Kalimantan, Wajib Terdigitalisasi di Era 5G
Bukan kemarin sore saya menaruh perhatian kepada Pulau Kalimantan, satu dari lima pulau besar di Nusantara ini. Pertengahan tahun 1990an saya menginjakkan kaki di pulau ini, persisnya di Pontianak, Kalimantan Barat, kemudian terbang menggunakan helikopter ke Sanggau yang berdekatan dengan Singkawang untuk meliput kerusuhan horizontal saat itu.
Kemudian ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saat meliput acara Muhamaddiyah. Saya harus bermalam sampai empat hari yang pada puncak acara dihadiri BJ Habibie dan Amien Rais itu.
Setelah itu acara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri ke Samarinda Kalimantan Timur, acara Partai Golkar ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Juga acara-acara lainnya yang memungkinkan saya mengenal dekat (secara psikologis) dengan Pulau Kalimantan.
Baru kemudian tahun 2016 saya ke Malinau, Kalimantan Utara, provinsi pengembangan dari Kalimantan Timur. Terhitung tiga kali saya berada di Kaltara atas undangan orang yang sama, yaitu Yansen Tipa Padan. Beliaulah yang kemudian menggugah ingatan saya yang lama terpendam tentang Pulau Kalimantan.
Dari kedekatan psikologis dan emosional ini, saya kemudian memetakan Kalimantan dan mencoba mengurai "branding" dari pulau ini, yaitu "dayak", "hutan", "tambang", "minyak", "batubara", dll. Itu baru sebagian saja yang sesungguhnya sudah dikenal banyak orang.
Bicara sumber daya manusia (SDM), penduduk Kalimantan punya keunggulan kompetitif tersendiri. Hampir semua provinsi di pulau ini memiliki perguruan tinggi negeri dan terserak beberapa perguruan tinggi wasta. Meminjam "Gelombang Ketiga"-nya Alvin Toffler, semua "peradaban" lengkap ada di pulau ini, mulai dari pertanian, industri sampai telekomunikasi.
Namun tentang "tsunami" lainnya yang lebih dari sekadar "gelombang", yaitu digital, harus diakui Kalimantan sangat jauh ketinggalan dibanding pulau-pulau lainnya, khususnya Pulau Jawa. Padahal, menguasai teknologi digital sangat penting di era 5G yang sebentar lagi menggantikan 4G. Semua aplikasi besar berskala "unicorn" lahir di Pulau ini; Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka dan seterusnya.
Akan terjadi revolusi yang besar dan masif tatkala turunan dari teknologi 5G sudah diberlakukan serempak di seluruh dunia. Ke depan, teknologi yang "real time" tanpa jeda atau "buffering" akan berlaku juga di Pulau Kalimantan ini.
Drone yang boleh jadi sudah berawak akan menjadi pemandangan biasa, teknologi hologram yang memungkinkan bisa menghadirkan "makhluk virtual" yang bisa berbicara bahasa apapun (yang ada di Google Translate). Pun mobil robot pintar pembantu rumah tangga/kantor dan mobil otonom yang mampu mengenali rute dan jalan sehingga tidak perlu disopiri lagi.
Teknologi 5G akan diiringi penciptaan ribuan aplikasi baru yang masif dan termanjakan karena kecepatan yang ribuan kali dari kecepatan 4G. Ponsel 5G berpotensi melenyapkan laptop yang sekarang saja sudah dianggap kuno dan terlalu berat untuk ditenteng-tenteng.
Semua data ditaruh di "Cloud" yang makin lama makin murah, sehingga orang tidak perlu lagi penyimpanan data manual. Cukup tersambung ke internet menggunakan ponsel berkecapatan tinggi, mereka sudah bekerja tanpa ada tambahan gawai apapun.
Dengan keunikan dan kekayaan yang luar biasa ini sesungguhnya Pulau Kalimantan adalah "pasar" yang kompetitif dan khas (niche) bagi industri digital, khususnya dalam penciptaan dan pengembangan aplikasi untuk kepentingan penduduk Kalimantan sendiri. Tidak tertutup kemungkinan bakal lahir aplikasi "Borneo Hub" yang mampu menghubungkan seluruh warga Kalimantan di mana pun mereka berada untuk segala kepentingan.
Selama ini penduduk Borneo tersambungkan satu dengan yang lain menggunakan aplikasi percakapan WA, media pertemanan Facebook atau Instagram. Namun, aplikasi yang mereka gunakan adalah sepenuhnya "made in" asing, sehingga tidak ada rasa memiliki. Berbeda kalau Kalimantan memiliki sebuah jembatan penghubung dalam bentuk aplikasi digital.
Jembatan atau "hub" itu sepertinya akan segera lahir.
***