Air Kehidupan dan Merkuri di Sungai Kapuas
Ditemukan racun merkuri di Sungai Kapuas. Padahal, Kapuas masih vital perannya bagi penduduk Kalimantan Barat. Ada 8 kabupaten/kota sungainya menyatu, bermuara pada badan sungai Kapuas. Penduduk bumi seribu sungai terancam krisis air bersih. Mari, save Borneo lestari!
Air kehidupan. Tidak ada "emas kehidupan". Atau "sawit kehidupan". Perusahaan skala besar, dan penambangan, akhir-akhir ini mendatangkan malabencana: air keruh, tidak dapat dikonsumsi lagi. Penuh dengan merkuri. Akibat ulah manusia yang rakus. Ingin kenikmatan sesaat. Padahal, air sumber kehidupan.
Emas, berapa pun nilainya, akan habis. Uang hasil penjualannya, dibawa pergi dari lokus penambangan. Tidak berputar di sekitar. Setelah dikeruk tambangnya, lahan rusak. Berlubang. Deforestasi dan merusak lingkungan sekitar. Jangka pendeknya, mencemar air dan alam sekitar. Dampak jangka menengah yakni keluar racun yang mematikan: merkuri. Dampak masa panjang: generasi kehilangan hutan lestari, sumber kehidupan.
Karena itu, mari kita jaga hutan lestari Kalimantan. Sebab akhir-akhir ini, telah semakin rawan. Krisis lingkungan, terjadi di mana-mana. Akibatnya jelas terasa. Banjir di musim hujan. Krisis air bersih di musim kemarau. Ironis! Padahal, Borneo dikenal sebagai pulau seribu-sungai. Masa iya, di tengah-tengah ribuan sungai, bisa krisis air bersih?
Saya keliling Borneo. Dengan hati yang miris, menyaksikan tragedi di mana-mana. Sungai-sungai keruh. Airnya seperti kopi susu. Saya ke Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Saya juga ke Sekadau, Kalbar. Menyaksikan sungai yang demikian keruh. Tidak layak lagi dikonsumsi. Meski, mungkin karena terpaksa, ada warga yang masih menggunakan sungai untuk Mandi Cuci Kakus (MCK).
***
KAPUAS, atau lawae Kepuas di masa lampau, urat nadi masyarakat Kalimantan Barat. Dahulu, fungsinya amat sangat vital. Selain sarana transportasi utama, Kapuas juga untuk minum, selain fungsinya sebagai MCK.
Kapuas sebagai badan sungai di Kalbar, menampung sungai-sungai kecil, sedang di Kalbar. Sungai Itu, Ence, Mengkiang, Sekayam bermuara di Sanggau di badan Sungai Kapuas. Namun kini, Kapuas juga tercemar. Bahaya sedang mengintai!
Seperti diketahui, Sungai Kapuas di Kalbar merupakan urat nadi sejak zaman baheula, bahkan ketika masa kolonial. Kapal-kapal dan perahu motor menjadikan sungai sepanjang 1.143 km, yang sumber hulunya dari Pegunungan Müller dan bermuara di lut, dekat kota Pontianak, ini sebagai wahana lalu lintas perairan yang vital. Tercatat sebagai yang terpanjang di Indonesia, sungai Kapuas boleh disebut multifungsi.
Sungai Kapuas yang tercemar merkuri: Penelitian Walhi, tidak layak dikonsumsi, sehingga masyarakat beralih mengonsumsi air mineral.
Selain sarana transportasi yang penting, Sungai Kapuas juga banyak ikannya. Banyak penduduk, terutama yang bemukim di pesisir, menjadikan Kapuas sumber pendapatan dari hasil tangkapan ikan, udang, dan berbagai hewan air lainnya. Selain itu, sungai Kapuas juga berfungsi sebagai jamban, cucian, serta keperluan sehari-hari, untuk memasak dan minum, serta untuk mandi.
Akan tetapi, sejak tahun 1990-an, Sungai Kapuas telah tercemar oleh logam berat dan berbagai jenis bahan kimia lainnya akibat aktivitas penambangan emas, perak, dan pasir di bagian tengah, tepi, dan hulu sungai ini baik oleh perusahaan legal maupun ilegal. Walhi Daerah Kalbar waktu itu menengarai, titik pencemaran Sungai Kapuas sudah sedemikian parah oleh merkuri, sehingga perlu penelitian lapangan. Sesudah meneliti melalui proses ilmiah, Walhi berkesimpulan: Sungai Kapuas tercemar dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi masyarakat oleh sebab berbahaya bagi kesehatan karena mengandung bahan kimia.
Untungnya, temuan sekaligus peringatan dari Walhi ini diketahui dan dideteksi sejak dini. Jika tidak, dapat dibayangkan akibatnya akan fatal. “Gara-gara penelitian Walhi, waktu itu masyarakat geger,” papar Yohanes Rumpak. Yohanes pada 1999-2006 bergiat di Walhi Kalimantan Barat, hingga menjadi Executive Director-nya.
“Sejak itu, masyarakat yang tadinya minum dan masak dari air Sungai Kapuas, beralih mengonsumsi air mineral dalam galon.
Menjaga "air kehidupan", sepertinya harus terintegrasi serta holistik. Sebagian di hulu saja yang dijaga, seperti saya, bagai menggarami air laut.
Namun, hal itu tidak membuat saya berputus asa. Back to nature, green ecomony, ke muka bukan saja tren. Melainkan juga sikap-hidup. Perlahan, namun pasti. Kembali ke alam menjadi kebutuhan semua warga dunia.
Tidak semua masalah bisa diurai dalam sekejap. Seperti makan bubur saja: mulai dari pinggir.***