Riset

Menggugat Bencana Banjir

Sabtu, 22 Mei 2021, 04:38 WIB
Dibaca 1.000
Menggugat Bencana Banjir

Pada 23 September tahun lalu Simpang Dua, kampung halamanku di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dilanda banjir besar. Gereja St. Mikael Simpang Dua terendam banjir. Bangku-bangku gereja tenggelam dalam genangan air. Jalan di depan gereja seperti sungai. Jembatan Sungai Karab yang menghubungkan kampung Karab dan kampung Bukang putus diterjang banjir.

Ketika terjadi banjir pada tahun lalu, saya sempat menulis sebuah artikel dan dikirim kepada salah satu media terkenal di Jakarta. Sayang tulisan itu tidak dimuat. Dalam tulisan itu saya seakan protes kepada Tuhan dengan bertanya: mengapa Tuhan membiarkan rumahnya dilanda banjir? Padahal rumah itu belum lama dibangun untuk memuji dan memuliakan-Nya? Benarkah Tuhan tega hati membiarkan sungai Banjur dan Sungai Gerai mengamuk melimpahkan luberan airnya sehingga menenggelamkan rumah-Nya sendiri? Sebetulnya saya tidak menyalahkan Tuhan, tapi ingin mengajak para pembaca berpikir: bahwa sebagai insan yang diberi Tuhan untuk ‘memenuhi muka bumi dan menaklukkannya, berkuasa atas ikan-ikan di laut dan atas segala binatang yang merayap di bumi’ apakah sudah mengurusi bumi ini dengan bijaksana?

Banjir di Simpang Dua adalah banjir terparah yang pernah kusaksikan selama 55 tahun hidupku di dunia ini. Tahun 1977 pernah banjir cukup besar, tapi tidak sebesar tahun 2020. Pada tahun 1981 ketika saya tinggal di Pastoran Simpang Dua juga pernah banjir cukup besar, tapi tidak sebesar tahun 2020. Banjir sekarang lebih besar dan lebih parah.

Kita sering lupa, tapi sejarah selalu berulang. September 2017, Tanjung, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat diterpa banjir bandang. Beberapa jembatan putus, dan beberapa rumah terendam banjir sampai ke atap. Ada beberapa rumah hanyut. Ini adalah banjir terparah di Kabupaten Ketapang. Banjir ini sempat diberitakan oleh salah satu stasiun TV terkenal di Indonesia. Kala itu Keuskupan Ketapang membuat posko untuk membantu menanggulangi banjir. Demikian juga pihak pemerintah berupaya membantu para korban banjir.

Mengapa banjir? Karena ada air. Mengapa ada air? Karena ada hujan. Mengapa ada hujan? Karena ada siklus alam. Karena ada musim hujan. Tapi tidakkah air itu dialirkan ke sungai? Ya. Tidakkah dari sungai air itu dialirkan ke laut? Ya. Tidakkah air hujan itu dimasukkan ke dalam tanah? Ya. Selama tanahnya masih menyimpan humus. Selama tanahnya masih banyak pohon. Selama tanahnya masih banyak hutan. Selama ada tempat untuk meresap, air itu akan “masuk ke bumi” dan tidak akan menerjang ke mana-mana seperti sekarang ini.

Ini ramalanku. Maaf kalau ramalan itu menakut-nakuti. Saya sebenarnya bukan seorang peramal atau dukun, tapi ramalan ini kubuat melihat realitas di lapangan. Jika kita tidak waspada, 5 – 10 tahun lagi Kota Ketapang, Delta Pawan akan dilanda banjir bandang! Apakah seserius itu? Ya. Apakah karena Kota Ketapang itu terletak di Delta Pawan? Ya. Apakah karena Kota Ketapang itu sebagai muara dari Sungai Pawan yang di hulunya terdapat sungai-sungai cabangnya? Ya. Lalu kenapa diramalkan akan terjadi banjir bandang 5 – 10 tahun yang akan datang? Mari kita telisik.

Hingga hari ini hutan-hutan di sekitar Sungai Pawan sudah banyak yang sudah dialihfungsikan. Dulu hutan-hutan ini diambil kayunya oleh perusahaan kayu. Kini sudah banyak yang beralihfungsi menjadi perkebunan berskala besar. Sebagai contoh hutan-hutan yang berada di daerah Sandai, Randau, Demit, Sepiri sudah banyak yang beralihfungsi menjadi lahan perkebunan.

Tinggal yang tersisa adalah hutan-hutan di hulu Sungai Pawan yang berada di aliran Sungai Krio dan Sungai Bihak. Menurut beberapa sumber hutan-hutan di sekitar sungai itu sudah dikapling-kapling dan tinggal menunggu waktu untuk digarap. Jika hutan-hutan di sekitar Sungai Krio dan Sungai Bihak yang merupakan anak Sungai Pawan itu dibabat, Ketapang kota akan menunggu waktu akan “memanen” banjir bandang.

Semoga tulisan ini menjadi renungan bagi banyak pihak. Terutama bagi para pengambil keputusan. Juga bagi masyarakat yang begitu gampang menjual tanahnya demi mendapat uang yang kelihatannya banyak namun menimbulkan akibat mengerikan bagi diri dan anak cucunya.