Sosok

Catatan Guru Daerah Terpencil [2] Mengapa Saya Menulis dan Membukukan Folklor

Jumat, 22 Januari 2021, 07:58 WIB
Dibaca 444
Catatan Guru Daerah Terpencil [2] Mengapa Saya Menulis dan Membukukan Folklor
Catatan guru daerah terpencil.

Sebelum ayam berkokok, bangunlah! Jangan sampai, rejeki berlari mendahului langkahmu!

Petuah itu, saya dapat dari ibu. Seorang wanita yang amat kukasihi itu, telah tiada tahun 2013 lalu. Namun, ia tetap hidup dalam hidupku. Dari petuah dan ajaran-ajarannya.

Saya lihat ibu setiap hari. Subuh telah bangun mendahuli siapa pun di keluarga kami. Ketika yang lain pergi tidur, malam harinya, ia masih sibuk di dapur. Menyiapkan segala sesuatunya untuk besok pagi.

Menuruni tabiat ibu, saya "tidak bisa diam". Maka, bagi saya. Sesibuk apa pun, tidak ada alasan untuk tidak menulis! 

Terutama di masa pandemi, buku dan --salah satunya menulis dan mengisi konten Web seperti ini-- adalah bagian dari panggilan tugas mengajar juga.

Saya tidak percaya tidak ada waktu. Saya pernah membaca, banyak penulis top punya pekerjaan tetap. Namun, nyatanya, mereka tetap produktif melahirkan karya tulis.

Sesibuk apa pun, tidak ada alasan untuk tidak menulis!

Pada zaman Yunani kuno, anak-anak kaum ningrat (waktu itu yang bersekolah hanya anak raja dan kaum bangsawan) selalu diajarkan sastra (mitos, tragedi, dan komedi). Tujuannya: agar anak (siswa) halus jiwanya. Jiwa yang halus itu dibentuk melalui karya sastra.

Dengan memahami dan menikmati karya sastra, anak mengalami katarsis, pembersihan. Sebab hanya di dalam raga dan jiwa yang bersih, rasio dapat berjalan. Bukankah rasio akan tumpul dalam sanubari yang kotor dan terombang-ambing?

Itulah sebabnya, Vossius dalam buku Poeticarum Institutionem Libri Tres (1647) menulis, “Poetae sunt morum doctores” (pujangga adalah guru moral).

Meski terlampau tinggi disebut “pujangga”, setidaknya buku yang berisi 6 cerita rakyat daerah Jangkang, Kab. Sanggau, Kalimantan Barat ini, sudah diabadikan. Tujuannya: melalui isinya yang edukatif, mengeliminasi unsur kekerasan, sekaligus menghibur; diharapkan dapat mengedukasi generasi muda. Sekaligus, mengasah jiwa mereka menjadi halus.

Saya tidak percaya tidak ada waktu. Saya pernah membaca, banyak penulis top punya pekerjaan tetap. Namun, nyatanya, mereka tetap produktif melahirkan karya tulis.

Cerita rakyat ditulis dalam semangat Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang buku bacaan nontekspelajaran yang digunakan di satuan pendidikan. Sekaligus, sebagai wujud upaya menumbuhkembangkan sastra lokal.

Folklor masyarakat lokal (Dayak Jangkang) yang telah saya teliti, tulis, dan terbitkan yakni:

1. ENTAYOT
2. PAK MIGUK
3. PAK ALUI
4. PONYALIK DAN KEK BOMO
5. ASAL MULA BUKIT JAMBU
6. DOMIA JAMBU
7. DAKI DAWE

Saya tidak percaya tidak ada waktu. Saya pernah membaca, banyak penulis top punya pekerjaan tetap. Namun, nyatanya, mereka tetap produktif melahirkan karya tulis.

Baca Juga: Trik Menulis Objek Di Sekitar Kita

Bagi saya, terutama di masa pandemi, buku dan --salah satunya menulis dan mengisi konten Web seperti ini-- adalah bagian dari panggilan tugas mengajar juga.

Hal itu persis dikatakan oleh guru-bangsa, Ki hadjar Dewantara. Bahwa: sekolah adalah semua tempat. Dan guru adalah setiap orang.

Maka hati-hati memilih guru di zaman milenial ini. Sebab ada guru hitam dan ada guru putih.

Karena itu, hai rekanku, para guru. Mari menulis dan menerbitkan karya tulis! Tidak perlu berbiaya, ayo menulis di medsos. Salah satunya melalui Web ini!

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Guru Daerah Terpencil (1): Tidak Datang, Pak!