Sosok

PF Bantang: Guru (dan Politisi) Awal Dayak Ketapang

Senin, 17 Mei 2021, 09:31 WIB
Dibaca 1.191
PF Bantang: Guru (dan Politisi) Awal Dayak Ketapang
Sekolah Rakyat (Volkschool) Serengkah, tempat Guru Bantang mengajar.

Selalu saja ada orang yang muncul pada masanya. Dan mempunyai visi yang jauh ke depan untuk kemajuan kaumnya. Termasuk juga dalam kelompok masyarakat Dayak (Kabupaten) Ketapang. Jalan yang mereka tempuh adalah menjadi pelopor awal masyarakat Dayak pedalaman di bidang pendidikan.

Pendidikan, dalam pandangan mereka, inilah jalan yang akan membawa masyarakat Dayak untuk terlibat dalam berbagai bidang hidup berbangsa. Sama seperti kaum lainnya. Jalan pendidikan bisa membuka jalan partisipasi lain. Jalan politik  dan jalan ekonimi misalnya. Berikut catatan saya terhadap PF Bantang, guru dan politisi awal Dayak Ketapang.

***

Pedalaman Ketapang di Kalimantan Barat tahun 1911. Saat itu masih dikenal sebagai daerah Matan. Pada tanggal 23 Maret sampai 2 April ditahun 1911, seorang imam atau pastor Katolik dari Belanda, Pastor Pasifikus Bos OFM Cap mengunjungi Ketapang. Ketapang saat itu adalah daerah misi  yang termasuk dalam Prefektur Apostolik Borneo yang didirikan pada 18 Februari 1905. Pastor Bos sendiri adalah prefeknya. Hanya ada puluhan umat Katolik saat itu. Orang-orang Tionghoa pesisir.

Tahun 1917, Pastor Pasifikus Bos berkunjung kembali ke Ketapang. Kali ini, imam dari Ordo Kapusin tersebut menjelajah  ke pedalaman. Ia pergi ke Kampung Serengkah. Ia berjalan bermalam-malam ke kampung itu, karena berdasar informasi dari Pedagang Tan A Hak, ada banyak orang Dayak kampung itu yang ingin mengenal agama Katolik. Di Kampung Serengkah, Pastor Bos diterima oleh Domong Punduhan Pesaguan Sekayok Mas Gomalo Moerial.

Di akhir perjalanan misi ini, Gemalo Moerial dibaptis secara Katolik. Ia orang pertama yang dibaptis menjadi Katolik di tanah pehuluan Dayak Ketapang.

Tahun 1918, sebuah sekolah desa atau volkschool  3 tahun berdiri di Laman Serengkah. Gedungnya bertiang kayu bulat, berdinding kulit kayu, serta beratap daun ilalang. Sekolah telah berdiri, murid datang dari berbagai kampung sekitar. Permasalahannya adalah, bagaimana kelangsungan sekolah ini ke depan? Siapa yang akan meneruskan menjadi gurunya? Adakah pemuda setempat yang mau menjadi guru?

Pedalaman Kalimantan ditahun-tahun itu, tidak banyaklah anak-anak kampung yang berani menantang dunia luar. Tapi, orang-orang tua, demong (pemimpin) kampung, melihat bahwa pendidikan suatu yang sangat penting. Dan bermufakatlah mereka. Dari hasil permufakatan, ada dua orang anak keturunan demung kampung Serengkah yang bersedia di sekolahkan. Dua orang yang berani meninggalkan kampungnya untuk sekolah guru adalah Bantang bin Bajir  serta Pakit bin Lebit. Mereka akan dikirim bersekolah di Sejiram (Kapuas Hulu) untuk waktu tiga tahun. Kelak, ketika menyelesaikan pendidikannya mereka ini akan kembali mengajar di kampung halamannya: Serengkah. (Dalam perkembangan berikutnya, hanya Bantang yang terus melanjutkan pendidikannya).

Malam Natal, 24 Desember 1919 di Sejiram, Bantang dipermandikan dengan nama baptis Pacifikus Fransiskus. Kini nama lengkapnya: Pacifikus Fransiskus Bantang. Atau serig ditulis sebagai PF Bantang. Ia menyelesaikan studinya tahun 1923. Tetapi ia belum langsung kembali ke Serengkah.

Pengalaman mengajar diberikan kepadanya, yakni mengajar dan menjadi kepala sekolah misi di Pajintan, Singkawang.

Tahun 1926, guru Pacifikus Fransiskus (PF) Bantang pindah menjadi guru Kepala Volkschool di Serengkah sekaligus merangkap sebagai guru Agama Katolik. Genaplah cita-cita para tetua kampung, ia yang dikirim belajar menjadi guru nun jauh di Sejiram kini kembali ke kampung halamannya Serengkah. Mendidik anak-anak Dayak yang datang dari berbagai kampung dan dahas (wilayah kampung kecil bekas perladangan) di sekitar Serengkah.

* *

Dalam situasi perang dan peralihan kekuasaan, tahun 1942 Guru Bantang dipindahkan ke Ketapang. Mengajar di sebuah Sekolah Rakjat di kota pesisir itu. Penjajahan Jepang muncul, dan ia dipindahkan kembali ke Serengkah menjadi Guru Kepala HKG Serengkah Kyodo IV.

Selama di Serengkah, sejak awal datangnya dari lulus sekolah guru, Guru Bantang juga mengajar agama Katolik. Ia berkeliling kampung ke kampung. Dan atas jasa-jasanya tersebut, Paus Pius XII dari Vatikan menganugerahkan kepadanya Bintang Pro Ecclesia et Pontifice. Di Serengkah, 12 Juli 1948, ditulis dalam sebuah buku: Keramaian meriah di Serengkah, merayakan pesta kesetiaan Guru Bantang telah 25 tahun setia menjadi guru Misi. Bantang dihormati dengan bintang Pro Eclesia Et Pontifice.

Jalan pengabdian Guru Bantang kemudian tidak hanya bergerak di bidang pendidikan di kampungnya, pedalaman. Sebagai orang berpendidikan di masanya, ia dipanggil menjalankan tugas yang lebih besar. Tahun 1948, PF Bantang diangkat menjadi anggota Dewan Pemerintahan Kalimantan Barat. Di tingkat lokal Ketapang, ia juga diangkat sebagai asisten Demang dan Kepala Urusan Dayak Ketapang.

Jalan politik adalah salah satu pilihan saat itu untuk kemajuan dan partisipasi masyarakat Dayak di masa Republik yang masih sangat muda. Di Ketapang, sebagai orang yang menjadi kepala urusan Dayak, Bantang membentuk kepengurusan Partai Dayak. Ia menjadi pendiri dan kemudian diangkat sebagai ketua Partai Dayak (PD) selama periode 1950-1959. Tahun 1957, dalam masa jabatannya sebagai Ketua Partai Dayak, Bantang ditunjuk menjadi asisten Wedana Sukadana (Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat saat ini). Ia menjadi wedana Sukadana sampai pensiun ditahun 1959.

Di tahun 1959 ini juga, PF Bantang diangkat menjadi Wakil Ketua DPRD-GR Ketapang. Di masa pensiunnya, Bantang menjadi Direktur di CV Danau Purun yang bergerak dalam bisnis ekspor damar, rotan dan hasil hutan lainnya ke Singapura. Nyatalah, pendidikan telah memberikan kepadanya jalan pengabdian dalam berbagai bidang: pendidikan, keagamaan, politik dan juga ekonomi.

Pacifikus Fransiskus Bantang, guru dan politisi awal Dayak di Kabupaten Ketapang meninggal dunia di Serengkah pada 30-09-1987. (*)