Teras Narang, Hidup Dayak, Hidup Dayak!
Bilangan The Plaza Semanggi, Jl. Jend. Sudirman No.50, Jakarta Pusat, suatu petang.
Kalender waktu itu bertahun 2012. Saya mahasiswa Pascasarjana Jurusan Media Studies, yang berkampus di salah satu gedung pencakar langit Semanggi. Cukup dekat dengan Prof. Tjipta Lesmana, saya bertanya, sebab mendengar ada perbincangan. Semacam diskusi terbuka di ruang sebelah.
Tidak ada yang instan, kalau mau "berisi". Yang instan itu hanyalah: indomie. Bahkan, untuk makan indomie instan pun harus bekerja. Sudah tersaji, masih perlu bekerja lagi, memasukkannya ke mulut. Itulah homo faber, manusia yang-bekerja. Dan Teras Narang, tokoh kita ini, seorang pekerja yang ulet. Yang ingin menjalani proses baik dengan hasil yang baik pula.
"O... itu Gubernur Kalimantan Tengah. Orang Dayak juga, seperti Anda. Sedang kuliah, ambil Doktor Hukum. Hebat dia, pintar dia!" kata Prof. Tjipta Lesmana.
Saya hanya diam. Saya mafhum. Teras Narang benar-benar sekolah. Ia menempuh dan menjalani semua proses perkuliahan reguler, seperti saya. Tidak ada yang instan, kalau mau "berisi". Yang instan itu hanyalah: indomie.
Dan teras Teras pun penuh dengan isi ilmu (teras =bagian depan rumah, sebelum masuk pintu; tanah atau lantai yang agak ketinggian di depan rumah). Menurut keterangan Dr. Marko Mahin, antropolog lulusan UI yang mengenal budaya Ngaju, "Dalam bahasa Dayak Ngaju, teras itu berarti bagian inti batang kayu, bagian paling alot, kuat atau terkeras. Juga bisa berarti bagian utama, inti, pusat atau sentrum".
Apa pun itu, "teras" bagus adanya. Bangun-rumah Teras sarat dengan ilmu hukum, yang dikaitkan dengan Otonomi Daerah dalam bingkai NKRI. Suatu teori uiversal, dengan novelty sudut pandang masalah lokal. Benarlah, ilmu punya sisi pragmatis. Bahwa ia berguna untuk kemasalahatan umat manusia. Itulah pilihannya!
Di akhir perkuliahan, Agustin Teras Narang dinobatkan sebagai wisudawan terbaik Universitas Pelita Harapan (UPH). Sekaligus, peraih nilai tertinggi dengan Indeks Prestasi Kumulatif nyaris mentok horizon langit: 3.99. Disertasinya berjudul "Titik Berat Otonomi Daerah Pada Tingkat Provinsi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menjadikan Narang adalah Doktor Hukum ke-22 dari 24 lulusan Program Doktor Hukum UPH yang diwisuda pada 11 Juni 2016.
Agustin Teras Narang dilahirkan di Banjarmasin pada 12 Oktober 1955. Pendidikan dasar hingga menengah dijalaninya di Banjarmasin. Narang bahkan pernah dididik di SMP Bruder, Banjarmasin.
Rekam-jejaknya sebagai politisian, terbilang "wah"!
Demikian pula, kiprahnya bagi kemajuan dan peradaban suku bangsa Dayak. Di zaman dia sebagai Presiden Adat Dayak Nasional (MADN), diadakan sidang pengadilan adat atas seorang tokoh besar negeri ini. Sidang pertama secara internasional-adat Dayak itu diadakan di jantung bumi Tambun Bungai.
Dalam bahasa Dayak Ngaju, teras itu berarti bagian inti batang kayu, bagian paling alot, kuat atau terkeras. Juga bisa bearti bagian utama, inti, pusat atau sentrum.
Dikenal sebagai politisi yang cerdas, Narang lolos sebagai wakil rakyat mewakili Kalteng pada Pemilu yang dipercepat tahun 1999 dengan menumpang perahu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Periode 2004-2009 pun Narang masih lolos lagi.
Di DPRRI, posisinya cukup strategis. Narang duduk di "kursi basah", yakni Komisi Anggaran. Komisi yang diincar setiap wakil rakyat karena memang sangat menjanjikan. Akan tetapi, karena merasa tidak tahan bergolak dengan hati nuraninya sendiri, serta permainan gila-gilaan dalam upaya memperoleh tambahan anggaran untuk berbagai kepentingan, Narang pun melepas kursi basah itu dengan pilihan sadar. Ia kemudian memangku jabatan sebagai pimpinan Komisi II, kemudian Komisi III DPRRI.
Hal yang menarik, Narang terpanggil secara lebih nyata membangun daerah dan kembali ke ranah leluhurnya. Ia mencalonkan diri menjadi Gubernur Kalteng. Keputusan ini sempat menjadi bahan olok-olok teman-temannya karena Narang seperti melepas rajawali di tangan untuk nenangkap pipit yang tak berharga di belantara Borneo.Pada Pilkada langsung pemilihan gubernur Kalteng tahun 2005, Narang terpilih menjadi gubernur dengan suara meyakinkan.
Selain sebagai politisi andal, Narang juga seorang pemimpin Dayak tulen. Memangku jabatan sebagai Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), banyak kasus besar berhasil dimediasinya secara damai, tanpa merugikan dan mencederai orang Dayak. Bahkan, dalam beberapa kasus dengan pihak luar yang dimediasinya, Narang terkesan tidak bisa tidak berpihak pada etnisnya.
Agustin Teras Narang dinobatkan sebagai wisudawan terbaik Universitas Pelita Harapan (UPH). Sekaligus peraih nilai tertinggi dengan Indeks Prestasi 3.99. Disertasinya "Titik Berat Otonomi Daerah Pada Tingkat Provinsi Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Narang sepertinya siap pasang badan dalam keadaan apa pun demi membela etnisnya dan menegakkan kepantasan sebagai sebuah bangsa yang beradab dan saling menghormati.
Seperti menampik tudingan yang menuduh dirinya “jago kandang”, setiap kali pekan budaya di Jakarta, Narang tak pernah alpa.
Narang tercatat membuka karnaval spektakuler yang melibatkan hampir lima ribu masyarakat adat Dayak di Kalimantan pada perhelatan budaya yang diberi nama “Art Dayak Carnaval” di Istora Bung Karno.
Karnaval itu sendiri ditonton ribuan orang di ibukota. Disertai decak kagum, meski peserta harus berjalan kaki tiga kilometer.
Hal yang membanggakan, sekaligus mengharukan, peserta karnaval disambut antusias penonton dengan yel yel,
“Hidup Dayak, hidup Dayak!”
***