"Coma", Media Analog (Cetak) Indonesia?
Tiap Hari Pers Nasional, saya hampir nulis di opini Kompas.
Sekali lagi, harian Kompas! Kiranya terang benderang apa maksudnya. Kalau bukan di Kompas, di kelas berikutnya. Gak usah saya sebut merek. Atau demi kawan, saya menulis di koran Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sesekali Bali.
Arsip saya, Rabu, 14 Februari 1990. Tersimpan rapi di clear holder. Siapa lagi yang memuji, jika bukan diri sendiri. Saya seorang pengarsip yang baik untuk tulisan-tulisan saya. Jangan berdecak. Ini biasa saja, kale? Bilangan artikel yang telah terbit di berbagai media internasional, nasional dan lokal, sejak 1984, berjumlah tidak kurang dari: 4.000. Sekali lagi, bukan media ece-ece. Waktu ngejar honor, sebulan pernah dimuat 14 tulisan. Tapi itu masa lalu!
Kembali ke laptop.
Saya menulis artikel opini di Kompas 30 tahun lalu berjudul "Coma", Media Keagamaan Indonesia?" Dan akhirnya, nujum saya terjadi. Itu satu dasawarsa kemudian.
Kini saya gunakan judul serupa, tapi tak sama: "Coma", Media Analog (Cetak) Indonesia?"
Apakah nujum itu akan terjadi?
Semoga tidak!
Saya haykul yakin. 30 tahun kemudian, mungkin anak saya, akan menulis: "Coma", Media Digital Indonesia?"
Sebab mungkin ada media baru lain yang menggantikannya. Entah apa. Teori Mediamorfosis senantiasa begitu siklusnya. Ia koevolusi dan koeksistensi dengan zaman dan masyarakat.
***
Sebenarnya, saya tak hendak menulis artikel lagi. Itu masa lalu! Turun kelas saya. Sebab, sejak 2005 saya memutuskan: hanya menulis buku. Menulis di koran hanya mau, manakala diminta redaksi, secara khusus.
Tapi tadi siang HP berdering. Ada pesan masuk melalui WA. "Ayo, jagoan! Kita nulis opini di Ytprayeh.com. Ini kan Hari Pers nasional. 9 Februari."
Dodi Mawardi, pengirim WA itu. Mengajak saya dan Kang Pep --begitu saya biasa menyapa Pepih Nugraha-- untuk menulis. Khusus renungan. Atau apalah namanya. Pokoknya, seputar kehidupan pers.
Saya tercenung. Tak bisa menolak. Saya mengkhianati keputusan sendiri (Tanya Pak Yansen maksudnya!)
Baiklah! Saya akan menulis. Tapi dari sisi seorang akademisi. Sebab saya dosen. Saya lulusan S-2 bidang Media Studies, Kajian Media. Jadi kesempatan juga mengajar dan menghajar. Bagi yang sudah tahu. Anggap tulisan ini tidak (pernah ada).
***
Mediamorfosis: Suatu Keniscayaan
Mediamorfosis berasal dari kata Latin “medium” (tunggal) “media” (jamak) yang berarti: pertengahan, tengah, pusat (K. Prent, et al., 1969: 525). Adapun “morfosis” berasal dari kata Yunani μορφόω (morfoein) yang berarti: bentuk atau penampilan.
Dengan demikian, mediamorfosis dapat diartikan sebagai: satu kesatuan pemikiran terhadap evolusi teknologi media komunikasi. Di Indonesia, evolusi teknologi media komunikasi ini mulai pada akhir tahun 1990-an. Ketika pada masa itu Internet mulai merasuki kehidupan umat manusia.
Sejak itu, era digitalisasi seakan-akan merupakan suatu keniscayaan menggantikan media konvensional seiring dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat dunia. Dengan demikian, perubahan evolusi bukan hanya terjadi pada alat, melainkan juga pada cara berada dan cara hidup manusia. Dalam konteks ini, manusia disebut sebagai koevolusi dan koeksistensi perkembangan teknologi komunikasi.
Inti mediamorfosis: teknologi penyampaian, medianya, berubah. Namun, isi/ pesan tetap.
Mediamorfosis: Dari Media Konvensional ke The New Media
Media adalah alat komunikasi untuk menyampaikan pesan dan atau informasi secara massal (Laswell, 1902-1978). Terutama sejak mesin cetak ditemukan Gutenberg (1450) upaya menyampaikan pesan dan atau informasi secara massal tersebut berkembang pesat. Jika sebelumnya teknologi hanya dapat menggandakan atau menduplikasikan beberapa kopi, sejak mesin cetak ditemukan, terjadi mediamorfosis. Sebelumnya, orang menyampaikan pesan dan atau informasi melalui media batu, daun lontar, pilar, dan vellum (kulit binatang); sejak mesin cetak ditemukan, media tersebut perlahan-lahan ditinggalkan, namun juga terus-menerus beradaptasi.
Dalam media selalu terdapat dua unsur penting, yakni pesan atau informasi (content) dan alat penyampaiannya yang disebut media. Pada saat mesin cetak ditemukan, mesin cetak ini dapat menggandakan sejumlah besar kopi dari content yang sama sehingga dapat menyampaikan pesan dan atau informasi yang sama dalam waktu yang bersamaan.
Media tidak hidup sendirian, ia berkonvergensi dengan media lain, masing-masing dengan domain-nya (Fidler, 1997: 45). Sebagai contoh, media cetak media cetak hidup dan tumbuh bersama dengan media elektronika. Sesuai dengan teori Uses and Gratification (Blumer dan Katz, 1974), sesungguhnya setiap media dapat bertahan hidup karena mempunyai kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Masalahnya, bagaimana pengelola media dapat menangkap peluang dari perubahan yang terjadi? Dengan kata lain, bagaimana mediamorfosis disikapi secara kreatif, dengan mengubah tantangan menjadi peluang?
Teori Uses and Gratification menyebutkan bahwa kematian media hanyalah persoalan waktu apabila pengelolanya tidak dapat mengubah tantangan menjadi peluang dan media tersebut tidak memperhatikan apa yang dibutuhkan khalayak serta tidak dapat memuaskan mereka (Tjipta Lesmana, 2010). Oleh karena itu, mediamorfosis sebagai keniscayaan bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan,yang penting bagaimana kita menyikapinya. Sikap terbaik dan terbijak ialah koeksistensi dan koevolusi dengan mediamorfosis.
Mediamorfosis adalah evolusi yang terjadi secara gradual seiring dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Seperti dicatat Fidler (loc.cit.), sesungguhnya setiap media mempunyai keterbatasan dan kelebihannya masing-masing. Dinamika dan perkembangan masyarakat ini kemudian membentuk media literacy sebab, “Media literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the message we encounter” (James Potter, 2008: 19).
Tidak saling mematikan (kanibalisme), akan tetapi memang ada kecenderungan di dalam proses mediamorfosis tersebut satu medium “memangsa” medium yang lain baik ditinjau dari sisi pasar maupun belanja iklan. Kecenderungan seperti itu terjadi di Indonesia terutama sejak pengujung tahun 1997, ketika masyarakat Indonesia mulai melek media elektronika. Hal ini dipicu oleh perkembangan teknologi informasi (TI) yang sangat cepat dan massif sehingga mengubah pula tatanan, struktur, dan kehidupan masyarakat dunia, khususnya komunitas telematika.
Koeksistensi dan koevolusi dengan perkembangan komunitas telematika, publik internet yang di Indonesia populer dengan nama warung internet (warnet) atau cyber café sangatlah strategis dan berperanan besar dalam proses mediamorfosis. Survei menunjukkan bahwa lebih dari 42% pengakes internet di Indonesia melakukan komunikasi via cyber café sehingga komunikasi lewat jaringan ini tidak lagi dibatasi oleh waktu, ruang, dan tempat(Rudy Rusdiah, 2004:3).
***
Kompas yang Lebih Punya Visi
Kertas sebagai bahan baku industri media cetak mengalami kendala serius akhir-akhir ini. Sebagaimana diketahui bahwa bahan baku kertas berasal serat dari tanaman (kayu) yang diambil dari hutan alam atau hutan tanaman industri (HTI). Gerakan antipenebangan hutan yang menjadi gerakan bersama umat manusia sejagad, secara otomatis berimbas pada pasokan bahan baku kertas. Hal ini diakui Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat, Legiman Misdiyono bahwa salah satu masalah yang menjadi momok media cetak adalah persoalan harga kertas (Tempo Interaktif, 03 Maret 2009).
Selain pasokan bahan dasar, industri media cetak berbasis analog juga dihadapkan pada persaingan dengan sesama media, dalam hal ini media elektronika yang berbasis digital. Di negara berkembang seperti Indonesia, mayoritas masyarakat memang belum menggunakan Internet untuk mencari informasi yang dibutuhkan. Akan tetapi, sudah ada tanda-tanda bahwa masyarakat Indonesia semakin melek media (media literacy) dan melek teknologi seperti di Amerika Serikat yang menurut Biagi (2010: 21), terdapat kecenderungan anak muda sebagai produk generasi teknologi digital menggunakan Internet sebagai sumber utama mencari dan mendapatkan informasi, selain mendapatkan hiburan. Kecenderungan masyarakat ke arah itu dan datangnya era digital sudah diantisipasi Kompas seperti dicatat “orang dalam Kompas”, Myrna Ratna[1] berikut ini.
Meski demikian, tidak berarti tren “going digital” bisa diabaikan. Setidaknya hal itu terekam dari jumlah kunjungan terhadap website Kompas.com yang diluncurkan sejak tahun 1995. Berdasarkan data Februari 2009, setiap bulan situs Kompas.com dikunjungi 66 juta kali, sementara page-view mencapai hampir 200 juta kali. Fakta ini menyiratkan bahwa di masa depan new media akan semakin berperan, dengan partisipasi masyarakat yang semakin besar. Namun, tidak berarti media cetak akan mati.
Media cetak memang tidak mati, akan tetapi jika pengelolanya tidak kreatif dan inovatif maka perlahan-lahan akan tergerus oleh kemajuan teknologi dan ditinggalkan masyarakat. Dengan kata lain, media cetak harus bermorfosis. Itulah yang dilakukan Kompas sebagaimana tampak dari rekam jejak langkahnya sejak terbit pada 28 Juni 1965 hingga kini menjadi media cetak terbesar di Indonesia dengan oplah mencapai lebih dari 600.000 eksemplar setiap harinya.
Dalam upaya tetap menjadi market leader media cetak di Indonesia, Kompas melakukan inovasi[2] tiada henti yang dalam bahasa teknologi komunikasi disebut sebagai “mediamorfosis”. Secara etimologis, mediamorfosis berasal dari kata Latin “medium” (tunggal) “media” (jamak) yang berarti: pertengahan, tengah, pusat (K. Prent, et al., 1969: 525). Adapun “morfosis” berasal dari kata Yunani μορφόω (morfoein) yang berarti: bentuk atau penampilan.
Dengan demikian, mediamorfosis dapat diartikan sebagai: satu kesatuan pemikiran dan sikap terhadap evolusi teknologi media komunikasi. Di Indonesia, evolusi teknologi media komunikasi ini mulai pada akhir tahun 1990-an, ketika Internet merasuki kehidupan umat manusia. Sejak itu, era digitalisasi seakan-akan merupakan suatu keniscayaan menggantikan media konvensional seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat dunia (Dominick, J.R., 2008).
Dengan demikian, evolusi bukan hanya terjadi pada alat, melainkan juga pada cara berada dan cara hidup manusia. Dalam konteks ini, manusia disebut sebagai koevolusi dan koeksistensi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan sebaliknya.
Menurut Fidler (hlm. 169), dalam kerangka “Timeline of human communication”, terdapat tiga pentahapan besar mediamorfosis. Pertama, mediamorfosis terjadi pada sekitar 100.000 tahun lalu bersaman dengan komunikasi dalam bahasa lisan. Kedua, mediamorfosis terjadi pada sekitar 10.000 tahun lalu bersaman dengan bahasa tulisan. Ketiga, mediamorfosis terjadi pada sekitar 100 tahun lalu – kini bersaman dengan ditemukannya bahasa digital (digital language). Dalam pentahapan mediamofsosis yang ketiga, terdapat banyak item perkembangan media. Perkembangan tersebut koevolusi dan koeksistensi dengan dinamika masyarakat.
Sebagai media, Kompas koevolusi dan koeksistensi dengan dinamika masyarakat. Jika diperhatikan dengan saksama maka jejak inovasi atau mediamorfosis yang dilakukan Kompas, sesuai dengan apa yang dicatat Nguyen berikut ini.
Shortly after Tim Berners Lee’s development of the World Wide Web in 1990 and the subsequent introduction of Mosaic (one of the first graphical Web browsers) in 1993, traditional media organisations hastily established an online presence, with the worldwide number of news sites with an offline origin growing from virtually zero in 1993 to 13,536 in 2002 (Nguyen, et al., 2005). This online migration was largely a panic-stricken and unprepared response to the “sudden” threat that the Internet posed to traditional news businesses. With so many exclusive features (such as immediacy, multimedia, interactivity, global accessibility, hypertextuality and so on), the Internet was widely perceived an ideal platform for people to keep themselves informed of their daily interest in a more effective, efficient and enjoyable way, which could lead the traditional news media to extinction, or at least reduced importance. The death of traditional media, especially newspapers, was and is a pervasive theme of business discussions (Ahlers, 2006; Boczkowski, 2004; Eid and Buchanan, 2005; Nguyen, et al., 2005; Nguyen and Western, 2006).
Mediamorfosis yang dilakukan Kompas, tidak serta merta, melainkan terjadi melalui proses dan memakan waktu lama sebagaimana dengan jelas dinarasikan dalam Youtube “Jejak Inovasi Kompas”. Perkembangan teknologi dan perubahan masyarakat membuat Kompas harus menyesuaikan dan harus berubah, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan McLuhan bahwa “media deterministik” manusia.
Mediamorfosis yang dilakukan Kompas dapat dilihat dalam konfigurasi “The Family Tree of Communication Media” -- Roger Fidler, Mediamorphosis (1997: 34)
Pada pohon domain media komunikasi, cabang ke-3 di atas, tampak adanya migrasi dari media analog ke media digital. Di sinilah status causae[3] yang dihadapi Kompas dan media cetak pada umumnya, yakni: kondisi ketidakmenentuan, kegamangan, persimpangan jalan. Di satu pihak, sebagian besar masyarakat (kaum migran teknologi media digital) masih hidup dalam tradisi analog, sementara di pihak lain generasi yang lahir tahun 1990-an yang begitu lahir koeksistensi dengan teknologi media digital, terjun langsung masuk ke peradaban paperless.
Cabang baru media komunikasi berbasis aplikasi elektrik berkembang secara cepat seperti dicatat Fidler (hlm. 33) berikut ini.
New branches have formed even more rapidly since the application of electricity to communication and emergence of digital language in the nineteenth century. Given our present understanding of the mediamorphosis process, we can be reasonably confident that the tree will grow vastly more complex in the twenty-first century.
Web Site (full): http://kompascetak.com
Versi online Harian Kompas dihadirkan sebagai mediamorfosis KOMPASCetak.com. Versi ini hadir dengan proses loading lebih cepat dan mudah diakses. Berfungsi sebagai pencarian, komentar pembaca, dan fungsi sharing ke media sosial, sehingga khalayak dapat mengakses berita di mana saja dan kapan saja, dapat memberikan komentar, serta mendapatkan berbagi tautan berita dengan teman dan relasi.
***
Catatan akhir:
[1] Di bawah tulisan “Media Tradisional Vs ‘New Media”, Myrna mengulas bahwa media tradisional vis a vis media baru merupakan keniscayaan, namun bukan berarti kehadiran media baru otomatis mematikan media cetak asalkan pengelolanya kreatif dan inovatif.
[2] Selengkapnya mengenai inovasi dimaksud dapat mengunduh Youtube http://www.youtube.com/watch?v=DHJ8pixBifU
[3] Dalam dunia ilmiah, “status causae” (Latin) berarti: duduk perkara, perumusan persoalan, masalah yang dihadapi dan perlu dipecahkan (K. Prent, dkk., Kamus Latin-Indonesia, 1969: 811).
**