Putu Wijaya tentang Kiat Membuat Judul Cerpen yang Memikat
1999 di Puncak. Angin bulan Juni berembus semilir. Membawa hawa dingin. Langit kelam. Cuaca muram. Kabut tipis, putih. Bergulung-gulung. Meliput pucuk-pucuk teh. Yang menghampar hijau, sejauh mata memandang....
Dari sebuah ruang tamu hotel mewah berbintang. Kami berbincang ringan. Tentang dunia kami.
Saya tak merasa bosan. Kongkow-kongkow bersama sastrawan Putu Wijaya dan Titis Basino serasa pagi enggan berlari menjemput siang.
Betapa tidak! Saya merasa, di sanalah mendapat makna sepatah kata. Ia "menjadi". Ketika itu pula, saya sadar. Akan kebenaran kata-kata bertuah, sekaligus bijak. Yang dulu saya baca dari sastra Yunani kuna yang menukilkan bahwa: En arkhe, hen ho logos. Pada awal mulanya, adalah aksara!
Keduanya pengarang senior, di atas saya. Baik dalam arti harfiah maupun simbolik. Nama mereka telah melegenda di jagad dunia sastra Tanah Air. Saya sangat kenal siapa mereka. Bahkan sejak saya duduk di bangku SMP.
Putu wijaya. Siapa tidak kenal? Dia salah seorang pelopor jurnalistik sastrawi di Tempo. Karyanya luar biasa banyak dan bagus. Selain cerpen, ia juga seorang kolomnis. Sedangkan Titis Basino adalah pramugari Graruda Indonesia, yang tersesat jadi pengarang. Saya jadi sangat dekat dengannya, ketika ia intens menulis novel. Untuk Grasindo. Dan saya editornya.
Yang penting, kutipan kita ada dalam konteks. Dan pas. Bukankah inovasi adalah: menambah hal baru, atau memasukkan hal lama, ke dalam bentuk baru dengan cara yang berbeda. Sehingga menuansakan hal baru?
Novel Titis yang penting Dari Lembah ke Cooliobah yang saya edit. Mengapa? Novel ini dua tahun kemudian, setelah terbit 1997. Memenangkan hadiah Mastera --Majlis Sastra Asia Tenggara (Nanti, akan saya tulis beberapa seri tentangnya.) Ia salah seorang perempuan hebat negeri ini. Termasuk sosok yang menancapkan tonggak sejarah sastra kita. Namanya dicatat Sri Rahaju Prihatmi dalam senarai Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia (Pustaka Jaya, 1975: 80-85). Titis menggebrak dunia sastra Indonesia. Mula-mula lewat cerpennya berjudul "Rumah Dara". Yang terbit ketika saya masih balita.
Tapi bukan tentang Titis tulisan ini menyasar. Tentang Putu Wijaya. Dari siapa saya belajar bagaimana salah satu teknik terbaik membuat judul cerpen. Atau novelet. Atau novel. Yang penting bukan judul untuk karya-sastra yang sama. Misalnya: Judul puisi orang menjadi puisi judul kita. Sumbernya pun tidak alpa kita sebut. Ini wajib. Menyangkut tata krama dalam dunia tulis-menulis. Jika tidak, itu tindak-plagiat.
Baca Juga: Kembangkan Imajinasi Liarmu Saat Menulis!
Saya merasa beruntung. Bekerja dan tinggal di Jakarta. Jadi punya kesempatan bertemu dan bergaul dengan para sastrawan dan munsyi terkenal. Kata orang: kita akan menjadi seperti siapa kita bergaul.
Sebagai editor di salah satu Penerbit Gramedia, saya kerap bertemu dan berdiksusi dengan para sastrawan dan munsyi top. Di Pusat Perbukuan, antara tahun 1990-2005. Saya kerap jadi juri, mentor, dan fasilitaror berbagai kegiatan literasi. Berkeliling Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Mengajar orang bagaimana merangkai kata-kata.
Di sana saya bergaul dan berkawan dengan: La Rose, Titie Said, Titis Basino, Eka Budianta, Ahmadun Y. Herfanda, Korrie Layun Rampan, Putu Wijaya, dan masih banyak lagi.
Saya membaca cerpen Putu Wijaya yang sangat luar biasa. Judulnya "Di Beranda Ini Angin tak Kedengaran Lagi". Kreatif dan menyentuh hati. Tapi jelas tersurat, juluk cerpen itu diambilnya bulat dari pusii Goenawan Mohamad.
Teknik sama, saya pakai untuk judul dan ending cerpen saya yang masuk buku kumpulan cerpen Tanjung Puting dalam Cerpen. Saya pun menyebut sumbernya. Topiknya tentang anak elang yang dipelihara bersama anak ayam, yang merasa dan bertindak sebagai ayam juga. Hingga suatu waktu, ada orang bijak sabahat Pak Bupati yang membawanya keluar, menyuruhnya terbang. Mula-mula tidak bisa, tapi lama kelamaan karena dikatakan bukan ayam tapi elang... dielus-elus, dilepas, terbang juga sebagai elang.
Judul cerpenku: Ada Juga Kelepak Elang.
Pada ending kukutip larik puisi Chairil Anwar yang berjudul "Senja di Pelabuhan Kecil" seperti yang demikian ini:
"Anak ayam itu terkejut. Serta merta ia rentangkan kedua sayapnya. Lalu terbang setinggi tingginya. Menembus langit biru hingga jauh. Kibas sayap aerodinamik si elang terus mengepak.
Lalu berhenti di Tanjung Harapan. Semua yang datang, akan kembali jua ke alam habitatnya.
Bunyi kelepak yang ditinggalkannya seperti sajak Chairil Anwar: ada juga kelepak elang. Menyinggung muram, desir hari lari berenang."
Baca Juga: Nasehat Pram, Jangan Takut Menulis!
Yang penting, kutipan kita ada dalam konteks. Dan pas. Bukankah inovasi adalah: menambah hal baru, atau memasukkan hal lama, ke dalam bentuk baru dengan cara yang berbeda. Sehingga menuansakan hal baru?
Salah satu empu sastra Indonesia, Ahmadun Yosi Herfanda. Ia yang mengritik. Sekaligus membuat Epilog buku kumpulan cerpen ini. Ia kirimkan WA kepada saya. "Cerpen bro sangat laik terbit dan memenuhi kaidah-kaidah sastra."
Saya merasa tersanjung!
Jadi, asal mafhum. Membuat judul cerpen itu: Gampang!
***