Riset

Memeriksa Kehidupan Manusia Dayak dan Konsep Pembangunannya

Kamis, 4 Februari 2021, 18:23 WIB
Dibaca 508
Memeriksa Kehidupan Manusia Dayak dan Konsep Pembangunannya

Memeriksa Kehidupan Manusia Dayak, Pulau, dan Konsep Pembangunan. Dengan istilah "memeriksa", bukan berarti inspektorat, mencari-cari yang salah. Namun, lebih pada sebuah upaya refleksi. Olah intelektual, suatu ruang terbuka, yang berjalan menuju dialektika.

Memeriksa Kehidupan
Socrates (470-399 SM), kira kira 2400 tahun yang lalu mengingatkan kita dengan perkataan profetik yang sangat popular hingga saat ini, yaitu “an unexamined life is not worth living” yang artinya “hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani.” Perkataan Sokrates tersebut akan menimbulkan bermacam macam tesis di benak kita, seperti: apa yang terjadi dengan diri kita setelah 30 tahun berlalu kita baru memeriksa hidup kita, setelah diperiksa ternyata baru ketahuan bahwa kita adalah seekor elang laut ‘albatross’ yang perkasa penguasa samudra dan benua, namun selama 30 tahun itu juga kita menjalani hidup dan menghidupi kehidupan kita seperti seekor ayam.

Mau kembali menjadi elang? namun sang waktu sudah berlalu meninggalkan kita selama 30 tahun. Plato telah mewacanakan tahap tahap kehidupan yang harus kita dijalani agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan sesama manusia. Ia mengingatkan kita bahwa jika kita kehilangan waktu untuk mengembangkan bagian bagian penting dari hidup kita, maka waktu tersebut tidak akan kembali lagi. Kira kira 4000 tahun yang lalu Raja Salomo juga menuliskan, “segala sesuatu ada waktunya” semacam time zone, namun disebabkan oleh kompleksitas sosial, kita menjadi tersesat dan kita kehilangan harta yang tak ternilai, yaitu ‘waktu’.

Di saat manusia masih kuat secara fisik, mental/emosional, dan intelektual, seringkali waktu tersebut dihabiskan untuk melakukan hal hal yang tidak memberikan manfaat bagi kehidupan. Aspek aspek jiwa seperti ketekunan, disiplin diri, keteguhan, kemampuan menahan penderitaan yang seharusnya kita tanggung di alam nyata selalu kita hindari dan abaikan, kita cenderung suka berada di zona nyaman “comfort zone”, padahal aspek aspek jiwa tersebut jika diamalkan akan mendukung perkembangan kehidupan kita sebagai manusia sesuai rencana Allah. Alam semesta menyediakan segala kemungkinan yang tidak terbatas bagi manusia, sehingga selagi hayat masih dikandung badan, tidak pernah ada kata terlambat untuk memeriksa hidup kita. Alam jiwa yang sehat pada akhirnya akan menyehatkan alam fisik.

Ada dua pertanyaan penting yang harus kita jawab berkenaan dengan memeriksa kehidupan kita, yaitu 1). Aspek aspek apa dalam hidup yang harus diperiksa? dan 2). Bagaimana cara memeriksa hidup kita?

Aspek aspek kehidupan yang harus kita periksa adalah fisik, mental/emosional (jiwa), intelektualitas kita. Berbicara tentang aspek aspek fisik, para dokter yang menangani kesehatan akan memeriksa kesehatan dengan standard umum pemeriksaan Kesehatan (general check up), seperti tingkat haemoglobin, leukosit, thrombosit, , triglicerida, cholesterol (HDL, LDL), Ureum, Creatinin, Asam Urat, SGOT/AST, SGPT/ALT, Gamma GT, glukosa, dst. Manakala, para praktisi kesehatan alternatif seperti pakar ayurveda, yoga, prana, reiki, pendeta, dukun dan lain sebagainya, tidak memisahkan antara aspek fisik dan mental-emosional (jiwa). Akhir akhir ini dunia kedokteran juga mengembangkan ilmu kedokteran perilaku, yaitu keterkaitan antara fisik dan jiwa dalam menentukan kesehatan seseorang, kondisi fisik dan jiwa tidak bisa dipisahkan.

Contohnya apa yang kita makan pagi ini, akan berpengaruh pada mood kita di siang atau sore hari; jenis pikiran yang kita tanamkan atau kita pikirkan terus menerus bisa mempengaruhi kondisi fisik kita; teman teman yang kita miliki sekarang bisa menentukan nasib kita di masa depan; lingkungan tempat kita tinggal dan pekerjaan yang kita miliki akan menentukan takdir dan masa depan kita.

Maka periksalah jenis makanan dan minuman yang kita konsumsi, jenis pikiran yang sering kita pikirkan (pikiran positif akan mengangkat kita dan pikiran negatif akan menghancurkan kita), jenis pergaulan dan teman teman yang kita miliki, lingkungan tempat tinggal dan suasana pekerjaan kita, inilah aspek aspek hidup yang menurut para pakar wajib kita periksa.

Berkenaan dengan kemampuan intellektual, penemuan terbaru membuktikan bahwa seorang yang jenius tidak hanya dilahirkan tetapi juga dicetak, artinya orang yang intelektualnya biasa biasa saja bisa di-upgrade menjadi seorang yang pintar bahkan jenius.

Orang orang seperti Thomas Alfa Edison, Albert Einsten, Steve Job, Bill Gates, George Sorros, dan masih banyak lagi manusia Jenius lainnya yang rata rata berdarah Yahudi, sebetulnya adalah manusia biasa yang mencetak dirinya jadi manusia jenius. Dewasa ini berkembang teknologi untuk meningkatkan kecerdasan manusia melalui manipulasi gelombang otak dan makan makanan tertentu yang banyak mengandung omega-3.

Penemuan tentang gelombang otak, seperti beta, alfa, theta, dan delta telah menyempurnakan cara mencetak manusia jenius. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa orang orang Jenius rata rata bekerja menggunakan gelombang otak alfa dengan frekwensi 10, sehingga mereka bisa bekerja dengan efektif dan efisien. Pada orang orang Yahudi, untuk mencetak manusia-Nya agar berada di atas rata rata manusia biasa, telah menerapkan metode tersendiri yang dimulai ketika seorang bayi masih dalam kandungan.

Itulah mengapa sangat penting bagi laki laki untuk memperhatikan wanitanya ketika sedang hamil. Seorang wanita yang sedang hamil harus dihindarkan dari stress, makan makanan yang bergizi, dan sering sering mendengarkan musik bergelombang alpha seperti misalnya karya Bethoven, Mozart, dll. Selain itu, orang Yahudi juga mengajarkan anak anaknya mengenai cara cara agar bisa fokus dan konsentrasi dalam mengerjakan satu tugas dan tanggung jawab sampai benar benar menjadi seorang yang pakar.

Selain mempelajari hanya satu hal sampai benar benar menjadi pakar, anak anak Yahudi juga diwajibkan latihan memanah, menembak, dan lari sprint jarak pendek, tujuannya adalah agar mereka bisa fokus dan berkonsentrasi. Itulah mengapa gelar Yahudi sebagai ‘the chosen peoples’ atau ‘bangsa terpilih’, satu gelar yang belum pernah hilang dari bangsa Yahudi. Kondisi penuh tekanan, menjadi negara kecil (Negara Israel) di tengah tengah negara Arab yang rata rata memusuhi mereka, membuat orang orang Yahudi harus terus menerus meningkatkan kualitas mereka di atas manusia rata rata di muka bumi ini. Bagaimana dengan orang Dayak?

Dalam hal meningkatkan kemampuan intelektual berlaku juga pepatah ‘apa yang tidak dipakai akan mengalami penyusutan’. Otak dan pikiran manusia sama juga seperti otot. Otot yang tidak dipakai akan melemah, demikian juga otak dan pikiran manusia yang apabila jarang dipakai akan mengalami atropi atau penyusutan. Dalam hal ini berlaku pepatah ‘apa yang tidak dipakai akan berkarat’.

Apa yang dikatakan oleh Sokrates 2400 tahun yang lalu agaknya memang layak menjadi bahan renungan agar kita memeriksa hidup kita, sehingga semakin cepat kita menyadari bahwa kita adalah ‘seekor elang’ bukannya ‘ayam’ maka akan semakin cepat juga kita bertindak dan berperilaku seperti elang dan memilih apa yang terbaik bagi hidup kita.

Memeriksa Manusia Dayak dan Tanah Asal Usulnya
Di dalam Kabinet Jokowi-Ma’aruh (2019-2024), ada segelintir orang yang mengatasnamakan kelompok tertentu dengan mengelar unjuk rasa menuntut keterwakilan sebagai Menteri di Kabinet Jokowi-Ma’aruf (2019-2024), dengan berbagai alasan. Dalam skop wilayah Kalimantan, yang sekarang berkembang adalah isu isu pengembangan SDM dan Otonomi Khusus sebagai konsekuensi akan pindahnya Ibukota RI dari Jawa ke Kalimantan dan termasuk keterwakilan sebagai Menteri di Kabinet Jokowi-Ma’aruf (2019-2024). Cita cita untuk menjadikan Kalimantan berstatus Otonomi khusus serta adanya keterwakilan sebagai Menteri tentu saja sangat baik. Pertanyaannya adalah

(1) Apakah kita sudah memeriksa diri kita sendiri sebagai masyarakat Dayak dalam ranah NKRI? (who we are, where we are);

(2) Apakah kita sudah mengidentifikasi dengan baik orang yang tepat, yang siap merespon tantangan dan kesempatan yang tersedia di depan mata? Kedua pertanyaan tersebut kelihatannya sederhana tetapi jawaban yang jujur dan berbasis riset akan sangat menentukan cara dan strategi bagaimana kita harus bertindak.

Secara personal, mungkin sudah ada dari kita yang telah memeriksa hidupnya, sehingga ada segelintir dari kita sebagai orang Dayak yang memiliki taraf hidup dan strata sosial di atas rata rata masyarakat Dayak yang lain, misalnya ada yang menduduki jabatan tinggi di bidang politik, pemerintahan, sosial dan ekonomi. Namun, kalau kita lihat data statistic, jumlah ini termasuk kecil dan sifatnya sporadis serta tersebar di pulau ketiga terbesar di dunia ini. Namun, apakah kita sudah memeriksa eksistensi kita sebagai Dayak dan Pulau Kalimantan (the homeland of the Dayak) tersebut.

Berbicara tentang Dayak tidak akan bisa dipisahkan dari tanah asal usulnya (Pulau Kalimantan/Borneo) sebagai the homeland of the Dayak. Istilah Dayak yang dijadikan sebagai payung nama bagi ratusan kelompok etnis yang berbeda bahasa, adat istiadat, dan agama tersebut, seiring berjalannya waktu ternyata belum secara komprehensif mampu menjadi ikatan pemersatu bagi masyarakat Dayak dalam ranah sosial, ekonomi, budaya, ideologi, dan politik. Selain itu, dari segi kependudukan, jumlah penduduk Dayak termasuk kecil akibat dari kebijakan Pemerintah Orde Baru dengan Program KB (2 anak cukup) dan gencarnya program transmigrasi dan migrasi ke Pulau Kalimantan sehingga cukup signifikan mempengaruhi keseimbangan kelompok etnis di seluruh Pulau Kalimantan. Data statistik setiap periode mengungkapkan bahwa persentasi orang Dayak di Pulau Kalimantan tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Berbicara tentang peradaban, kalau diperbandingkan dengan kelompok kelompok suku bangsa yang lain, dalam seratus tahun terakhir ini, Dayak sesungguhnya baru akan mencoba merangkak maju dari masyarakat hunter, gatherer, dan farmer ke masyarakat modern; dari masyarakat yang berbasis ekonomi subsisten ke ekonomi pasar (money-oriented). Masyarakat yang berbasis ekonomi subsisten akan menjadikan lahan dan kawasan hutan sebagai ATM atau bank tempat mereka mengambil hasil bumi.

Masyarakat dengan system ekonomi subsisten akan mengambil sayur mayur, binatang buruan, umbi-umbian, buah-buahan dan kayu bakar secukupnya saja sesuai dengan kebutuhan. Cara yang demikian adalah cara pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, namun cara ini tidak akan mampu menghadapi perkembangan masyarakat dan sistem ekonomi dunia berbasis kapital. Sistem ekonomi kapiltalis bisa dilihat dari maraknya pengelolaan sumber daya alam berbasis perkebunan monokultur dalam skala besar, pertambangan, dan gaya hidup yang sangat konsumerisme.

Akibatnya, dalam 40-50 tahun terakhir sejak tahun 1960-an masuknya HPH, HTI, dan Pertambangan di Kalimantan, luasan kawasan hutan dan rusaknya sumber daya alam sudah mencapai taraf mengganggu sistem resiliensi ekologis yang hampir tidak dapat dipulihkan lagi dalam waktu dekat. Masyarakat Dayak yang baru merangkak dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, secara umum belum siap dan masih gagap dengan perubahan ini, sedangkan masyarakat lain, seperti Tionghoa, Jawa, Batak, dan lainnya secara umum sudah siap dengan perubahan ini. Di Jakarta sistem transaksi rata rata sudah menggunakan e-money, dan banyak pekerjaan sudah digantikan oleh mesin.

Pertanyaan berikutnya adalah Apakah sudah diidentifikasi dengan baik tokoh tokoh Dayak atau orang yang tepat yang siap merespon tantangan dan kesempatan yang tersedia di depan mata, khususnya yang terkait dengan perwakilan Dayak di bidang pemerintahan dan politik? Pertanyaan ini susah untuk dijawab karena jawaban yang diberikan akan memunculkan pertanyaan pertanyaan baru. Umpamanya, kalau disebutkan seorang tokoh by name and by address, akan timbul lagi pertanyaan, apakah tokoh yang bersangkutan sudah mewakili kelompok masyarakat yang tergabung dalam payung nama Dayak itu.

Atau apakah setiap kelompok dalam kelompok besar etnis Dayak tersebut sudah terwakili (keinginannya, aspirasinya, kepentingannya). Kenapa pertanyaan ini sulit dijawab sebab struktur masyarakat Dayak pada umumnya adalah masyarakat yang egaliter (masyarakat yang tidak memiliki kerajaan, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah), walaupun ada juga beberapa kelompok masyarakat Dayak yang memiliki pelapisan sosial (contohnya Dayak Tamambaloh). Dalam beberapa kasus, ada beberapa tokoh Dayak yang kemudian menghadapi kasus hukum, yang pada akhirnya ditinggalkan atau ada tokoh yang pada akhirnya tidak lagi memikirkan aspirasi dan kepentingan masyarakat Dayak yang diwakilnya setelah duduk atau menjabat posisi yang strategis di bidang politik dan pemerintahan.

Professor Hendrik Maier, dalam pertemuan di University Brunei Darusalam pada Tahun 2012 lalu pada acara BSN, di sela sela diskusi mengatakan bahwa Kalimantan adalah pulau yang tidak berpusat. Ketika ditanya apa yang dimaksud dengan pulau yang tidak berpusat tersebut, dia menjelaskan bahwa Kalimantan menyediakan berbagai sumber daya alam yang melimpah, tetapi orang orang hanya sekedar datang ke Kalimantan untuk mengambil sumber daya alam tersebut, sesudah mendapatkan hal tersebut dan menjadi kaya raya, maka mereka akan kembali ke tempat asalnya lagi dan tidak menetap di Kalimantan. Kalimantan akan dibiarkan merana sebagai seorang ibu yang kehilangan anaknya. Jadi karena kekayaan alamnya, maka Kalimantan akan dieksploitasi SDA-nya.

Jika dirunut lebih dalam lagi maka unsur unsur yang harus diperiksa akan menambah daftar pertanyaan semakin panjang.

Usulan pembangunan di Kalimantan
Dalam salah satu seminar di Kantor Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2005 yang lalu (tanggal kejadiannya lupa), Bapak Emil Salim mengatakan bahwa “yang menggerakan pembangunan bukan semata mata sumber daya alam tetapi sumber daya manusia, oleh karena itu dengan melihat Pulau Kalimantan sebagai Pulau yang kaya raya dengan penduduk yang masih sedikit, maka yang harus dikembangkan adalah pembangunan Sumber Daya Manusia berbasis Industri Otak.”

Kalau kita lihat tantangan pembangunan Sumber Daya Manusia di Kalimantan, maka jumlah cendikiawan/ sarjana Dayak masih belum memadai untuk mengelola Pulau Kalimantan yang berbasis industri otak, sehingga pihak pemerintah baik Pemda maupun pemerintah pusat masih mencari pihak investor untuk menanamkan modalnya di Kalimantan sebagai sumber pendapatan daerah untuk keperluan pembangunan.

Pembangunan Sumber Daya Manusia yang berbasis Industri otak menjadi PR bagi kita semua, khususnya yang bergerak dalam dunia Pendidikan dan pengembangan SDM, seperti guru dan dosen serta para pihak yang bergerak dalam pemberdayaan manusia. Negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang tinggi seperti Jepang, Singapura, Israel, Amerika, dan beberapa negara di Eropa ternyata untuk membangun dan mengembangkan negara, mereka tidak memerlukan sumber daya alam yang banyak, karena memang sumber daya alam di negaranya termasuk miskin, namun negara mereka menjadi negara yang kaya dan makmur serta bebas polusi. Hal ini disebab oleh tingginya sumber daya manusia yang mereka miliki.

Kesimpulan
Dari uraian di atas yang dipadukan dengan diskusi tentang keterwakilan Intelekual Dayak di bidang pemerintahan dan Politik dan adanya upaya untuk mengajukan wakil Dayak di Kabinet Jokowi-Ma’aruf (2019-2020), maka sebagai bahan renungan tentu akan muncul pertanyaan lagi:
Apakah kesiapan calon yang diusung tersebut memadai ditinjau dari aspek kemampuannya (fisik, mental/emosional, intelektual, dan spiritualnya) cukup mampu untuk duduk di jajaran Kabinet Jokow-Ma’aruf?

Apakah meminta perwakilan di jajaran Kabinet Jokow-Ma’aruf tersebut sangat prioritas memperbaiki nasib manusia Dayak.

Apakah relevansinya dengan pembangunan SDM dan SDA di Kalimantan.
Seperti apa negosiasi yang telah dilakukan di berbagai level politik.

Kesimpulan tersebut disajikan dalam bentuk kalimat tanya sebagai bahan renungan bagi kita bersama sebelum mengajukan argumentasi di berbagai media sosial yang sudah pasti akan memancing pro dan kontra.

**
Albertus - peneliti, pegiat literasi, dan aktivisi Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional, Jakarta.