruangan itu.
“Silakan saja,” jawab Pak Yansen. “Kalau teman-teman sendiri yang menulisnya, tidak ada lagi keraguan dalam diri saya.” Plong!
Tidak ada yang lebih membahagiakan kami sebagai pegiat literasi bahwa sebuah karya tulis dalam bentuk buku bisa diterima baik. Indikasi buku yang kami tulis dapat diterima dan menyenangkan hati Pak Yansen dengan dicetak-ulangnya buku itu sebanyak 100 eksemplar dalam waktu hitungan jam saja, buku untuk diberikan Pak Yansen kepada keluarga dekatnya saat merayakan ulang tahun di Malinau.
Sesungguhnya, MURI atau museum rekor Indonesia harus mencatat rekor kami para pegiat literasi YTP sebagai buku yang paling cepat dicetak-ulang dan buku hasil cetak ulang itu terbit beberapa jam setelah peluncuran.
***