Ku Lukis Luka Atas Sajadah Tua
Ku gelar sajadah tua yang robek di pinggirnya
Tebal debu di atasnya menyiratkan waktu tersisa
Lalu kucoba menumpahkan rindu dan cinta diatasnya dengan amat terpaksa
Angin, bantu aku mengatakan kepadanya
Siapa tahu masih dapat kubuka pintunya yang sudah kupatahkan kuncinya
Aku tahu, sesekali sosokmu datang berkelebat dikepalaku, samar
Masih kuingat senyummu, bagai ombak laut yang menuju pantai
Menggulung awalnya, namun tak berbekas akhirnya
Selalu begitu saat pasang datang atau surut yang menjauh
Tapi diujung senja ini, mendadak kau datang dengan sosokmu yang seutuhnya
kau sapa aku dengan salam hangat yang terasa menghentak hingga jantung pertiwikupun retak-retak
Kau cengkeram tubuhku dengan lembut belaianmu yang meluluhlantakkan segala bentuk dan rupa
Kulihat betapa manisnya senyummu hingga melumat bumi dan seisinya juga imanku yang tinggal satu-satunya
kau hilangkan dahaga jiwaku dengan setetes air lautmu hingga terasa tercabut nyawaku
kau sanjungi tubuhku hingga jiwaku melambung ke mayapada lalu kau hempas keras ke belantara puing yang penuh bangkai tanpa nama
selepas senja, kau pergi begitu saja meninggalkanku tergeletak berselimut sajadah tua bersama mayat istri dan anakku yang tanpa busana
Begitu rupanya caramu mencintaiku, ya.. ya..ya.. kini aku paham siapa dirimu
tidak perlu dirayu lewat segelas susu, sebungkus mie atau segepok janji tapi cukup dengan secuil niat tulus dan sebait mantra tanpa berita
Baiklah, lusa setelah pemakaman setumpuk bangkai tanpa nama juga istri dan anakku akan kubasuh lumpur di hatiku dan kugelar sajadah tua yang sama dalam kamarmu. Tapi masih mungkinkah kubuka pintumu dengan kunci yang telah kupatahkan?
Gunung belah, 6 Oktober 2018
(puisi ini ditulis dan dihimpun dalam kumpulan puisi sebagai bentuk keprihatinan terhadap gempa dan tsunami di Donggala, Sulawesi)