Budaya

Catatan Guru Daerah Terpencil (1): Tidak Datang, Pak!

Rabu, 20 Januari 2021, 12:02 WIB
Dibaca 707
Catatan Guru Daerah Terpencil (1): Tidak Datang, Pak!
Catatan guru daerah terpencil.

Guru daerah terpencil.

Dari namanya, seakan-akan ia kerdil. Bagi saya, hal itu tantangan. Saya telah membaca, dan memamah-biak, buku yang diberikan abangku berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities karya Stoltz (1997) .  

Bagaimana untuk menjadi besar dan sukses, seseorang harus kuat daya tahan dan daya juangnya. Hal ini yang masih kurang dimiliki anak-anak milenial. Dan menjadi tugas kami, para guru, untuk menularkan kecerdasan, atau keterampilan hidup itu, selain memberi asupan materi pelajaran.

Sejak SK saya keluar sebagai PNS awal tahun 2000-an, dan ditempattugaskan di daerah terpesolok jauh di pedalaman Kalbar, saya tidak seperti orang yang ciut dan mengeluh. Sebaliknya, saya jadikan tantangan.

Saya ingin membuktikan bahwa di mana pun, meski nun jauh di ujung dunia, kita bisa berkarya. Tempat itu netral. Kitalah yang menjadikan tempat itu besar. Semua bergantung pada kita, manusia, yang dianugerahkan akal budi oleh Sang Pencipta.

Daerah terpencil tidak identik terbelakang. Itu soal tempat (ruang) dan mindset. Karena itu, saya sungguh ingin membuktikan bahwa di mana pun kita bisa berkarya, bisa membuat hal-hal besar, tidak bergantung fasilitas. Asalkan kita punya ide, gagasan, dan kreatif serta: mau melakukannya dengan ketulusan.

Saya menyambut dengan sukacita bahwa kepala sekolah tidak harus penuh waktu berada di tempat dan tidak banyak jam mengajarnya. Terutama untuk daerah terpencil, seperti saya.

Bayangkan! Untuk urusan ujian, menyerahkan berkas laporan, serta mendampingi kegiatan siswa, saya naik motor ke kota kabupaten 6 jam perjalanan. Belum bensinnya. Tenaganya. Beratnya medan. Orang tidak tahu berapa banyak pengorbanan yang telah kami berikan, sebagai guru. Namun, kami nikmati sebagai panggilan, passion, bukan sebagai kewajiban.  

Kini saya memasuki lebih 2 periode jadi kepala sekolah. Sudah mengajukan pindah, namun belum dikabulkan. Selama saya menjadi kepala SMP di Ketori, nama daerah terpencil itu, belum banyak yang dilakukan. Namun, saya telah merenovasi gedung sekolah, membangun rumah guru, membangun WC dan kamar mandi, mengajak  guru dan siswa membuat jalan setapak. Dananya dari mana? Ada dari BOS, namun kerap swadana dan swa-kerja. Tentang hal itu, janganlah dicatat di sini.

Buku-buku?

Dana BOS selalu saya sisihkan untuk membeli buku untuk menambah jumlah koleksi perpustakaan sekolah. Saya suka buku dari ayah kami yang juga gemar membaca.

Suka duka guru daerah terpencil? Banyak sukanya. Misalnya, ketika mengajar dan berinteraksi dengan siswa. Ada yang nyeker ke sekolah. Saya tak berani menegur. Tapi suatu waktu, sang anak bisa bersepatu. Bagaimana hal itu bisa, sekali lagi, janganlah saya tulis di sini.

Saya ingin berkisah yang berikut ini.

Bahwa siswa, jalan pikirnya, tidak seperti kita. Kadang, menerjemahkan langsung bahasa daerahnya ke bahasa Indonesia. Misalnya:

1. bouh kael diterjemahkan dengan: elang pancing. Padahal, bouh-kael itu satu pengertian, jika dipisah maka: bouh (elang) dan kael (pancing). Mestinya yang benar: gagang pancing.

2. kidoh asakng (tidak selera dalam hal makan), diterjemahkan: tidak ada leher. Kidoh = tidak ada, dan asakng = leher.

Tidak datang, Pak!

Nah, ini pengalaman di kelas. Waktu saya nulis di papan tulis, dan minta seorang anak menghapusnya.

"Tidak datang, Pak!' katanya.

Saya heran. Siapa yang tidak datang?

Anak yang menghapus itu bertubuh agak pendek. Tangannya tidak bisa menjangkau tulisan di atas. Makanya berkata begitu!

Bayangkan!

Ketika memahami jalan pikiran anak itu, saya ngakak sendiri, di ruangan kelas!

Kata-kata sang anak tadi terjemahan langsung dari: mae moni', Pak!

Artinya: tangan saya gak bisa menjangkaunya, Pak!

Ada-ada saja!

Berbagai kisah lain, sebagai guru daerah terpencil, akan saya muat di Web ini nanti. Itu pun, jika pengasuh sudi memoderasinya.

***