Ping Ding
Dalam sebuah resepsi resmi yang dihadiri para pejabat dan tamu undangan penting, seorang bupati berjalan menuju meja makan diiringi para pejabat lain dari belakang. Saat berjalan, lumrah tangan pejabat setingkat bupati digamit oleh seorang istri yang berjalan berdampingan mengiringi.
Celakanya, entah kekalutan apa yang terjadi saat itu. Perempuan yang menggamit lengan bupati itu bukanlah istrinya, sedang istri bupati berjalan di belakang tentu dengan rasa heran yang luar biasa.
Anehnya, sang istri bupati tersebut tidak protes atau merebut lengan bupati yang sedang digamit oleh perempuan itu.
Baru kemudian perempuan yang tidak lain adalah salah satu istri pejabat atau undangan lainnya itu menyadari kekeliruannya. Ia lekas-lekas melepaskan lengan bupati yang digamitnya disertai permohonan maaf dan tentu saja wajah yang merona merah.
Anehnya lagi, sang bupati tidak menyadari kalau yang menggamitnya adalah perempuan lain yang bukan istrinya.
Ini peristiwa nyata yang sesungguhnya agak sensitif, yang diceritakan usai makan malam bersama Bupati Malinau Yansen Tipa Padan dan istrinya, Ibu Ping Ding, di kediaman mereka di Malinau, 26 Desember 2020.
Namun, sesensitif apapun cerita itu, suami-istri ini yang sangat harmonis ini menceritakan pengalaman nyatanya itu dengan mengalir, sambil tertawa-tawa di meja makan seraya menyeruput kopi susu paling lezat di dunia.
Bupati yang dimaksud dalam cerita di atas tidak lain Pak Yansen –demikian kami pegiat literasi memanggilnya- sendiri, sedangkan perempuan yang terbengong-bengong tetapi tidak melancarkan protes saat tangan suaminya digamit perempuan lain itu adalah Ibu Ping Ding. Kami memanggilnya Ibu Ping saja.
Di meja makan itu kami larut dan hanyut dalam gelak tawa yang seperti tanpa putus-putusnya mengingat yang dikisahkan Ibu Ping adalah kisah nyata, pengalamannya sendiri, yang belum tentu diceritakan kepada orang lain.
Kami bertanya kepada Pak Yansen, bagaimana perasaan saat itu, saat perempuan lain yang bukan Ibu Ping menggamit lengannya.
Kemudian apa jawaban Pak Yansen?
“Ya, seperti ada yang beda saja, rasanya kok lain!”
Kamipun tertawa, termasuk Ibu Ping sendiri yang mungkin kaget suaminya akan berterus terang seperti itu.
Demikianlah kebersamaan kami, para pegiat literasi, saat berada di Malinau, menginap di kediaman bupati selama beberapa malam selepas berkegiatan di “Kamp Literasi” Batu Ruyud di Krayan Tengah, Kabupaten Nunukan. Makan malam menjadi media paling efektif untuk ramah-tamah, sehingga kami cepat akrab dengan pasangan suami-istri yang dikurania dua putra dan dua putri ini.
Sebagai seorang istri, perempuan kelahiran 9 Maret 50 tahun lalu itu termasuk golongan perempuan yang paham berbagi suka maupun duka. Kebersamaan adalah kunci utamanya. Istri nunut (ikut) suami ternyata bukan falsafah milik perempuan Jawa, melainkan juga perempuan Dayak Kayan seperti Ibu Ping ini.
Salah satu ujud kebersamaan itu ia buktikan saat harus mendamping Pak Yansen yang “blusukan” kampanye ke berbagai sudut wilayah, dari desa ke desa, dari hutan ke hutan, saat Pilkada 2020 lalu. Saat itu Ibu Ping Ding mendorong sang suami yang menjadi bakal calon wakil gubernur Kalimantan Utara, mendampingi calon gubernur Zainal Arifin Paliwang.
Tentu saja komitmen Ibu Ping Ding sebagai seorang istri tidak sekadar saat kampanye saja, melainkan sudah ia lakukan sejak suaminya mulai meniti karir sebagai ASN, birokrat, camat, bupati, sampai pimpinan teras partai politik di partai yang membesarkannya, yaitu Partai Demokrat.
Baca Juga: Yansen Tipa Padan, “Outliers” dari Kaltara
Pak Yansen sendiri tidak pernah menapikan kesetiaan yang diberikan seorang istri seperti Ibu Ping ini. Ia jarang memuji istrinya secara terbuka di depan publik, hanya dalam beberapa kali kampanye pujian itu tak urung terlempar juga...
“Yang saya hormati, yang terkasih istri tersayang, Ibu Ping Ding yang setia mendampingi (kampanye) saya selama hampir dua bulan ini,” demikian ungkap Pak Yansen di depan warga saat berkampanye di suatu wilayah, yang sempat terekam oleh media massa.
Pak Yansen pada kesempatan itu mengaku bangga dengan istrinya yang setia mendampingi di mana pun ia bertugas, mulai dari awal karirnya sebagai camat di beberpa tempat hingga menjadi bupati Malinau dua periode.
“Kadang-kadang pekerjaan berat, kadang ringan, itulah pentingnya kita punya istri yang setia. Walaupun dalam suka duka, capek, mengantuk, dari pagi duduk saja di samping saya, tapi saya yang tambah semangat,” kata Pak Yansen disambut senyum manis sang istri, sebagaimana digambarkan sebuah media online di Kaltara.
Saya sendiri dalam kesempatan makan malam lainnya bertanya langsung kepada Ibu Ding apakah akan ikut mendampingi suami yang bertugas di Ibukota Kaltara, Tanjung Selor, sebagai wakil gubernur terpilih atau tetap tinggal di Malinau.
Ia menjawab secara diplomatis, bahwa jarak Tanjung Selor dengan Malinau tidaklah terlalu jauh. Ada pesawat reguler dan dengan kendaraan roda empat pun waktu tempuh cukup empat hingga lima, yang berarti tidak terlalu jauh dan lama.
“Soalnya di Malinau ini juga saya harus bertanggung jawab kepada konstituen sebagai anggota Dewan,” jawab Ibu Ping yang merupakan kader Demokrat tulen. “Mungkin saya tidak akan menetap di Tanjung Selor,” katanya kemudian.
Sebagai aktivis partai, Ibu Ping adalah Wakil Ketua DPC di Kabupaten Malinau. Di DPRD menjabat Ketua Fraksi Demokrat selama dua periode dengan peraih suara terbanyak. Sedangkan di Di DPD Provinsi Kaltara ia didapuk sebagai Ketua Bidang Peranan Perempuan.
Rabu, 3 Februari 2021 hari ini, Ibu Ping dilantik sebagai Ketua DPRD Kabupaten Malinau.
Demikianlah, seolah-olah ia mampu membaca sasmita semesta atas keputusannya untuk tetap mengabdi kepada konstituen yang telah memilihnya. Bahkan para anggota Dewan itu bersepakat mendapuknya sebagai Ketua DPRD, yang praktis menjadi Ketua DPRD perempuan pertama sepanjang sejarah berdirinya kabupaten ini.
Selamat, Ibu Ping! Kami kangen mendengar cerita Ibu Ping lagi.
***