Jejak Peradaban Menulis di Tatar Sunda (1): Kai Raga, Penulis Top Zaman Padjadjaran
Hati ini berdebar cukup keras ketika menatap pemandangan di depan sana. Sebuah gunung tinggi menjulang berbentuk segitiga sama kaki. Sekilas seperti bentuk nasi tumpeng terbalik. Tengah-tengahnya tertutup awan. Kaki dan tubuhnya tak tampak, namun puncaknya terlihat sangat jelas kebiruan menusuk langit. Gunung itu menunjukkan kegagahannya dan mungkin bersuara lantang jika dapat berbicara. Dia seolah memanggilku untuk menguak misteri di dalamnya. Saya begitu yakin, gunung ini punya kisah.
Kunjungan singkat kami sekeluarga ke Garut Jawa Barat di penghujung 2020 ternyata punya makna mendalam. Selain kebahagiaan bagi kami sekeluarga, juga menyembulkan semangat berbeda untuk menuliskannya. Gunung yang saya saksikan dan seolah memanggil itu bernama Larang Srimanganti. Sebuah nama kuno untuk gunung Cikuray, yang terletak di bagian selatan kota Garut. Kota istimewa karena berada di tengah-tengah riung (kumpulan) gunung. Tak kurang dari 10 gunung yang mengelilingi kota itu dengan ketinggian bervariasi antara 1.800 meter – 2.821 meter di atas permukaan laut. Tak salah jika Garut sering dijuluki sebagai Swiss-nya Jawa.
Baca Juga: Racun itu Bernama Televisi
Setelah menelisik pustaka, ternyata Gunung Larang Srimanganti itu menyimpan kisah luar biasa berkaitan dengan budaya menulis di Tatar Sunda. Konon di lereng gunung itu, bermukim seorang penulis hebat pada masanya, pada era Kerajaan Padjadjaran (abad 12 – 16 M). Benarlah kata para pujangga dan bijak cendekia, “Ucapan ditelan angin, tulisan akan abadi.” Karya-karya Kai Raga masih bisa kita baca hingga saat ini. Naskahnya masih tersimpan di beberapa museum termasuk di Kasepuhan Ciburuy Garut dan tentu saja di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Jika Kai Raga hidup pada masa modern ini, mungkin karya-karyanya akan terpampang di toko buku Gramedia. Sejarah mencatat terdapat enam karya Kai Raga yang dituliskan pada helai daun lontar. Berlembar-lembar. Berderet-deret kalimat Sunda kuno tersusun rapi yang mengisahkan cerita pada zamannya. Ada kisah tentang ‘Carita Ratu Pakuan’, “Carita Purnawijaya’, ‘Kawih Peningkes’, dan ‘Darmajati’. Bahkan Kai Raga juga menulis “Wirid Nur Muhammad’ dan ‘Gambaran Kosmologi Sunda’.
Kosmologi adalah cabang dari ilmu astronomi yang mempelajari alam semesta, asal usul, dan hubungan antar anggota jagat raya. Kai Raga menulis dalam sudut pandang religi.
Cerita tentang Kai Raga pertama kali diungkap oleh Raden Saleh Syarif Bustaman, pelukis hebat Indonesia pada masa penjajahan Belanda, pada 1865. Kisah tersebut sampai kepada peneliti asal Belanda, C.M. Pleyte yang kemudian menelusuri peninggalannya. Penemuan Pleyte dan karya tulisnya tentang manuskrip kuno di Jawa, termasuk yang paling masyhur dan lengkap. Pleyte bekerja di sebuah museum di Belanda, meskipun akhirnya di menetap di Indonesia dan lama menjadi pengajar di sekolah di Batavia.
Ah, siapa tahu memang ruh Kai Raga yang memanggil-manggil namaku ketika saya melihat gunung Cikuray dari kejauhan itu. Energinya begitu kuat menarik saya untuk menelisik gunung tertinggi keempat di Jawa Barat tersebut. Energi dan frekuensi yang sama untuk penulis berbeda zaman. Sampai-sampai terpikir untuk menjadikan Cikuray dan Garut sebagai tempat ‘pertapaan’ berikutnya manakala menuntaskan beberapa naskah buku.
Baca Juga: Media Jurnalisme Warga dengan Semangat Kebangsaan
Sebelum ke Garut, pada waktu berada di Dataran Tinggi Krayan, saya berdiskusi dengan Pepih Nugraha untuk membangun Penerbit Lembaga Literasi Sunda. Terinspirasi dati penulis senior Masri Sareb Putra, yang sudah lebih dulu berkibar dengan bendera Penerbit Lembaga Literasi Dayak. Ia memang orang Dayak, subsuku Bidayuh di Kalimantan Barat.
Kang Pepih orang Ciawi Tasikmalaya, tak jauh dari Kawali (sekitar Ciamis) ibukota Padjadjaran pada awal berdirinya. Saya tinggal lama di Ciawi Bogor, lokasi Pakuan ibukota Padjadjaran berikutnya. Dengan ilmu cocokologi ala Jaya Suprana, tentu paslah jika kami berdua mendirikan Lembaga Literasi Sunda itu. Perjalanan ke Garut setelah dari Krayan bukan suatu kebetulan. Mungkin saya memang ‘sengaja’ dipanggil oleh Kai Raga untuk mendatangi tempatnya tetirah merangkai kata dan makna di lereng Gunung Cikuray alias Larang Srimanganti.
“Kaki bukit di Dataran Tinggi Krayan kamu datangi. Di sini yang lebih dekat malah belum…” kira-kira begitu katanya.
(Bersambung)